Search
Close this search box.
EcoStory

Perubahan Iklim Ancam Perempuan

Bagikan Tulisan
Diskusi bertajuk “Gerakan Perempuan dan Lingkungan Hidup: Upaya Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di Pulau Kecil” diselenggarakan oleh Perkumpulan PakaTiva dan didukung oleh Yayasan EcoNusa. (Yayasan EcoNusa/Ismet Soelaiman)

Pemanasan global membawa konsekuensi besar terhadap laku hidup manusia. Iklim berubah menjadi tak menentu yang dapat meresahkan petani dan nelayan di pulau-pulau kecil. Bencana alam seperti kekeringan atau banjir bandang bisa datang kapan saja. Selain itu, perubahan tata ruang yang tak mengindahkan dampak lingkungan juga turut berdampak pada masyarakat. Jika itu terjadi, perempuan adalah kelompok paling rentan yang merasakan hal tersebut.

Hal itu menjadi salah satu pembahasan dalam diskusi bertajuk “Gerakan Perempuan dan Lingkungan Hidup: Upaya Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di Pulau Kecil”. Diskusi tersebut diselenggarakan oleh Perkumpulan PakaTiva dan didukung oleh Yayasan EcoNusa. Hadir dalam diskusi antara lain perwakilan Front Nahdliyyin untuk kedaulatan sumber daya alam (FNKSDA) Kota Ternate, Srikandi Kota Ternate, Sekolah Critis Maluku Utara (SC-MU).

Hadir pula Korps Putri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (KOPRI PMII), Daurmala, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Khairun (Unkhair), dan Green Student Movement Wahana Lingkungan Hidup (GSM Walhi) Maluku Utara, serta IPAWANI GAMHAS.

“Dari berbagai konflik lingkungan hidup (dan bencana alam), perempuan sangat rentan terdampak. Baik secara ekologis maupun sosial-budaya,” kata Dosen Fakultas Hukum Unkhair Astuti N. Killwouw.

KOPRI PMII Kota Ternate Nurbaya berkisah dampak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Pulau Tidore. Selain sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca, PLTU juga melepaskan debu yang meresahkan masyarakat sekitar. Menurut Nurbaya, perempuan menjadi korban yang paling terdampak atas kehadiran PLTU.

“Banyak sekali perempuan berusia 50-an dan ibu-ibu hamil sering mengalami sesak napas. Laki-laki yang bekerja di PLTU juga mengalami sesak napas. Ada  juga dugaan limbahnya dibuang  ke laut   mengakibatkan biota laut terbunuh, karenanya ikan di laut sekitar PLTU  tidak sehat lagi dikonsumsi masyarakat,” ujar dia.

Perwakilan SC-MU Hastuty A menuturkan perubahan budaya yang terjadi di Maluku Utara. Setiap tahun warga berbondong-bondong mengambil laor, sejenis cacaing laut, untuk dikonsumsi. Namun, menurut Hastuty, kebiasaan tersebut perlahan mulai menghilang sejak adanya reklamasi yang menghasilkan emisi. Perempuan di daerah pesisir, tambah dia, kini sulit mendapatkan ikan.

“Untuk mendapatkan ikan dulunya sangat mudah. Mereka cukup ke pantai untuk memancing. Tapi kini tidak bisa lagi karena pantainya sudah direklamasi. Kebiasaan memancing itu hilang bahkan sudah jarang sekali kita temukan. Reklamasi itu berdampak di Kecamatan Patani, di mana terjadi banjir akibat tertutupnya jalan air ke laut,” ucap Hastuty.

Selain menghasilkan emisi gas rumah kaca, dampak reklamasi juga dirasakan oleh masyarakat di Kota Ternate. Menurut Grace, perwakilan Srikandi Kota Ternate, reklamasi yang terjadi di Kelurahan Sangaji, Kecamatan Ternate Utara, hingga Kelurahan Kalumata, Kecamatan Ternate Selatan, menutupi wilayah nelayan tradisional dalam mencari penghidupan dan menghilangkan ruang publik di sekitar.

“Tambatan perahu sudah tidak ada. Anak-anak kehilangan tempat berenang dan bermain di sekitar pesisir pantai.Polusi debu karena truk memuat material tanah yang sangat mengganggu aktifitas masyarakat. Reklamasi juga mengancam kehidupan biota laut karena banyaknya sedimentasi yang mengalir ke laut,” kata Grace.

Peserta diskusi kemudian menyepakati Rencana Tindak Lanjut (RTL) berupa rekomendasi kebijakan kepada pemerintah daerah terkait dampak perubahan lingkungan hidup terhadap perempuan. Mereka khawatir pemanasan global akan menghilangkan pulau-pulau kecil di Maluku Utara. Terdapat tujuh poin RTL yang menjadi perhatian peserta diskusi. Pertama, penyadaran kreatif kepada semua pihak tentang sensitifitas pulau-pulau kecil terhadap industri tambang, konversi hutan dan reklamasi ekosistem pantai, yang menjadi penghasil emisi gas rumah kaca.

Kedua, menyusun program-program komunikasi melalui tulisan, membuat media khusus perempuan dan lingkungan hidup. Ketiga, gerakan literasi atau pendidikan lingkungan hidup (literasi pesisir, literasi ibu-ibu, literasi pengunungan dan lain lain. Keempat, advokasi dan diskusi. Kelima, menjadi relawan penyelamatan bumi. Keenam, memperkuat peran perempuan dan anak muda dalam program-program penyadaran lingkungan. Ketujuh, membuat platform komunikasi untuk membahas peran perempuan dalam penyelamatan lingkungan.

Penulis: Mahmud Ici, Kepala Departemen LitBang Perkumpulan Pakativa, dan Carmelita Mamonto, Koordinator Regional Maluku Yayasan EcoNusa.
Editor: Lutfy Mairizal Putra

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved