Search
Close this search box.
EcoStory

Cerita Suku Moni dan Suku Mee, Dulunya Berperang, Sekarang Hidup Berdampingan

Bagikan Tulisan
Para perempuan Suku Mee di acara Festival Noken 2018 di Jayapura, Papua. (Yayasan EcoNusa/Roberto Yekwam)

Kabupaten Paniai merupakan salah satu kabupaten tertua yang terletak di wilayah Meepago yang telah dimekarkan menjadi tiga daerah, yaitu Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Deiyai, dan Kabupaten Dogiyai. Di Kabupaten Paniai ada dua suku besar dengan budaya yang berbeda. Kedua suku tersebut adalah Suku Moni dan Suku Mee. Meskipun berbeda, kedua suku ini memiliki kekerabatan yang sangat erat dalam kebudayaan. 

Suku Moni mempunyai budaya dan tradisi yang berbeda dengan Suke Mee. Suku Moni terdiri dari empat marga yang menetap di Kabupaten Paniai. Keempat marga tersebut adalah Zonggonau, Kobogau, Yatipai, dan Dimbau. Suku Moni berasal dari Kabupaten Intan Jaya. 

Pada zaman dulu, marga ini melakukan perjalanan jauh karena peperangan antarmarga. Untuk mempertahankan marga, maka sebagian orang dari suku Moni melarikan diri dari kampung asal dan menetap di Paniai. Mereka lalu menjadi bagian dari Suku Mee. Tetapi, mereka tetap mempertahankan marga asli di wilayah yang mereka tinggali.

Baca Juga: Mengenal Teh Bless, Penyelesaian Konflik Suku Moi

Dulunya Suku Moni dan Suku Mee melakukan perang suku untuk mempertahankan wilayah dan masyarakat adatnya. Dari perang suku, banyak korban yang jatuh dari kedua pihak. Dampaknya sangat merugikan. 

Menurut cerita orang tua yang disampaikan turun-temurun, kedua suku lalu mengadakan perundingan untuk mengakhiri konflik yang terjadi. Mereka sepakat untuk menyelesaikan konflik secara adat. Ada pembagian batas wilayah, gunung, dan sungai. Gunung dan sungai yang telah dilewati Suku Moni akan menjadi hak Suku Moni sepenuhnya. Sementara itu, Suku Mee tidak boleh mengambil atau membuat hal yang merugikan.

Dalam kehidupan bermasyarakat, kedua suku ini memiliki pemimpin yang disebut kepala suku. Kepala suku yang terpilih harus memiliki jiwa yang membangun. Harus ada jiwa kepemimpinan dalam dirinya. Kepala suku juga harus memiliki harta yang banyak seperti babi dan tanah yang luas. Kepala suku juga harus mampu menyelesaikan konflik atau masalah yang bisa memicu konflik.

Baca Juga: Sar, Konservasi Perairan ala Suku Marori

Kehidupan masyarakat dari kedua suku ini berbeda dari sisi budaya, bahasa, dan adat istiadat. Namun mereka memiliki kekerabatan yang baik, karena mereka saling menghormati. Mereka juga saling menghargai dalam pengambilan keputusan dalam persoalan tertentu yang menyangkut kepentingan orang banyak.

Suku Moni memiliki keunikan dalam menyelesaikan masalah. Saat ada perselisihan dalam suatu pembicaraan dan tidak ada jalan keluarnya, maka perempuan memainkan peran penting. Perempuan akan menyelesaikan perselisihan tersebut. Mereka harus bisa mendapatkan jalan keluar dari pembicaraan tersebut. Tradisi ini sudah berlangsung lama, bahkan sampai hari ini.

Suku Mee juga mempunyai keunikan dalam gaya bahasa karena suku ini memiliki banyak marga. Selain itu, wilayahnya pun berbeda. Gaya bahasa yang digunakan oleh marga-marga tersebut juga berbeda. Bahasa bagian timur disebut Koha, sedangkan bagian barat menggunakan bahasa Koya. Meski berbeda, tapi dialek bahasa tersebut tetap dapat dipahami oleh Suku Moni. 

Baca Juga: Mempertahankan Bahasa Ibu: Upaya Menyelamatkan Pengetahuan Etnobotani Suku Marori

Suku Moni punya kemampuan untuk menggunakan bahasa Suku Mee karena mereka saling hidup berdampingan. Namun, tidak demikian dengan Suku Mee. Suku Mee sangat sulit untuk mengerti dan memahami bahasa dari Suku Moni. Karena itu, Suku Mee akan lebih berhati-hati ketika berbicara atau ketika berada di tempat umum. 

Suku Moni menjadi suku minoritas di wilayah yang mayoritas adalah Suku Mee. Meski kehidupan masyarakat adat kurang mendapat perhatian dari pemerintah di Paniai. Namun Suku Moni tetap hidup dengan mempertahankan budaya dan tradisi yang sudah ada. Mereka mempertahankan hak wilayah sambil mengembangkan potensi lokalnya dengan bercocok tanam dan beternak. Mereka juga memanfaatkan hasil-hasil hutan lain, seperti rotan dan anggrek. 

Editor: Nur Alfiyah & Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved