Sampah plastik hingga kini masih menjadi salah satu musuh terbesar bagi lingkungan, baik di darat, laut, hingga udara. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan bahwa dari 68,5 juta ton total sampah Indonesia pada 2021, sebanyak 17 persen atau sama dengan 11,6 juta ton adalah sampah plastik. Dari jumlah tersebut, setidaknya hanya sembilan persen sampah plastik yang didaur ulang, dan sisanya mencemari lingkungan.
“Plastik adalah jalan yang mengantarkan kita menuju kepunahan, sehingga harus dihentikan dan menggantinya dengan alternatif yang lebih ramah lingkungan. Jangan sampai masa depan kita rusak karena monster plastik,” ucap Bustar Maitar, CEO Yayasan EcoNusa dalam orasinya di Pawai Bebas Plastik pada Minggu, 24 Juli 2022.
Pawai Bebas Plastik merupakan sebuah gerakan yang diinisiasi oleh Divers Clean Action, EcoNusa, Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik, Greenpeace Indonesia, Indorelawan, Pandu Laut Nusantara, Pulau Plastik, dan Walhi Nasional sejak 2019. Setelah dua tahun kegiatan tersebut dilakukan secara daring akibat pandemi, pada tahun ini pawai tersebut kembali diselenggarakan secara luring.
Salah satu kegiatan yang ada dalam rangkaian Pawai Bebas Plastik adalah brand audit, guna mencari tahu dan menguak siapa produsen dari berbagai kemasan plastik sekali pakai yang banyak mencemari sungai, pantai, hingga laut Indonesia. Kegiatan ini dilakukan oleh 231 relawan Pawai Bebas Plastik selama Juni 2022 di 11 titik pantai Indonesia.
Swietenia Puspa Lestari dari Divers Clean Action menjelaskan bahwa dari hasil brand audit tersebut menunjukkan bahwa tiga perusahaan produsen barang kebutuhan sehari-hari (fast moving consumer goods atau FMCG), yakni Indofood, Unilever, dan Mayora Indah yang menduduki peringkat teratas sebagai penyumbang sampah kemasan plastik sekali pakai yang mencemari lingkungan. “Pawai Bebas Plastik menemukan jenis kemasan sampah plastik sekali pakai yang terbanyak adalah jenis saset, yakni hingga 79,7 persen dari total temuan sampah plastik,” ujar Swietenia.
Bisnis FMCG menjadi salah satu kontributor utama dari krisis sampah plastik yang terjadi sampai saat ini. Sampah-sampah plastik yang mencemari lingkungan sebagian besar berasal dari kemasan saset produk dengan berbagai ukuran yang mereka buat dan pasarkan. Laporan Greenpeace “Throwing Away the Future” yang dipublikasikan pada 2019 menyebutkan bahwa Asia Tenggara memegang pangsa pasar sekitar 50 persen, sehingga diprediksi pada 2027 jumlah kemasan saset bisa mencapai 1,3 triliun.
Pawai Bebas Plastik tahun ini menyuarakan dan meminta tanggung jawab perusahaan produsen FMCG atas sampah kemasan sekali pakai, terutama jenis saset dari produk mereka yang telah mencemari lingkungan. Merepresentasikan publik, gerakan ini juga menuntut kepada para perusahaan untuk bersikap terbuka atas rencana pengurangan sampahnya dan berkomitmen penuh dalam mengimplementasikannya. Tak hanya itu, pemerintah juga diharapkan dapat menindak tegas para perusahaan untuk bertanggung jawab atas sampah-sampah plastik sekali pakai yang dihasilkan dari bisnisnya.
“Peran produsen FMCG untuk ambil bagian dalam krisis sampah plastik sekali pakai sangat penting. Upaya masyarakat mengurangi plastik sekali pakai nyatanya tidak cukup jika produsen tidak mengurangi kemasan plastik sekali pakai,” ujar Abdul Ghofar dari Walhi Nasional. Pemerintah telah membuat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen untuk mendorong keterlibatan para penghasil produk dalam menanggulangi krisis sampah plastik yang terjadi di Indonesia. Pemerintah mewajibkan produsen untuk membuat roadmap pengurangan sampah yang mereka hasilkan hingga 2030.
Pawai Bebas Plastik kali ini diikuti sekitar 200 relawan dari berbagai lembaga dan komunitas. Sambil memegang papan berisikan aspirasi, para relawan berjalan dari Bundaran HI sampai Dukuh Atas bersama monster ular saset. Ini merupakan instalasi yang dibuat oleh para relawan dari berbagai sampah kemasan saset yang telah dikumpulkan dari rangkaian kegiatan Pawai Bebas Plastik.
Monster ular merepresentasikan kondisi laut di Indonesia. Sampah saset yang banyak ditemui mencemari sungai dan akhirnya bermuara ke laut seakan “melilit” badan perairan. Bila sampah plastik terus dibiarkan dan kian bertambah, bukan tidak mungkin kehidupan kita akan terlilit oleh sampah plastik dan membawa kita kepada bencana krisis iklim yang lebih parah lagi.
Sebagai generasi penerus bangsa, sudah saatnya kita membuka mata dan ikut andil dalam upaya menciptakan perubahan yang lebih baik untuk alam. Salah satunya dengan cara menambah pengetahuan kita tentang kondisi lingkungan, dan dilanjutkan dengan turut menyuarakan isu-isu lingkungan guna membuat perubahan yang lebih baik. School of Eco Diplomacy (SED) dapat menjadi salah satu alternatif bagi generasi muda untuk melakukan hal tersebut. SED merupakan sebuah program yang diinisiasi oleh Yayasan EcoNusa yang bertujuan mengedukasi anak muda untuk menjadi diplomat lingkungan yang peka terhadap isu lingkungan dan menyuarakannya, serta menjunjung tinggi nilai adat dan budaya. Pendaftaran SED tingkat nasional sedang dibuka saat ini.
Seperti kata pepatah, langkah kita sekarang menentukan masa depan. Permasalahan plastik yang tengah kita hadapi ini merupakan pertanda bahwa ada langkah tidak tepat yang dilakukan di masa lalu. Sudah saatnya kita mengambil langkah yang menciptakan masa depan lebih baik bagi bumi ini, khususnya Indonesia.
Editor: Nur Alfiyah