Search
Close this search box.
EcoStory

Papua Barat Maksimalkan Ketahanan Pangan dan Tata Guna Lahan

Bagikan Tulisan
Sekretaris Daerah Papua Barat Nataniel Mandacan berfoto bersama peserta Lokakarya FOLU, Manokwari, Papua Barat.

Memiliki kekayaan alam yang luar biasa tak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat. Hal itu tengah dialami Papua Barat, salah satu provinsi dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa baik di darat maupun di laut. Ketidaksejahteraan masyarakat Papua Barat bahkan dapat terlihat dari subyek paling mendasar yakni ketahanan pangan.

Berdasarkan Indeks Ketahanan Pangan (IKP) Indonesia 2018 yang dikeluarkan oleh Badan Ketahanan Pangan, Provinsi Papua Barat berada di area rawan pangan. Rata-rata skor IKP kabupaten/kota di Papua Barat berada dibawah skor indeks 50 dari skor indeks 100. Kabupaten Tambrauw memiliki nilai skor paling rendah, yakni 26,03. Disusul Kabupaten Pegunungan Arfak 30,25; Kabupaten Maybrat 32,55; Kabupaten Teluk Wondama 33,22; dan Kabupaten Teluk Bintuni 37,23.

Akademisi Universitas Papua Zulfikar Mardiyadi mengatakan, perilaku konsumsi pangan masyarakat Papua Barat telah berubah. Sagu dan ubi tak lagi dianggap sebagai makanan pokok. Papua Barat telah menyamai berbagai provinsi lain di Indonesia yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap beras.

“Walau pun ubi ada, sagu ada, tapi ketergantungannya sudah di atas 95 persen. Praktis kalau kita ke rumah-rumah di mana pun di pedalaman Papua Barat sudah jarang ditemui masyarakat mengonsumsi umbi-umbian. Umbi-umbian menjadi selingan dan beras menjadi utama,” kata Zulfikar di sela focus group discusion (FGD) Pangan dan Tata Guna Lahan (FOLU) yang diselenggarakan oleh Yayasan EcoNusa dan World Resource Institute (WRI) Indonesia, Manokwari, Papua Barat.

Menurut Zulfikar, berdasarkan data spasial luas sawah di Papua Barat tak mengalami penambahan yang signifikan. Terlebih meski adanya program cetak sawah yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian. Luas sawah, kata dia, mengalami penurunan karena konversi sawah menjadi pemukiman seperti yang terjadi di daerah Sorong dan Manokwari.

Mengutip data spasial Unipa, pada tahun 1990, area sawah seluas 1.150 ha, pertanian lahan kering 7.007 ha, dan pertanian lahan kering campur 93.104 ha. 27 tahun berselang luas tutupan ketiga lahan tersebut hanya sedikit meningkat: sawah 1.567 ha, pertanian lahan kering 6.709 ha, dan pertanian lahan kering campur 113.533 ha. Berbeda dengan luas tutupan lahan perkebunan, dari 14.777 ha pada tahun 1990 menjadi 67.292 ha pada tahun 2017.

Selain itu, Zulfikar menuturkan bertani di sawah tak sesuai dengan karakter masyarakat Pulau Papua yang terbiasa dengan perladangan berpindah. Selain itu, pengairan sawah tak dibangun untuk memaksimalkan pembukaan lahan sawah.

“Itu dugaan (Papua Barat tak punya rencana besar ketahanan pangan). Dari data tadi, lahan yang bertambah drastis adalah perkebunan kelapa sawit,” ujar Zulfikar.

Sementara itu, konsultan klaster ketahanan pangan Aser Rouw mengatakan, tingkat produksi pangan Papua Barat terus mengalami penurunan. Penurunan produksi terjadi terhadap komoditas beras dan non-beras. Menurut Aser, sejak tahun 2010 penurunan produksi pangan hampir mencapai 20 persen.

“Itu tentunya membutuhkan strategi dari daerah dan juga nasional bagaimana meningkatkan ketahanan pangan Papua Barat. Baik bersumber dari produksi sendiri ataupun pangan yang dipasok dari luar. Sejauh ini ketersediaan pangan di Papua Barat itu lebih banyak memang dipasok dari luar Papua,” kata Aser.

Dalam lokakarya FOLU, selain pangan, diskusi juga terjadi untuk membahas peta jalan sektor strategis akuakultur (budidaya perikanan) dan ekowisata. Perencanaan akukultur menjadi penting mengingat kontur pegunungan Papua Barat akan sulit mendapatkan protein hewani. Sedangkan pengembangan ekowisata mendapat perhatian lebih setelah Papua Barat mendeklarasikan diri sebagai provinsi konservasi.

Konsultan klaster akuakultur Silvi Estebay mengatakan, pengembangan akuakultur diusulkan di tiga tempat; Kabupaten Fak-fak untuk komoditas rumput laut; Kabupaten Maybrat untuk pengembangan kolam air tawar dengan komoditas ikan nila dan lele; dan Kabupten Manokwari mengembangkan keramba jaring apung.

“Dengan budidaya yang ramah lingkungan, skala tidak harus besar, tapi dia bisa kontinu, tersedia kapan saja, itu bisa menutup kekosongan (pemenuhan protein hewani). Kalau ikan laut bisa sampai di Pegaf dengan jumlah yang mahal karena transportasi kenapa kita tidak tutup untuk penuhi protein hewani, kan bisa dari pemeliharaan kolam,” ujar Silvi.

Silvi berharap pengembangan akukultur dapat meningkatkan pendapatan orang asli Papua (OAP). Bila satu kelompok masyarakat telah menunjukkan keberhasilan pengembangan akuakultur, menurut Silvi, kelompok masyarakat lain dengan cepat mengadopsi metode serupa.

Kemudian, pengembangan ekowisata dilakukan di Kabupaten Pegunungan Arfak, Kabupaten Kaimana, dan Kabupaten Raja Ampat. Ketiga Kabupaten tersebut menawarkan potensi wisata alternatif yang belum tergali dengan maksimal. Tak berhenti sampai di situ, ekowisata dapat membantu pendapatan OAP dengan tingkat kerusakan lingkungan yang minim.

Konsultan ekowista Jonni Marwa mengatakan ketiga wilayah tersebut dipilih berdasarkan klaster ketinggian (pegunungan) dan pantai. Ketiga daerah tersebut juga telah memiliki Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPDA), sehingga rencana pengembangan bisa lebih mudah diadopsi oleh pemerintah kabupaten.

“Saya pikir dari atraksi di Papua Barat tak masalah, cukup banyak yang bisa dikembangkan. Amenitas dan aksesibilitas masih bermasalah. Tapi itu tak jadi soal,” ujar Jonni.

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved