EcoStory

Meski Terisolir, Masyarakat Ombanariki Tetap Berkomitmen Melindungi Wilayah Adat

Bagikan Tulisan
Para peserta pelatihan belajar menggunakan alat GPS. (Yayasan EcoNusa)

Kampung Ombanariki merupakan salah satu kampung di Distrik Teluk Etna, Kaimana, Papua Barat. Letaknya berbatasan dengan Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah. Kurang lebih jaraknya sekitar 150 kilometer dari Kota Kaimana dan 80 kilometer dari Ibukota Distrik Etna, Kiruru. Dari Kota Kaimana menuju Ombanariki, dapat menggunakan perahu dengan waktu mencapai 5-6 jam, tergantung jumlah mesin yang digunakan dan kondisi cuaca.

Meski terletak sangat jauh dari kota, namun masyarakat Ombanariki memiliki kesadaran akan pentingnya mewariskan kelestarian sumber daya alam kepada anak cucu. “Wilayah kami banyak dusun sagu dan tempat mencari penghidupan sehingga saya rasa perlu dilindungi sebelum pada akhirnya rusak karena kepentingan sepihak,” ujar Yance Kamandairai, tetua adat di Ombanariki.

Baca Juga: Kader Kampung Belajar Pemetaan dan Sistem Informasi Kampung

Karena pemikiran tersebut, masyarakat Ombanariki meminta Yayasan EcoNusa untuk memfasilitasi pemetaan partisipatif wilayah adat mereka. Mereka sebelumnya mendengar bahwa EcoNusa memfasilitasi pemetaan wilayah adat masyarakat Aara di Lakahia. Pemetaan wilayah adat Ombanariki dimulai sejak awal 2025, yang sepenuhnya dilakukan secaraa partisipatif oleh masyarakat adat. Kegiatan dimulai dengan asesmen rencana pemetaan, pada kesempatan ini masyarakat menyatakan persetujuannya untuk mendorong pemetaan wilayah adat. Hal ini dilakukan sebagai bagian untuk memperkuat pengelolaaan wilayah adat dan mengatasi dampak penggunaan lahan ke depan.

Pertemuan kemudian dilanjutkan dengan mendiskusikan batas-batas wilayah Kampung Ombanariki. Masyarakat secara partisipatif menunjukan batas wilayah kampung, di mana sebelah timur berbatasan dengan batas marga-marga di Potowai, Kabupaten Mimika, di sebelah utara berbatasan dengan Kampung Wosokuno, sebelah barat dengan masyarakat adat Aara, dan sebelah Selatan dengan Laut Arafura. Luas wilayah adat secara indikatif adalah 61.000 hektare.

Pendataan juga dilakukan terkait profil penduduk dan fasilitas yang ada di kampung. Dari pendataan tersebut, masyarakat di sana terdiri dari 16 marga, di antaranya Omapoka, Kumuti, Akerpea, Tenama, Wauw, Naimu, Uri, Kamandiray, Moy, Bonira, Maripau, Yemuni, Umari, Suy, Kaway, dan Mautupeau. Secara umum, masyarakat kampung Ombanariki termasuk ke dalam suku Napiti/Komoro.

Baca Juga: Masyarakat Adat Aara Usulkan Pengakuan Wilayah Adat

Kondisi fasilitas di kampung cenderung memprihatinkan. Listrik biasanya menyala di pukul 18.00 sampai 06.00, dan jaringan komunikasi tersedia sepanjang hari. Sedangkan bangunan sekolah dalam kondisi rusak berat. Ini diperparah dengan tidak adanya tenaga pendidik, sehingga hampir semua anak usia sekolah pada pendidikan dasar tidak bersekolah. Kondisi ini sudah terjadi sejak sekitar setahun lalu sampai sekarang. Demikian juga dengan fasilitas kesehatan. Di sini sudah ada bangunan Puskesmas, namun tenaga kesehatan tidak tersedia. Masyarakat berharap pemerintah segera turun tangan akan hal ini.

Kembali ke masalah pemetaan, kegiatan ini berlanjut dengan melatih sekitar 21 anak muda untuk menggunakan alat global positioning system (GPS). Merekalah yang nantinya akan turun langsung untuk melakukan pemetaan spasial secara partipatif. Dengan berjalannya pemetaan spasial dan pemetaan sosial, harapannya segera tersusun profil masyarakat hukum adat yang kemudian akan diserahkan ke pemerintah daerah untuk dilakukan verifikasi dan validasi. “Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada EcoNusa yang sudah datang jauh-jauh ke daerah terisolir ini untuk memfasilitasi kegiatan ini. Saya pikir kegiatan ini penting, jadi mari kita mendukung kegiatan ini,” kata Very Omapoka, anak muda di kampung yang mengikuti pelatihan GPS.

Editor: Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved