EcoStory

Catatan Perjalanan: Menyusuri Keindahan Pegunungan Arfak

Bagikan Tulisan
Alfa Ahoren di tengah hutan di Kampung Syoubri (Yayasan EcoNusa/Lutfy Mairizal Putra)

Hai, semuanya! Saya Alfa Ahoren (24), kaum muda Pegunungan Arfak dan salah satu alumni School of Eco Diplomacy 2018. Saya mendapat kesempatan terbaik menjadi bagian dari kampanye Defending Paradise dengan mengenalkan ekosistem Pegunungan Arfak, Provinsi Papua Barat, bersama Bang Ridho Hafiedz, gitaris grup musik Slank. Saya ingin tunjukkan kepada Bang Ridho dan semua orang bahwa kawasan Pegunungan Arfak adalah rumah bagi burung-burung surga. Di sini, kita bisa melihat cenderawasih menari di alam bebas.

Kami berangkat sekitar jam 6 pagi dari Manokwari menuju Kampung Kwaw. Butuh waktu 2 jam untuk sampai di sana. Dibanding beberapa tahun lalu, infrastruktur jalan menuju Pegunungan Arfak sudah lebih baik. Aspal membentang hampir di seluruh perjalanan kami menuju Kampung Kwaw.

Saat tiba, kami disambut hangat dan sangat meriah oleh masyarakat yang menampilkan tarian Tumbuk Tanah. Para penari membentuk gerakan saling merangkul dan melompat-lompat layaknya sedang menumbuk tanah. Mereka bernyanyi dengan penuh kegembiraan untuk menyambut tamu yang baru saja tiba.

Masyarakat adat Pegunungan Arfak menampilkan tarian Tumbuk Tanah untuk menyambut tamu. (Yayasan EcoNusa/Lutfy Mairizal Putra)

Bang Ridho bercerita bahwa dia sempat terkejut beberapa saat ketika para penari tiba-tiba muncul dari semak dan rerumputan di sisi jalan dengan membawa parang dan busur panah. Namun hal itu tidak berlangsung lama karena kemudian dia sadar bahwa panah, parang, dan atribut lain hanyalah atribut tarian untuk menunjukkan rasa hormat kepada tamu yang baru saja tiba. Setelah tarian selesai, masyarakat adat memberikan noken sebagai simbol penghormatan kepada Bang Ridho.

Baca juga: Yuk, Kenalan dengan Empat Cenderawasih Endemik Pegunungan Arfak, Papua Barat

Kami berangkat ke penginapan Papua Lorikeet milik Pak Hans Mandacan. Beliau adalah salah satu masyarakat yang berhasil menjaga hutan dan menjadi tuan di atas tanahnya sendiri. Hal itu terbukti ketika beliau menceritakan tentang usaha ekowisata, agrowisata kopi dan yang paling spesial, yaitu wisata pengamatan burung.

Menjelang Minggu sore (20/6/2021), kami berangkat menuju tempat pengamatan burung pintar (Amblyornis inornatus) dipandu oleh Pak Hans. Masyarakat Pegunungan Arfak menyebutnya dengan nama burung Mberecew. Sarang burung pintar tidak jauh dari tempat kami menginap. Kami hanya perlu masuk beberapa ratus meter ke dalam hutan. Ini menjadi tanda bahwa hutan di Kampung Kwaw masih terjaga dengan baik. Jika tidak, butuh waktu lebih lama untuk menemukan hewan di dalam hutan.

Kami masuk ke dalam pondok pengamatan agar burung pintar tidak terganggu. Kamu tahu kenapa mberecew disebut burung pintar? Kepintaran burung itu terlihat dari cara ia mengatur keindahan sarang. Burung pintar mengelompokkan berbagai barang dengan warna sejenis dan disusun berdasarkan pola tertentu.

Baca juga: Tarian Spektakuler Cenderawasih untuk Memikat Pasangan

Menurut Pak Hans, terkadang burung pintar terbang ke sekitar rumah masyarakat untuk mendapatkan barang dengan warna yang ia inginkan dan membawa ke kandangnya. Masyarakat terkadang mengambil kembali barang miliknya  dari sarang burung pintar.  Si burung pintar yang kemudian sadar bahwa barang yang dia pungut menghilang akan berkicau tiada henti layaknya sedang mengumpat.

Setelah melihat atraksi burung pintar, kami kembali ke Papua Lorikeet. Pak Hans mengajak kami melihat pohon kopi miliknya. Pak Hans menanam kopi arabica. Bibit kopinya datang dari Wamena, Papua. Bang Ridho membagi pengalamannya bagaimana memetik kopi yang baik. Saya pun ikut mendengarkan. Menurut Bang Ridho, selain bijinya, kulit kopi juga dapat diolah menjadi kaskara, minuman dari hasil seduhan kulit kopi kering. Saya dan Pak Hans mendapat pengetahuan baru.

Ridho Hariedz memetik kopi arabica dari kebun kopi Hans Mandacan. (Yayasan EcoNusa/Moch. Fikri)

Keesokan harinya, kami berangkat pagi-pagi buta untuk bertualang di rimba Pegunungan Arfak demi melihat burung-burung surga. Di sini saya belajar bahwa untuk menyaksikan kekayaan keanekaragaman hayati di hutan Pegunungan Arfak harus ada perjuangan terlebih dulu. Kami trekking di Gunung Syoti pada ketinggian sekitar 1.700 meter di atas permukaan laut.

Baca juga: Kemerdekaan Indonesia, Kemerdekaan Masyarakat Adat?

Rimba Pegunungan Arfak merupakan lokasi yang sangat bagus karena ditumbuhi oleh berbagai spesies tumbuhan yang unik. Ada seperti pisang raksasa yang kami temui di dalam perjalanan dan juga sejumlah bunga rhododendron dan anggrek.

Perjuangan mendaki itu memberikan kami pengalaman spektakuler yang mungkin tidak dijumpai di tempat lain. Kami melihat karya agung Tuhan berupa burung surga, bird of paradise. Ada empat cenderawasih endemik di Pegunungan Arfak. Parotia Arfak (Parotia sefilata), Vogelkop Superb-bird-of-paradise (Lophorina niedda), Paradigalla Ekor Panjang (Paradigalla carunculata), dan Astrapia Arfak (Astrapia nigra). Sayangnya kami hanya bisa melihat tiga di antaranya. Matahari mulai meninggi, kami tidak dapat melihat Paradigalla Ekor Panjang. 

Setelah melihat bird of paradise pagi itu, kami pun kembali ke penginapan untuk sarapan pagi dan bersiap kembali ke Manokwari. Kami menempuh rute yang berbeda dengan rute keberangkatan. Meski memakan waktu lebih jauh dan penuh bebatuan, kami dapat menyusuri keindahan Pegunungan Arfak dan Danau Anggi.

Jika kita tetap menjaga alam dan budaya, cerita hari ini tidak hanya akan menjadi kenangan. Anak-cucu kita bisa ikut menyaksikan keindahan yang sama. Kita tidak akan kehilangan jati diri sebagai bangsa yang pernah dititipi oleh Tuhan dengan kekayaan budaya serta keanekaragaman hayati yang begitu luar biasa.

Dengan bangga saya akan bercerita kepada generasi saya bahwa kalau hari ini kita jaga hutan, tanah, dan budaya kita, maka keindahan dan keunikan ini akan tetap ada sampai pada generasi yang akan datang. Hutan merupakan “mama” yang berikan kehidupan. Mari kita jaga selama-lamanya!

Editor: Lutfy, Nur Alfiyah, Leo

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved