Search
Close this search box.
EcoStory

Kemerdekaan Indonesia, Kemerdekaan Masyarakat Adat?

Bagikan Tulisan
Kemerdekaan Indonesia, Kemerdekaan Masyarakat Adat?
Masyarakat adat di Papua.

Indonesia merayakan ulang tahun kemerdekaan yang ke-76 pada Agustus ini. Pada bulan ini pula, dunia memperingati Hari Masyarakat Adat Internasional pada 9 Agustus dan Indonesia merayakan Hari Konservasi Alam Nasional setiap 10 Agustus.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar diskusi untuk memperingati Hari Masyarakat Adat Internasional tahun ini dengan tema “Leaving no one behind: Masyarakat adat dan seruan untuk kontrak sosial baru”. Dalam lamannya, PBB menyebutkan bahwa lebih dari 70 persen populasi dunia tinggal di negara dengan ketimpangan pendapatan dan kekayaan, termasuk masyarakat adat yang telah menghadapi tingkat kemiskinan yang tinggi dan kerugian sosial-ekonomi yang akut.

Tingkat ketimpangan itu umumnya terjadi berkaitan dengan ketidakstabilan kelembagaan, korupsi, krisis keuangan, meningkatnya kejahatan, dan kurangnya akses terhadap keadilan, pendidikan, dan layanan kesehatan. Bagi masyarakat adat, kemiskinan dan ketidakadilan yang parah cenderung menimbulkan ketegangan dan konflik sosial yang intens. “Memberantas kemiskinan dalam segala bentuk dan dimensinya serta pengurangan ketimpangan adalah inti dari Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan,” tulis PBB.

Baca Juga: Regulasi Mengangkat Pengetahuan Adat

Seluruh masyarakat, tidak hanya pemerintah tetapi juga aktivis sosial, masyarakat adat, perempuan, akademisi, ilmuwan, memiliki peran dalam membangun dan mendesain ulang kontrak sosial baru yang melayani kepentingan “We, the peoples”, sesuai Pembukaan Piagam PBB. Hak masyarakat adat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan merupakan komponen kunci dalam mencapai rekonsiliasi antara masyarakat adat dan negara.

Bagaimana dengan Kondisi Masyarakat di Indonesia?

Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Sandrayati Moniaga, mengatakan masyarakat adat memiliki hak yang sama dengan masyarakat lainnya. Hanya saja masyarakat adat memiliki kekhususan tersendiri. Misalnya, jika masyarakat umum memiliki hak atas tanah, masyarakat adat pun memiliki hak yang sama, namun dengan konsep yang berbeda. Perlakuannya di mata hukum juga seharusnya sama. Hak mereka pun wajib diakui, dihormati, dan dilindungi oleh negara.

Namun, Komnas HAM mencatat mayoritas masyarakat adat di Indonesia belum memperoleh hak atas tanahnya. Pemerintah mewajibkan adanya syarat administratif yang harus terpenuhi, seperti misalnya peraturan daerah atau produk hukum daerah lainnya. Hal ini malah menghambat pengembalian tanah kepada masyarakat hukum adat. “Begitu luas kawasan hutan dan banyaknya tumpang tindih antara tanah adat dan tanah negara menyebabkan sampai saat ini baru sekitar 30.000 hektare yang dikembalikan dan diakui sebagai hutan adat. Bayangkan, itu hanya sedikit dari target 4.500.000 hektare,” ujar Sandra.

Baca Juga: Mengembalikan Hutan Papua Barat kepada Pemiliknya

Peneliti Komnas HAM, Agus Suntoro, membenarkan ucapan Sandra. Menurutnya syarat administratif tersebut justru menjadi kendala dalam pemenuhan kewajiban negara. Sulitnya jalan yang harus ditempuh oleh masyarakat hukum adat diduga akibat alasan yang bersifat politis dan ekonomis. Tidak sedikit kawasan wilayah adat yang berpindah tangan. Misalnya dengan diberikan kepada pemegang Hak Guna Usaha (HGU) atau ke pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). 

RUU Masyarakat Adat Belum Disahkan

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Adat yang mengatur pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat sudah dua kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada 2014 dan 2019. Namun sampai saat ini RUU tersebut belum kunjung disahkan. Alih-alih mengesahkan RUU tentang Masyarakat Adat, DPR justru mengesahkan RUU tentang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 yang baru diserahkan oleh pemerintah pada 12 Februari 2020.

Menurut Manajer Kebijakan dan Advokasi Yayasan EcoNusa, Cindy Junicke Simangunsong, UU Cipta Kerja masih membuka peluang besar terjadinya pelanggaran yang dapat berujung kepada deforestasi hutan, khususnya di Tanah Papua. Selain itu, posisi masyarakat adat juga terancam, antara lain karena undang-undang tersebut menyederhanakan atau melonggarkan pengajuan perizinan berusaha dan dinilai masih kurang berpihak kepada masyarakat adat.

Dalam UU Cipta Kerja, Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah Tim Uji Kelayakan dan hanya disebutkan terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan ahli bersertifikat. Sementara itu, keterlibatan masyarakat hanya terbatas kepada proses penyusunan dokumen AMDAL. Padahal masyarakat, khususnya masyarakat adat, merupakan salah satu elemen terpenting yang harus dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pelestarian dan pemanfaatan hutan dan lingkungan hidup. “Karena merekalah yang nantinya akan merasakan dampak langsung perubahannya. Mereka selama ini berperan sebagai “penjaga” hutan kita sehari-hari melalui berbagai kearifan lokal. Ditambah lagi, hutan itu adalah sumber penghidupan bagi masyarakat adat yang ada di sana,” katanya.

Cara Masyarakat Adat Menjaga Hutan

Bagi masyarakat adat, hutan memiliki arti yang sangat penting. Ia menjadi sumber utama mata pencaharian bagi mereka dan juga merupakan identitas mereka. Tak heran jika masyarakat adat berusaha menjaga hutannya.  Salah satunya dengan melaksanakan tradisi sasi, yakni hukum adat yang melarang pengambilan hasil sumber daya alam tertentu di wilayah adat. Aturan ini dilakukan oleh masyarakat adat di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku.

Baca Juga: Melindungi Hutan, Menyelamatkan Manusia

Riset Aliansi Masyarakat Adat Nusantara pada 2018 mencatat nilai ekonomi pengelolaan sumber daya alam di enam wilayah adat mampu menghasilkan Rp 159,21 miliar per tahun. Nilai jasa lingkungan mencapai Rp 170,77 miliar per tahun dan mampu mendorong perekonomian di daerahnya. Namun, tanpa undang-undang khusus, hak masyarakat adat tersebut belum terlindungi.  Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menyatakan hak masyarakat adat atas lingkungan hidup menjadi 1 dari 6 hak masyarakat yang terlanggar. Sejak tahun lalu, koalisi yang terdiri dari 30 CSO, termasuk EcoNUsa, dan masyarakat sipil, mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat.

Momentum tiga peristiwa pada Agustus ini selayaknya menjadi pengingat tentang keberadaan masyarakat adat. Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-76 ini seyogianya juga memerdekaan masyarakat adat yang sejatinya belum merdeka. Mereka adalah bagian dari anak bangsa yang butuh pengakuan atas hak-haknya. Seandainya diberikan, maka pengakuan itu akan menguatkan tema yang diusung tahun ini, “Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh”. 


Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved