Sebagian besar masyarakat di Kampung Konda dan Kampung Wamargege, Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya bermata pencaharian sebagai nelayan udang. Dalam satu hari, saat musim sedang bagus, tinggi air laut tidak terlalu pasang dan tidak terlalu surut (meti konda), nelayan bisa mendapatkan hasil tangkapan hingga lebih dari 20 kilogram. Namun saat musim sedang buruk, nelayan hanya bisa mendapatkan hasil tangkapan paling banyak 10 kilogram setelah melaut dari pagi hingga malam hari.
Setelah pulang melaut, para nelayan tidak langsung menjual udang hasil tangkapan. Mereka terlebih dahulu mematahkan kepala udang yang mereka dapat dan membuangnya ke sungai yang mengalir di samping kampung. Kepala udang dianggap sebagai bagian yang tidak bernilai ekonomi sehingga dibuang begitu saja. Baru kemudian udang yang kepalanya sudah patah itu ditimbang dan dijual ke pengepul yang datang ke kampung. Dari dua kampung tersebut, pengepul bisa mendapatkan hingga 600 kilogram udang setiap hari. Sedangkan kepala udang yang dibuang bisa mencapai sepertiga dari jumlah itu.
Baca juga: Bukan dari Laut, Garam Asli Papua Berasal dari Hutan
Melihat banyaknya kepala udang yang dibuang. Namun mama Yulita Sawor, warga Kampung Wamargege, mencoba mengolah limbah tersebut. “Kepala udang sebenarnya bisa tong (kita) olah lagi jadi penyedap rasa,” kata mama Yulita saat diwawancarai di dapurnya pada 14 Juni 2023.
Mama Yulita biasanya meminta kepala udang kepada nelayan di kampungnya untuk diolah. Kepala-kepala udang itu ia dibelah menjadi dua, kemudian dicuci. Sambil menunggu kepala udang dipotong-potong, wajan sudah disiapkan di atas kompor yang menyala, serta bumbu-bumbu lain yang dibutuhkan. Untuk satu kilogram kepala udang, dibutuhkan tujuh siung bawang putih, dua lembar daun salam, dua batang sereh yang sudah digeprek, dan satu sendok makan garam.
Baca juga: Catatan Perjalanan: Menyaksikan Molo, Kearifan Lokal Menangkap Hasil Laut di Papua
Bila semuanya sudah siap, kepala udang yang sudah bersih kemudian disangrai di atas wajan panas bersama dengan bumbu yang sudah disiapkan. Selain agar masak, proses sangrai bertujuan untuk mengeluarkan kandungan air yang ada di kepala udang. Sambil tak berhenti mengaduk kepala udang agar matang dan kering secara merata, mama Yunita bercerita prosesnya menemukan inspirasi untuk mengolah kepala udang. “Kepala udang ada banyak, mama pikir tra (tidak) mungkin tra bisa tong olah toh. Baru mama cari-cari di Youtube, ternyata bisa jadi penyedap rasa. Mama coba buat, ternyata berhasil. Jadi mama terus buat,” cerita Mama Yulita.
Setelah diaduk tiada henti selama 15 menit dan kepala udang dirasa sudah cukup kering, udang diangkat serta didiamkan hingga agak dingin. Setelah itu, daun salam dan sereh diangkat, kemudian kepala udang, bawang putih yang sudah dimasak, dan garam dihaluskan menggunakan penghalus bumbu.
Baca juga: Melindungi Kekayaan Alam dengan Menjaga Rasa
Hasil yang ada tentu belum benar-benar kering dan penyedap rasa menjadi lebih awet, oleh karena itu setelah proses penghalusan, penyedap rasa masih perlu dijemur kembali di bawah terik sinar matahari. “Kalau su (sudah) begini, tong kasih jemur lai (lagi) supaya de (dia) benar-benar kering toh. Kalau tra begini, tra akan awet, karena tong trada (tidak ada) pakai pengawet apa-apa to,” jelas Mama Yulita.Ketika sudah kering, penyedap rasa akan dihaluskan kembali, kemudian diayak dan dimasukkan ke dalam kemasan ukuran 200 gram. Sekali membuat, mama Yulita bisa memproduksi sekitar dua sampai tiga kemasan penyedap rasa. Biasanya mama Yulita menjualnya dengan harga Rp25.000 per kemasan penyedap rasa. Selain menjualnya, dia juga sering membuatnya untuk stok penyedap rasa di dapurnya sendiri. “Tong masak pakai ini saja su cukup, tra perlu tambah mecin lai,” kata Mama Yunita.
Mama Yulita biasanya memasarkan penyedap rasa yang dia buat melalui media sosial. Begitu pesanan datang, baru proses produksi dilakukan. Hal ini karena mempertimbangkan kualitas produk yang dibuatnya, mengingat penyedap rasa yang dia buat tidak menggunakan bahan pengawet sehingga sejauh ini produksinya masih sangat terbatas tergantung dengan pesanan yang ada.
Pengolahan kepala udang yang dilakukan Mama Yulita pun mendapatkan sambutan baik dari Koperasi Fgan Fen Sisi yang mendampingi masyarakat nelayan udang di Kampung Konda dan Wamargege. “Ini sangat bagus, dan tong dari koperasi sangat bisa mendukung untuk terima produknya dan pasarkan,” ucap Onesimus Ebar, Sekretaris Koperasi Fgan Fen Sisi.
Baca juga: Sasi di Pulau Lemon, Inisiatif Anak Muda untuk Menjaga Laut
Ones menambahkan, bila produk penyedap rasa ini menjadi salah satu produk yang masuk ke dalam Koperasi. Kedepannya perlu dipersiapkan hal-hal penunjang lainnya, seperti keawetan, kemasan, sehingga memastikan agar produk tetap berkualitas dan dapat diterima dengan baik di pasar. “Kalau semua su siap, tong bisa pasarkan ke Sorong, bahkan ke luar kota juga,” kata Ones.
Sejauh ini produksi penyedap rasa udang sebagai pemanfaatan limbah perikanan udang tangkap yang ada di Kampung Konda dan Kampung Wamargege baru dilakukan oleh mama Yulita saja, dan belum dilakukan oleh mama-mama lain di Kampung Konda dan Wamargege. Onesimus menambahkan bahwa harapannya Koperasi Fgan Fen Sisi dapat mendukung dengan memfasilitasi pelatihan pembuatan penyedap rasa udang, guna memberdayakan perempuan di kedua kampung tersebut ke depannya.“Dengan begitu, tong bisa mendukung pemberdayaan mama-mama di kampung, dan kepala udang ini juga dimanfaatkan dengan baik dan mengolahnya menjadi produk yang bernilai ekonomi. Harapannya, perekonomian dan kesejahteraan masyarakat juga meningkat,” tutup Ones.
Editor: Nur Alfiyah