Search
Close this search box.
EcoStory

Bukan dari Laut, Garam Asli Papua Berasal dari Hutan

Bagikan Tulisan

Pada umumnya garam dihasilkan dari proses penyulingan air laut. Namun berbeda dengan garam yang ada di Papua. Masyarakat adat di wilayah yang jauh dari pantai, punya cara sendiri untuk memenuhi kebutuhan salah satu bumbu pokok ini. Garam yang mereka gunakan dihasilkan dengan cara yang lebih eksotis. Kurang lebih ada tiga jenis garam asli Papua dan sudah banyak dikembangkan. 

Salah satu dari ketiga garam asli Papua yaitu garam abu, yang biasa digunakan sebagai bahan penyedap. Salah satunya adalah masyarakat adat yang tinggal di sekitar Lembah Baliem, Provinsi Papua Pegunungan pada ketinggian 1.800-3.000 meter di atas permukaan laut. Masyarakat di Lembah Baliem memanfaatkan kolam air asin di Jiwika dan Hetegima sebagai sumber garam. Selain di wilayah Lembah Baliem, beberapa suku lain di wilayah pegunungan barat Papua juga masih mengandalkan sekaligus mempertahankan kolam air asin Hitadipa, Homeyo, dan Wandai sebagai sumber garam mereka.

Baca juga: Pinang, Komoditas Lokal yang Berpotensi Besar

Pemanfaatan sumber garam ini menjadi lebih menarik, apabila ditelisik bagaimana proses produksinya. Uniknya, bila di wilayah Pegunungan Barat, produksi garam ini dilakukan oleh para pria, di Lembah Baliem, proses produksi hanya dilakukan oleh para perempuan. 

Selain untuk memproduksi garam, kolam air asin juga dimanfaatkan untuk mengawetkan makanan, seperti yang dilakukan oleh masyarakat adat di Kabupaten Sarmi. Di sini, kolam air asin tersebut digunakan untuk mengawetkan bahan makanan dari hasil buruan seperti daging kasuari dan babi. Hewan hasil buruan akan dibersihkan, kemudian direndam di kolam dan didiamkan dalam jangka waktu tertentu.

Pengetahuan adat yang dimiliki masyarakat di Tanah Papua memang sangat kaya, hal ini terbukti dengan keterampilan masyarakat adat Suku Korowai yang bisa membuat garam dari daun yang tumbuh liar di hutan. Daun yang digunakan adalah daun “dan”. Proses pembuatannya sendiri terbilang unik, yaitu daun akan dikumpulkan lalu dianyam, kemudian dibakar di atas bara api hingga menjadi arang, lalu dibungkus dengan menggunakan daun palem. Daun ini lah yang dijadikan garam. Selain dijadikan garam, garam daun juga sering kali dijadikan sebagai obat batuk.

Baca juga: Rusa, Potensi Pendapatan Sekaligus Hama di Kampung Guriasa

Terakhir, ada garam asli Papua yang terbuat dari pelepah pohon. Pelepah yang mereka gunakan adalah pelepah nipah, yakni sejenis pohon yang berada di ekosistem mangrove, yang biasa disebut oleh masyarakat Manado, Ternate, dan Tidore dengan tanaman bobo. Biasanya tanaman ini tumbuh di air payau, yaitu antara air laut dengan air sungai. Pohon ini akan diambil pelepahnya atau bagian dalamnya dan hanya diambil bagian intinya saja. Garam pelepah ini banyak dimanfaatkan Suku Iwaru yang terletak di Sorong Selatan. 

Saking uniknya garam pelepah, chef Charles Toto berpendapat bahwa garam ini patut dibuatkan hak paten, karena memiliki nilai jual yang cukup tinggi. “Jangan sampai orang-orang mengakui dan meng-copy paste apa yang kami temukan,” kata chef yang populer disebut Jungle Chef karena hobinya yang suka memasak di hutan dan dengan berbagai sumber makanan yang ada di hutan Papua tersebut.  Namun, penerbangan perintis ke pedalaman berimbas pada masuknya garam modern bersama logistik lainnya. Membuat garam tradisional tergeser dari kehidupan sehari-hari masyarakat di Tanah Papua. Selain dianggap jauh lebih praktis, garam modern juga memiliki kadar yodium yang lebih tinggi. Produksi dan pemanfaatan garam tradisional pun hanya dilakukan oleh generasi tua saja, padahal ini merupakan salah satu kekayaan budaya asli Tanah Papua yang harus kita jaga.

Editor: Nur Arinta dan Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved