Lirik lagu “tanah kita tanah surga” dalam lagu Kolam Susu yang dinyanyikan Koes Ploes bertahun-tahun lalu bukanlah bualan belaka. Tanah Papua menjadi salah satu bukti nyata. Wilayah yang mencakup Provinsi Papua dan Papua Barat ini termasuk dalam wilayah dengan keanekaragaman tumbuhan terkaya di dunia, bersama dengan wilayah Negara Papua Nugini. Berdasarkan hasil riset yang dipublikasikan di Jurnal Nature, ada 13.364 spesies tumbuhan yang ditemukan di Pulau Papua. Dari angka tersebut, 68 persen atau 9.301 spesies merupakan tumbuhan endemik.
Tentu tidak melebih-lebihkan jika masyarakat adat di Tanah Papua menjadikan alam sebagai ibu, sebab dari alam itulah mereka memperoleh sumber penghidupan. Berbagai tumbuhan bernilai ekonomis bisa tumbuh subur tanpa perlu teknik penanaman yang kompleks. Hal tersebut dituturkan oleh Manajer Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) dan Ketahanan Komunitas EcoNusa, Siti Masriyah Ambara atau yang akrab disapa Imey, dalam kegiatan Paparan dan Cerita EcoNusa (PACE): Jelajah Komoditas Lokal Papua dan Maluku pada Selasa, 21 Juni 2022.
Baca Juga: Peserta STS Mogatemin Berjanji Olah Potensi Udang di Kampungnya
Menurut Imey, tumbuhan-tumbuhan bernilai ekonomis yang ada di Tanah Papua dapat menjadi komoditas unggulan penggerak ekonomi kampung. “Kalau komoditas ini bisa dikelola dengan baik dan bagus, masyarakat di kampung dapat sejahtera,” katanya.
PACE merupakan kegiatan pemaparan dan diskusi rutin yang diadakan EcoNusa setiap bulan untuk memperkuat kapasitas para staf dan volunteer. Seri PACE kali ini merupakan kegiatan ke-8 dan dihadiri oleh staf dan berbagai komunitas lokal di Jakarta.
dari Sereh Wangi hingga Babi Hutan
Sudah hampir dua tahun belakangan EcoNusa bersama masyarakat di beberapa kampung di Tanah Papua melakukan pemetaan komoditas dan pengembangan potensi alam. Menurut Imey, kegiatan ini bertujuan untuk mencari dan menetapkan komoditas mana saja yang dapat memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat kampung. “Kegiatan ini sering kami sebut dengan valuasi ekonomi, menghitung nilai ekonomi dari potensi yang ada di kampung-kampung. Contohnya, potensi sereh wangi jika diolah menjadi produk turunan dapat menghasilkan berapa rupiah.”
Baca Juga: Bupati Kaimana Siap Dorong Perda Sasi Pala jika Didukung Komitmen Warga
Imey mencontohkan pengembangan sereh wangi di Distrik Mare. Sereh wangi sebelumnya adalah tanaman tidak produktif yang tumbuh lebat secara serampangan. Namun, berkat inisiasi kader kampung, Beyum Antonela dan kawan-kawannya yang mengolah tanaman ini menjadi minyak atsiri, sereh wangi dapat menjadi salah satu komoditas unggulan bernilai jual lebih.
Selain sereh wangi, Imey juga menceritakan beberapa komoditas lainnya di Papua seperti minyak lawang yang diproduksi oleh kelompok masyarakat Fina Fenandi di Distrik Kouh, Kabupaten Boven Digoel dan tumbuhan kopi yang tumbuh subur di beberapa daerah seperti Ambaidiru di Kabupaten Kepulauan Yapen dan Kabupaten Paniai. “ Produk-produk ini kemarin berhasil dipasarkan di PON XX di Jayapura sebagai produk hasil hutan bukan kayu.”
Imey menambahkan, komoditas yang dihasilkan tidak melulu datang dari tumbuhan. Ada olahan babi hutan yang dikembangkan oleh Koperasi Lingkar Jerat di Sorong, Papua Barat. Ada pula olahan abon ikan mujair dan ikan gabus yang dikembangkan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) LIII Kabupaten Boven Digoel bersama para mama Suku Wambon di Tanah Merah. Tiga hewan ini dipilih karena populasinya meledak. “Di Sorong, populasi babi hutan yang berlebih menjadi hama yang mengganggu habitat penyu dan kebun masyarakat. Di Boven Digoel, ikan-ikan hasil tangkapan yang tidak laku dijual sebelumnya busuk. Makanya, kita usaha olah supaya hasil alam yang sebelumnya tidak berharga, bisa jadi sumber pendapatan ekonomi baru,” katanya menjelaskan.
Komoditas Unggulan dan Tantangan Pengembangannya
Sebetulnya sudah sejak lama Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya pengembangan komoditas lokal. Melalui Kementerian Perindustrian, Pemerintah Indonesia menerapkan pendekatan One Village One Product (OVOP). Pendekatan ini diadopsi dari gagasan Profesor Morihiko Hiramatsu yang pada 1980 menjabat sebagai Gubernur Oita, Jepang. OVOP sendiri menitikberatkan penetapan satu produk unggulan yang menjadi ciri khas suatu daerah untuk dikembangkan menjadi komoditas bernilai ekonomi.
Baca Juga: Sasi Sambite: Kearifan Lokal untuk Meningkatkan Kualitas Pala Arguni Bawah
Menurut Imey, pendekatan berbasis OVOP dapat memotivasi pembangunan kampung melalui gerakan masyarakat. “Kita sudah dengar cerita tadi tentang kakak Beyum, kader kampung yang menggerakkan masyarakat kampung untuk mengelola sereh wangi jadi produk bernilai jual lebih. Dengan itu kakak Beyum mampu mengajak mama-mama lain di kampung dan menyerap tenaga kerja lebih,” ujarnya.
Namun hingga kini, pengembangan komoditas di Tanah Papua masih menghadapi beberapa tantangan yang dapat dikategorikan dalam tiga aspek, yakni kapasitas masyarakat, kebijakan pemerintah, dan akses pasar. Menurut Imey, dalam aspek kapasitas masyarakat, pengembangan teknologi budidaya dan pasca panen serta pemahaman masyarakat mengenai kondisi pasar menjadi tantangan dalam pengembangan komoditas. Dalam aspek kebijakan pemerintah, dukungan kebijakan anggaran untuk pengelolaan komoditas lokal dan pengembangan infrastruktur sering kali jadi penghalang. Sehingga, pada akhirnya para penggerak ekonomi kreatif di kampung-kampung kesulitan mengakses pasar yang ada.
Kadang kesulitan datang ketika masyarakat masih membudidayakan hasil alam secara asal, sehingga kualitasnya buruk. Ditambah dengan infrastruktur yang seadanya. Harga produk jadi mahal, padahal kualitasnya tidak seberapa. “Di situlah para stakeholder dan pemerintah harus mengambil peran. Bagaimana caranya bisa memecahkan permasalahan ini,” ujar Imey.
Editor: Nur Alfiyah, Leo Wahyudi