Search
Close this search box.
EcoStory

Keserakahan Manusia Ciptakan Krisis Lingkungan

Bagikan Tulisan
Para pembicara dan sebagian peserta MACE (Mari Cerita Papua dan Maluku) kolaborasi antara EcoNusa dengan Paramadina Social Care (PSC) dan Khatulistiwa Universitas Paramadina, Sabtu, 12 Maret 2022. (EcoNusa/Nur Alfiyah)

Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia sejak dua tahun lalu menjadi penanda ketidakharmonisan hubungan manusia dengan alam. Kerusakan alam yang disebabkan oleh manusia menjadi salah satu penyebab munculnya virus tersebut. “Covid-19 itu bentuk keserakahan manusia terhadap alam,” kata Aan Rukmana, Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, saat menjadi pembicara dalam acara Mari Cerita (MACE) Papua dan Maluku bertema “Hubungan Timbal Balik Antara Manusia dan Alam”, pada Sabtu 12 Maret 2022. Kegiatan MACE ini merupakan kolaborasi antara EcoNusa dengan Paramadina Social Care (PSC) dan Khatulistiwa Universitas Paramadina.

Aan mengatakan semua krisis lingkungan terjadi disebabkan oleh cara pandang manusia tentang alam. Ada dua cara pandang yang berkembang selama ini, yakni modern dan tradisional. Cara pandang modern memandang segala sesuatu lebih rasional. Alam dianggap sebagai entitas yang terpisah dari manusia, sehingga manusia bebas untuk mengkaji dan meneliti alam. 

Cara pandang tersebut sudah muncul beradab-abad silam. Pada abad ke-18, muncul gerakan aufklarung atau pencerahan di Eropa yang memberikan kedudukan luar biasa pada akal budi manusia. “Gerakan itu membuat seakan-akan manusia dengan akalnya bisa menaklukkan apa pun, termasuk menaklukkan alam,” ujar Aan.

Baca Juga: Anak Muda, Kunci Keberhasilan Lingkungan di Namatota

Pemahaman modern tersebut, kata Aan, membuat manusia bebas mengeksploitasi alam. Bahkan, para pemangku kebijakan pun justru terlibat dalam perusakan. Hal ini tentu membawa konsekuensi. Salah satunya pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia. “Alam pelan-pelan seperti melakukan serangan balik terhadap manusia,” kata Direktur Kerjasama dan Pengembangan Lembaga Paramadina Institute of Ethics and Civilization tersebut.

Cara pandang modern tersebut sangat berbeda dengan keyakinan manusia tradisional. Menurut Aan, dalam perspektif tradisional, hubungan manusia dengan alam lebih bersifat spiritual dan mendalam. Dalam tradisi filsafat timur, misalnya, menganggap bahwa manusia adalah bagian dari alam. Hal ini tercermin dalam lukisan-lukisan Cina lama yang menggambarkan manusia lebih kecil dari alam. “Ini menunjukkan bahwa sehebat-hebatnya manusia itu bagian dari alam,” katanya.

Dalam cara pandang tradisional, manusia maupun alam dianggap sebagai ciptaan Tuhan. Karena kedudukannya sama, maka keberadaannya saling mendukung satu sama lain. Perspektif ini masih diyakini oleh banyak masyarakat adat di Indonesia. Suku Baduy di Banten, misalnya, melarang masyarakat untuk menebang pohon sembarangan karena merupakan bagian dari eksistensi manusia. Masyarakat Bali pun memiliki cara pandang tri hita karana yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan antar sesama manusia.

Baca Juga: Nasib Demokrasi dan Lingkungan di Tangan Pemuda

Relasi manusia dan alam juga terjadi pada masyarakat adat di Indonesia Timur. Novi Hematang, Environmental Specialist Yayasan EcoNusa, menceritakan masyarakat adat di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku memiliki hubungan harmonis dengan alam. Salah satu contohnya, masyarakat menerapkan sasi, yakni kearifan lokal yang melarang memanfaatkan sumber daya alam di suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.

Alam yang dijaga oleh masyarakat adat tersebut, tidak hanya memberikan manfaat bagi masyarakat adat sendiri, namun juga memberikan faedah bagi seluruh manusia yang hidup di Bumi. Menurut Novi, ada tiga aspek tentang alam, yakni lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi.

Dalam aspek lingkungan, alam memiliki hutan yang di antaranya berfungsi menyerap karbon yang kita hasilkan dan memberikan oksigen untuk kita hirup. Hutan memiliki peran penting untuk menyeimbangkan iklim di Bumi. Di Indonesia, tutupan hutan terbesar tersebut ada di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku. Sebanyak 70 persen tutupan hutan Indonesia ada di Papua dan Maluku sehingga disebut sebagai benteng terakhir. Di kedua wilayah tersebut juga tersimpan hutan mangrove terbesar. Hutan mangrove tersebut menjadi tempat pemijahan berbagai jenis ikan.

Baca Juga: Pulau Raimuti, Pulau Indah di Ambang Tenggelam

Dalam aspek hubungan sosial, manusia memiliki hubungan yang dekat dengan alam. Di Indonesia Timur, hubungan tersebut bahkan bersifat emosional. Masyarakat adat menganggap alam sebagai ibu yang memberikan tempat tinggal dan memberikan makan.

Banyak cerita yang dituturkan secara turun-temurun tentang hubungan manusia dengan alam. Banyak tempat dikeramatkan karena dipercaya memiliki nilai luhur yang tinggi. “Contohnya di Tidore, ketika ada orang baru datang, dibacakan doa dan dibuat upacara supaya alam menjaga anak tersebut,” kata Novi.

Dalam aspek ekonomi, alam menjadi sumber penghasilan. Masyarakat, terutama di Indonesia Timur, mendapatkan uang dari menjual hasil kebun, seperti cengkeh, kenari, dan pala, serta menangkap ikan di lautan. Masyarakat pun memanfaatkan potensi alam dengan menjadikannya sebagai ekowisata untuk dikunjungi oleh turis.

Namun, keberadaan sumber daya alam di Indonesia Timur tersebut mendapat berbagai ancaman. Salah satunya investasi berbasis lahan dalam skala besar, seperti penebangan pohon dan perkebunan sawit. Ini membuat karbon yang sudah tersimpan di dalam pohon terlepas kembali ke udara. “Akibatnya, bumi menjadi semakin panas, bencana alam pun terjadi,” ujar Novi.

Baca Juga: Sekarang atau Punah, Belum Terlambat Mengendalikan Krisis Iklim

Menurut Aan, cara terbaik agar tetap menjaga Bumi yang kita tinggali adalah dengan menerapkan perspektif tradisional dan modern sekaligus, namun tidak berlebihan. Modern boleh, namun tidak semua hal harus dirasionalkan. Tradisional boleh, tapi jangan semua dianggap mistik sehingga menjadi mitos. “Terlalu ekstrem menganggap alam tidak bisa dijamah membuat kita akan asing dengan alam. Terlalu merasa bahwa alam bisa kita kuasai pun tidak boleh karena akan terjadi krisis,” katanya.

Novi pun mengatakan hal senada. Menurutnya, menjaga alam bukan berarti tidak boleh memanfaatkan sumber daya yang ada. Alam bisa dimanfaatkan asal dikelola secara berkelanjutan. “Sehingga anak cucu kita masih bisa menikmati alam seperti apa yang kita nikmati saat ini,” tuturnya.

Dengan alasan itu, EcoNusa, kata Novi, memberikan pelatihan ekonomi kreatif kepada masyarakat adat agar masyarakat bisa mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan selain pangan, seperti membayar sekolah anak dan kesehatan. Seperti memberikan pelatihan pembuatan sambal nanas, tepung sagu, dan budidaya pala.

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved