EcoStory

Jaring Nusa Desak Penyelamatan Masyarakat Pesisir dan Pulau Kecil di Timur Indonesia

Bagikan Tulisan
Pulau Friwen di Raja Ampat merupakan salah satu pulau kecil di Papua Barat. (Yayasan EcoNusa)

Pemanasan global membawa banyak dampak bagi Bumi. Menghangatnya suhu lambat laun mengubah pola cuaca dan mengganggu keseimbangan alam yang normal. Beberapa efeknya antara lain meningkatnya kekeringan, naiknya risiko kesehatan, hilangnya spesies, dan meningkatnya suhu serta permukaan air laut yang bisa menyebabkan pulau-pulau kecil tenggelam. 

Saat ini, Indonesia memiliki 17.504 pulau, dan hanya 2.342 pulau atau 12,38 persen yang dihuni. Sisanya, 87,62 persen atau 15.337 pulau tidak berpenghuni. Namun akibat pemanasan global, sebagian pulau tersebut terancam hilang. “Ribuan desa pesisir di kawasan timur Indonesia terancam tenggelam,” kata Parid Ridwanuddin, anggota Jaring Nusa sekaligus Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, saat pertemuan Jaring Nusa di Bali, Selasa, 30 Agustus 2022. Pertemuan tahunan ini mengangkat tema “Narasi Penyelamatan Pesisir, Laut, dan Pulau Kecil Kawasan Timur Indonesia”. 

Parid menyebutkan ribuan desa pesisir yang terancam tenggelam adalah 175 desa di Bali, 297 desa di NTB, 1.018 desa di NTT, 783 desa di Sulawesi Utara, 1.011 desa di Sulawesi Tengah, 527 desa di Sulawesi Selatan, 954 desa di Sulawesi Tenggara, 201 desa di Gorontalo, 152 desa di Sulawesi Barat, 1.064 desa di Maluku, 934 desa di Maluku Utara, lebih dari 570 desa di Papua Barat, serta 662 desa di Papua. 

Baca Juga: Pembiayaan Ekonomi Biru, Sebuah Keniscayaan

Padahal, kata CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar, kawasan Indonesia Timur merupakan benteng keanekaragaman hayati laut Indonesia. Di sana, ada segitiga terumbu karang (coral triangle). Sebanyak 76 persen spesies terumbu karang dunia bisa dijumpai di kawasan segitiga terumbu karang. Terumbu karang merupakan rumah bagi beragam spesies binatang laut dan menjadi sumber penghidupan masyarakat. “Apabila wilayah timur Indonesia ini daya dukungnya rusak, maka masyarakat yang tinggal di daerah pesisir dan pulau kecil akan terancam keberadaannya,” ujar Bustar. 

Selain perubahan iklim, kerentanan pesisir dan pulau kecil di Indonesia juga dipicu oleh berbagai faktor kebijakan, ekonomi, dan pola hidup masyarakat. Ancaman serius bahkan terjadi di kawasan timur Indonesia, terutama di wilayah pulau kecil di Papua, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Seperti konflik agraria dan konflik wilayah tangkap nelayan. Kondisi ini menyebabkan turunnya pendapatan masyarakat pesisir, kemiskinan, dan menurunnya ketahanan pangan. 

Baca Juga: Mengembangkan Kampung Berbasis Potensi dan Aset

Padahal, seharusnya masyarakat pesisir pulau kecil di Indonesia mendapatkan perlindungan dan bisa lebih sejahtera. Warga pesisir dijamin oleh Undang-undang No. 1/2014 tentang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, serta Undang-undang No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Namun kenyataannya tata kelola perikanan pun tidak lagi berpihak pada nelayan kecil. Kebijakan-kebijakan yang berpihak pada investasi, pembangunan infrastruktur, dan perizinan pertambangan justru merugikan masyarakat dan merusak kawasan pesisir dan pulau kecil. 

CEO EcoNusa, Bustar Maitar, di acara pertemuan tahunan Jaring Nusa di Bali.

Bustar mengatakan untuk menginisiasi perlindungan pesisir, antara lain bisa dilakukan dengan melakukan sharing knowledge dari cerita kegagalan dan cerita keberhasilan kerja masyarakat dalam mengelola sumber daya alam dan kerja-kerja pendampingannya. Selama ini Jaring Nusa juga telah banyak berdiskusi dengan para pihak dan salah satunya menghasilkan kertas rekomendasi kebijakan terhadap hak atas tanah masyarakat yang tinggal perairan pesisir yang telah diserahkan kepada pemerintah pada acara Pertemuan Puncak Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) 2022 di Wakatobi.

Sedangkan, Suhana, Wakil Sekretaris Pandu Laut Nusantara, berpendapat bahwa keadilan sosial adalah kunci tata kelola laut yang lestari. Selama ini seruan keadilan laut ini sudah banyak disuarakan, namun sampai saat ini implementasinya belum jelas. “Kita perlu mendokumentasikan inisiatif tata layanan lokal dan upaya perlawanan yang terkait dengan laut dengan lebih baik, dan memperkuat suara individu dan masyarakat yang mengambil tindakan dan mempertaruhkan hidup mereka untuk melindungi lingkungan laut dan pesisir,” kata Suhana.

Baca Juga: Inklusivitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Perikanan dalam Ekonomi Biru Indonesia

Menurut Suhana, pemerintah, LSM konservasi, dan organisasi filantropi perlu menempatkan pengelola lokal termasuk masyarakat pesisir, nelayan kecil, masyarakat adat, dan perempuan harus berada di garis depan upaya untuk menjaga laut. 

R. Moh. Ismail, Koordinator Kelompok Masyarakat Hukum Adat Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), mengatakan perlu adanya komitmen nasional dalam meningkatkan kesejahteraan, peningkatan bantuan sarana, prasarana serta kebutuhan dasar bagi taraf hidup masyarakat adat. 

Dalam pertemuan tahunan tersebut, seluruh peserta yang tergabung dalam pertemuan Jaring Nusa ini mendesak pemerintah Indonesia untuk mengevaluasi dan menghentikan seluruh proyek industri ekstraktif di wilayah pesisir dan pulau kecil di kawasan timur Indonesia. Selain itu, pemerintah juga didesak menjamin pengakuan dan perlindungan wilayah kelola rakyat di wilayah pesisir pulau kecil serta segera menyusun skema penyelamatan kawasan dan masyarakat pesisir dari ancaman dampak buruk krisis iklim.

Sejak dideklarasikan pada 19 Agustus 2021, Jaring Nusa hadir untuk mendorong perubahan yang lebih baik bagi kondisi pesisir, laut pulau kecil khususnya di Kawasan Timur Indonesia. Ada 18 organisasi dan komunitas yang tersebar di wilayah KTI, Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat yang menjadi anggota Jaring Nusa.

Editor: Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved