Search
Close this search box.
Defending Paradise

Cenderawasih, Simbol Budaya dan Mata Rantai Kehidupan Belantara Papua dan Maluku

Tulisan Terkait

Tanah Papua dan Kepulauan Maluku menjadi harapan terakhir dengan gugusan hutan hujan tropis terbesar di Indonesia setelah hutan-hutan di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi terus menghilang dan beralih fungsi menjadi area industri, pemukiman, hingga fasilitas umum dan infrastruktur. Baik Tanah Papua maupun Kepulauan Maluku adalah rumah bagi ratusan ribu spesies tumbuhan dan hewan. Berdasarkan buku Ekologi Papua, Tanah Papua menjadi rumah bagi 2.560 jenis ikan, 552 spesies burung, 191 mamalia, 150.000 serangga dan 15.000-20.000 spesies tumbuhan. Salah satunya adalah cenderawasih, burung surga yang telah dikenal hingga penjuru dunia sejak berabad-abad lalu. 

Cenderawasih kerap dijuluki sebagai burung surga atau bird of paradise karena keelokan bulunya dan gerakan eksotisnya. Beberapa budaya masyarakat adat di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku juga menyebutnya sebagai burung matahari atau burung dewata karena keindahannya yang tak tertandingi. 

Secara ilmiah, cenderawasih diklasifikasikan ke dalam keluarga Paradisaeidae. Berdasarkan birdsoftheworld.org Cornell Lab of Ornithology, ada 42 spesies cenderawasih yang ada di seluruh dunia. 29 spesies di antaranya hidup di Indonesia, yakni di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku. Burung-burung surga ini hidup tersebar dari wilayah Waigeo – Raja Ampat, Pegunungan Arfak, Mamberamo, Pegunungan Foja, belantara di pesisir Tambraw, Jayapura, Nimbokrang, Yapen, Taman Nasional Lorentz, Wasur – Merauke, hingga dekat perbatasan Papua Nugini. Juga di Kepulauan Aru, Pulau Halmahera dan Pulau Obi di Maluku Utara.  

Sembilan spesies cenderawasih merupakan cenderawasih endemik yang hanya dapat ditemui di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku. Ada 7 spesies cenderawasih endemik hanya hidup di wilayah tertentu di Tanah Papua. Sedangkan 2 spesies cenderawasih endemik lainnya hanya dapat ditemukan di Pulau Halmahera dan Pulau Obi di Maluku Utara. 

Wilayah hutan hujan tropis berkanopi lebat dengan pepohonan tinggi menjulang di Pulau Papua dan Kepulauan Maluku menjadi tempat para burung surga tinggal. Mereka menghuni hutan-hutan dataran tinggi hingga dataran rendah. Beberapa di antaranya pemakan buah-buahan. Sebagian lagi pemakan serangga. Hutan adalah tempat para burung surga menggantungkan kehidupan dan berkembangbiak. 

Cenderawasih tak hanya menjadi bagian dari mata rantai kehidupan di belantara hutan hujan tropis Papua dan Maluku yang rapat dan sunyi, melainkan juga simbol tradisi, filosofi kehidupan, dan identitas budaya yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat adat. Jauh sebelum dunia menyebutnya bird of paradise, masyarakat adat telah memaknai burung cenderawasih sebagai simbol adat yang harus dijaga karena menjadiwujud penghormatan manusia terhadap alam yang memberi kehidupan.

Sayangnya, cenderawasih semakin menghadapi ancaman nyata.  Burung-burung surga ini terus kehilangan rumahnya, hutan hujan tropis di tanah surga. Penebangan hutan, perluasan perkebunan skala besar, pertambangan dan pembukaan lahan mengancam cenderawasih dan seluruh ekosistem alam yang merupakan pendukung utama penghidupan masyarakat adat dan penopang iklim dunia. Menurut data KLHK, pada periode 2018-2019, Tanah Papua mengalami kehilangan hutan seluas 11.212,2 hektar di Provinsi Papua dan 5.296,1 hektar di Provinsi Papua Barat. Sedangkan Kepulauan Maluku kehilangan tutupan hutan seluas 1.271,8 di Maluku dan 3.326,8 di Maluku Utara.

Berdasarkan analisis Tim Riset EcoNusa, Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku total menempati  area seluas 11,39 juta hektar. Sekitar 86% dari total luas IUP tersebut berada di hutan alam primer. Jika hutan di seluruh area pertambangan ini dibuka, maka kemungkinan 10% hutan alam primer di Indonesia atau setara dengan 149 kali luas Ibukota DKI Jakarta akan hilang. 

Kehilangan hutan di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku mengancam keberadaan cenderawasih sebagai satwa dilindungi dan identitas budaya masyarakat setempat. Tak hanya itu, hilangnya hutan juga mengancam keberlangsungan seluruh rantai kehidupan dalam ekosistem serta kehidupan masyarakat adat dan budaya warisan turun temurun. 

Untuk itu, EcoNusa berkolaborasi dengan Cornell Lab of Ornithology (CLO) mengampanyekan pelestarian hutan hujan tropis di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku sebagai habitat burung cenderawasih melalui kampanye bertajuk Defending Paradise. 

“Defending Paradise adalah sebuah kampanye yang akan kita luncurkan untuk menjaga harmoni alam di Tanah Papua dan Maluku. Kita menyebut paradise, karena Papua dan Maluku ibarat sepenggal surga yang jatuh ke bumi, maka harus kita jaga. Paradise adalah hutan dan laut di Papua dan Maluku yang menghidupkan kita semua, anak-anak adat Papua dan Maluku yang juga menjadi penjaga iklim terbesar yang ada saat ini di Indonesia dan dunia, sehingga merupakan aset yang harus kita jaga untuk mempertahankan kehidupan kita dalam jangka waktu yang panjang. EcoNusa bekerjasama dengan CLO yang telah melakukan banyak sekali penelitian tentang cenderawasih. Dan cenderawasih juga disebut bird of paradise yang akan menjadi ikon dalam kampanye ini,” ujar Bustar Maitar, CEO EcoNusa dalam pengantarnya di acara Outlook EcoNusa, 17 Februari 2021 lalu di Sorong, Papua Barat.

Kampanye Defending Paradise dimulai 21 Maret 2021 bertepatan dengan Hari Hutan Internasional dan akan terus berlangsung hingga September 2021 melalui sosial media dan platform digital. Kampanye ini bertujuan menularkan kesadaran terutama bagi generasi muda Indonesia, tentang pentingnya kelestarian hutan hujan tropis dan burung cenderawasih sebagai salah satu keanekaragaman hayati di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku yang perlu dilindungi. Keberadaan cenderawasih menjadi tanda bahwa hutan-hutan di wilayah paling timur Indonesia ini masih tegak berdiri, menopang kehidupan dan berkontribusi pada keseimbangan iklim dunia.

Editor: Leo Wahyudi

Artikel Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved