Search
Close this search box.
EcoStory

Catatan Perjalanan: Egek, Budaya Konservasi Tradisional Suku Moi

Bagikan Tulisan
Wilayah perairan Malaumkarta Raya yang diberlakukan egek. (Yayasan EcoNusa)

Indonesia Timur memiliki banyak budaya dan tradisi, termasuk dalam menjaga alam. Masyarakat di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku yang tinggal di kawasan pesisir dan kepulauan, misalnya, mengenal istilah sasi.

Sasi adalah suatu kawasan yang disepakati secara bersama oleh masyarakat secara partisipatif untuk mengambil serta mengatur potensi di laut atau hutan. Sasi juga dimaknai sebagai cara untuk mengatur keberlanjutan secara tradisional oleh sekelompok orang dalam suatu kampung atau marga (keret).

Jauh sebelum istilah sasi ini digunakan, ada istilah lain tentang konsep penggunaan ruang secara berkelanjutan yang ada pada setiap suku atau masyarakat adat di Papua. Misalnya suku Moi, yang merupakan suku asli yang mendiami wilayah semenanjung Papua bagian barat atau wilayah Malamoi, telah lama melakukan praktik pemanfaatan ruang dengan konteks dan pemahamannya sendiri yang disebut dengan egek.

Baca Juga: Sasi di Pulau Lemon, Inisiatif Anak Muda untuk Menjaga Laut

Egek merupakan salah satu pembagian ruang wilayah oleh suku Moi. Suku Moi telah membagi konsep penggunaan ruang atau zona wilayah yang terdiri dari:

  1. Soo (suci atau putih) adalah zona inti khusus bagi suku Moi. Zona ini tidak bisa dilintasi, apalagi memotong pohon di dalam kawasan ini. Dalam kosmologi orang Moi, soo adalah tempat arwah dari marga pemilik soo untuk menanti Tuhan. Zona tersebut hanya boleh dilewati oleh alumni pendidikan adat kambik.
  2. Kofok (tempat keramat) adalah zona yang menyimpan sejarah dan totem marga, zona ini masuk dalam zona inti dan bufer dari zona soo. Zona ini pun tidak bisa dilalui dan tidak boleh ada bunyi-bunyian asing.
  3. Egek adalah zona pemanfaatan terbatas, ada waktu di mana wilayah tersebut bisa dimanfaatkan (saat egek dibuka) dan ada saat di mana wilayah tersebut dilarang untuk dimanfaatkan (ketika egek ditutup). Biasanya suku Moi melakukan larangan atau egek di dusun sagu, kolam ikan, dan tempat burung cendrawasih (kelnaing). Egek dipandang cukup bernilai tinggi karena menyimpan logistik alam yang penting bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat adat, terutama kesinambungan bagi anak cucu.

Egek diterapkan untuk melindungi zona utama, misalnya penerapan egek di hutan untuk melindungi dusun sagu, dusun damar, dusun cempedak, dusun langsat, serta sungai-sungai yang menyimpan potensi ikan. Penerapan egek di laut juga dilakukan untuk melindungi zona inti yang ditetapkan secara mufakat, seperti kolam ikan, dengan memberikan tanda pada lokasi tersebut.

Baca Juga: Membuka Egek, Melihat Deposito Alami Suku Moi

Egek mengatur larangan selama kurun waktu tertentu. Ketentuan egek ditutup dan waktu pembukaan masa panen disepakati secara bersama. Saat egek dibuka, masyarakat akan mengundang keluarga terdekat untuk mengambil hasil alam bersama.

Pengetahuan tentang egek diberikan secara turun-temurun dalam sekolah kambik, yakni pendidikan adat suku Moi, dan dipraktekkan oleh suku Moi sebagai ilmu konservasi terapan tradisional. Selain tentang egek, di dalam pendidikan adat juga diajarkan berbagai macam tradisi, dari mengenal obat- obatan, ilmu kesehatan, ilmu pertanian, hingga ilmu pertukangan.

Di Kampung Malaumkarta, konsep konservasi tradisional mulai didorong oleh masyarakat di kampung dengan pembentukan organisasi adat yang agak formal. Struktur organisasi diatur serta disusun oleh tokoh adat dengan mengacu pada aturan adat. Program utama dari pelaksana budaya konservasi tradisional atau egek tersebut adalah melakukan pelarangan dan pembatasan untuk mengambil hasil laut.

Baca Juga: Kearifan Lokal Egek, Upaya Perlindungan Hutan Malaumkarta Raya

Kawasan egek meliputi seluruh tanah adat di lima kampung, yakni Malaumkarta, Suatolo, Suatut, Malagufuk, dan Mibi. Masyarakat hanya bisa diizinkan menangkap ikan dengan cara manual yaitu memancing atau menyelam. Sedangkan menggunakan peralatan tangkap selain itu dilarang.

Untuk menetapkan kawasan konservasi tradisional, suku Moi selalu mendasarkan pada potensi alam yang tersedia (zona inti). Lalu dirapatkan bersama dalam pertemuan adat yang dihadiri oleh masyarakat dan beberapa kampung yang berdekatan. Tujuannya agar masyarakat umum dapat mengetahui batas-batas wilayah egek serta potensi apa saja yang dilindungi. Dalam rapat tersebut akan disampaikan prosesi egek oleh pelaksana ritual upacara adat, seminggu sebelum masuk waktu menutup kawasan konservasi tradisional (egek).

Editor: Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved