EcoStory

EcoNusa Outlook 2022: Pendekatan Rasa di Timur Indonesia

Bagikan Tulisan
Bupati Sorong Johny Kamuru bercerita pengalaman “rasa” pada Outlook EcoNusa 2022. (Yayasan EcoNusa/David Hermanjaya)

Hadir di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku dan merasakan langsung keseharian masyarakat adalah syarat utama yang harus dilakukan sebelum merumuskan kebijakan di wilayah timur Indonesia. “Kita harus merasakan dulu apa yang masyarakat adat rasakan. Dari rasa itu diaktualisasikan dengan kerja yang konkret. Jangan sampai masyarakat adat bilang kita tidak punya perasaan,” kata CEO Yayasan EcoNusa, Bustar Maitar, dalam Outlook EcoNusa 2022 pada Kamis (10/2/2022).

Outlook EcoNusa 2022 bertema Rasa Timur ini ingin melihat beragam ancaman sekaligus peluang yang akan dihadapi selama 2022. Di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku, masyarakat adat secara turun-temurun telah memanfaatkan dan melestarikan alam. 

“Rasa yang sama ingin kami bangun dengan seluruh masyarakat Indonesia dan dunia. Dalam outlook 2022 hari ini, kami ingin membangun Rasa untuk saling membantu menjaga hutan, laut dan alam Timur Indonesia yang merupakan benteng terakhir iklim kita, yang menjadi penopang kehidupan esok dan masa datang,” kata Bustar. 

Baca juga: Kabar Pencabutan Izin, Pemompa Semangat

Bustar menuturkan, EcoNusa berkeinginan membagi cerita tentang rasa yang terjadi di masyarakat agar dapat melihat Tanah Papua dan Kepulauan Maluku dalam kacamata berbeda. Salah satu contoh “pendekatan rasa” dalam melihat masyarakat adat dilakukan oleh Bupati Sorong Johny Kamuru yang berbagi pengalaman di acara tersebut.

Johny mengawali karirnya sebagai Kepala Distrik Sayosa pada 1998 hingga 2003. Distrik Sayosa merupakan wilayah terpencil yang tak memiliki akses transportasi yang memadai. Untuk mendengarkan dan melihat langsung apa yang dirasakan masyarakat di kampung terdekat, Johnya berjalan kaki selama sembilan jam. “Saya lihat kayu merbau besar-besar. Indah sekali. Kita dengar suara burung-burung. Kondisi sekarang ini kayu-kayu itu hanya tinggal cerita,” ujar Johny.

Suka cita menikmati pemandangan rimbunnya merbau dan kicau burung mengendap dalam diri Johny. Usai tim evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit menyerahkan rekomendasi kepada Gubernur Papua Barat, Johny mencabut izin lokasi dan izin usaha perkebunan empat perusahan perkebunan kelapa sawit seluas 165.702 hektare.

Baca juga: Menata Ulang Kampung di Merauke Berbasis Data

Pencabutan izin tersebut kemudian mendapat gugatan dari tiga perusahaan, yakni PT Sorong Agro Sawitindo, PT Papua Lestari Abadi, dan PT Inti Kebun Lestari. Dalam amar putusannya, majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura menolak seluruh gugatan penggugat. Kabar itu membuahkan kegembiraan pada masyarakat adat di Kabupaten Sorong.

“Jabatan ini cuma sekali. Ada evaluasi perizinan dan beberapa perusahaan yang harus diperbaiki. Oleh karena itu, untuk membela masyarakat inilah kesempatan saya. Kalau tidak, selamanya saya tidak melakukan sesuatu untuk masyarakat,” papar Johny.

Gema kemenangan masyarakat adat memberikan harapan baru bagi pengelolaan sumber daya alam secara berkeadilan dan berkelanjutan. Masyarakat adat semakin dekat mendapatkan hak mereka dalam mengelola tanah ulayat. Bahkan National Geographic mencatat pencabutan izin dua belas perusahaan kelapa sawit sebagai salah satu peristiwa pembangkit harapan di tengah laju krisis iklim.

“Mereka (masyarakat adat) bergantung pada hutan. Mereka tidak punya uang untuk beli ikan di pasar, mereka masuk ke hutan sebentar untuk jerat babi, cari lau-lau, sudah kembali. Tapi kalau hutan tidak ada, selamanya (masyarakat kehilangan sumber penghidupan),” ujar Johny.

Baca juga: Workshop Kepala Kampung, Agar Hutan Tak Lagi Hilang

Lebih jauh, keberadaan hutan juga berperan untuk mengatasi perubahan iklim. Hasil kajian dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang berfokus pada potensi kerugian ekonomi di Indonesia sebagai dampak dari perubahan iklim menunjukkan bahwa Indonesia berpotensi mengalami kerugian ekonomi hingga Rp 544 triliun selama 2020-2024 akibat dampak perubahan iklim, jika intervensi kebijakan tidak dilakukan atau business as usual.

Global Risk Report 2022 dari World Economic Forum yang baru saja diterbitkan di Jenewa, Swiss, pada pertengahan Januari lalu menyebutkan persoalan lingkungan, krisis iklim, ekonomi, kesehatan terkait pandemic Covid-19, dampak sosial dan politik dipandang sebagai sebuah ancaman serius. 

Menurut laporan tersebut, ada tiga ancaman jangka panjang terkait dengan dampak lingkungan dan sosial. Ketiganya adalah kegagalan aksi iklim, cuaca ekstrem, dan hilangnya keragaman hayati. Kegagalan aksi iklim bahkan dianggap sebagai ancaman paling nyata yang akan berdampak terhadap manusia dan bumi dalam sepuluh tahun ke depan.

Outlook EcoNusa 2022 ini dihadiri oleh Deputi Bidang Ekonomi Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti, Bupati Sorong Johny Kamuru, Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sjamsul Hadi, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan  Kabupaten Sorong, Salmon Samori, perwakilan Gereja Protestan Indonesia di Papua Betseba Reyna Tuasela, dan Yulince Zonggonau di Jakarta. Sementara secara daring acara ini juga diikuti oleh lebih dari 140 peserta dari seluruh Indonesia. 

Editor: Leo Wahyudi & Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved