Pala Papua (Myristica argentea Warb) memiliki nilai ekonomis tinggi. Indonesia termasuk salah satu negara produsen dan pengekspor biji serta fuli pala terbesar dunia karena menguasai 75 persen pangsa pasar dunia. Hasil hutan bukan kayu tersebut juga menjadi salah satu komoditas utama masyarakat di Kampung Egarwara, Wermenu, Kufuryai, dan Manggera di Distrik Teluk Arguni Bawah, Kabupaten Kaimana, Papua Barat.
Kebun-kebun pala masyarakat tersebar di hutan marga yang terletak di belakang kampung hingga di pulau-pulau kecil di Distrik Arguni Bawah. Saat musim panen tiba, para lelaki akan turun ke kebun berhari-hari bahkan berminggu-minggu untuk mengambil pala. “Sudah satu bulan pace (bapak) pergi ke kebun untuk petik pala,” kata mama Petrosina Tanggarofa dari Manggera, Kamis, 29 September 2022.
Meski menjadi komoditas utama, namun masyarakat belum mengelola pala dengan maksimal, mulai dari penanaman hingga pengolahan pascapanen. Sehingga harga jual yang diterima oleh masyarakat pun cenderung murah. Sejak Juli 2021, EcoNusa berupaya mendorong pengelolaan potensi pala tersebut lewat penguatan dan pengembangan komunitas, baik dari sisi kelembagaan, ekonomis, dan ekologis. Salah satunya dengan mendorong pengadaan bibit pala yang dilakukan oleh masyarakat kampung.
Baca Juga: Cerita Pala Bagian 2: Hasil Sasi Adat dan Pohon Uang di Kaimana
Pengadaan bibit pala sebelumnya rutin dianggarkan oleh pemerintah kampung melalui dana desa untuk ditanam oleh masyarakat. Sayangnya, bibit dibeli dari luar kampung, termasuk bibit yang masuk ke Egarwara, Wermenu, Kufuryai, dan Manggera pada 2017. Namun setelah 5 tahun ditanam, tidak ada satu pun pohon pala yang berbuah. “Ternyata palanya jantan semua,” kata mama Welmince Wania dari Kampung Egarwara.
Dalam budidaya pala, penentuan jenis kelamin (jantan dan betina), merupakan hal penting yang dilakukan di tahap awal penanaman. Karena hanya pala betinalah yang berbuah. Dari buah tersebut, masyarakat bisa mendapatkan biji dan fuli untuk dijual.
Masyarakat di Arguni Bawah sudah bisa membedakan pala jantan dan betina dari bentuk bijinya. Ujung biji pala betina lebih bulat dibanding pala jantan. Ketika sudah ditanam dan menjadi bibit lebih sulit untuk dibedakan. Masyarakat harus menunggu sampai pala berbuah, sekitar 5-7 tahun. Jika pala tidak berbuah, baru diketahui pala tersebut adalah pala jantan.
Baca Juga: Sasi Sambite: Kearifan Lokal untuk Meningkatkan Kualitas Pala Arguni Bawah
“Karena pengalaman ini, kami mendorong masyarakat untuk dapat menghasilkan bibit sendiri. Bibit-bibit inilah yang kemudian dibeli oleh pemerintah kampung dan ditanam oleh masyarakat,” kata Yulince Zonggonou, Community Organizer EcoNusa, yang mendampingi masyarakat Distrik Arguni Bawah.
Pengadaan pala secara mandiri oleh masyarakat lebih menguntungkan. Selain tahu jenis pala yang ditanam, masyarakat juga bisa mendapatkan tambahan penghasilan dari penjualan bibit. Uang pun berputar di kampung. “Pemerintah kampung membeli seharga Rp20 ribu per bibit, rata-rata satu kepala keluarga menyediakan 75 pohon,” kata Otniel Surune, pemuda dari Egarwara.
Selain mendorong masyarakat untuk menyediakan bibit sendiri, masyarakat juga dilatih untuk bisa menghasilkan pala goyang. Sebelum dilatih oleh EcoNusa, masyarakat memasukkan semua biji pala yang mereka panen dalam karung yang sama. Padahal harga biji pala goyang lebih tinggi dibandingkan dengan pala yang tidak goyang.
Baca Juga: Mendongkrak Produktivitas Pala di Kaimana
Pala goyang adalah biji pala yang sudah terlepas dari tempurungnya, sehingga jika digoncang akan menghasilkan bunyi. Pala yang bijinya sudah terlepas inilah yang lebih disukai oleh pengusaha karena lebih mudah diolah sehingga dihargai lebih mahal. Di Kaimana, pala goyang dihargai sekitar Rp60 ribu per kilogram, sedangkan pala tidak goyang Rp40 ribu per kilogram. “Hasil pala goyang lebih bagus,” kata mama Sonya Runda dari Egarwara, kemudian tersenyum.
Editor: Leo Wahyudi, Arya Ahsani