Search
Close this search box.
EcoStory

Cerita Pala Bagian 2: Hasil Sasi Adat dan Pohon Uang di Kaimana

Bagikan Tulisan
Pala di salah satu gudang di Ambon, Maluku, Mei 2022. (Yayasan EcoNusa/Nur Alfiyah)

Pala masih menjadi salah satu komoditas unggulan Indonesia, termasuk di Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Nilai jualnya yang tinggi membuat banyak warga Kaimana menanam pohon tersebut. Hasilnya cukup menguntungkan bagi pekebun, pengepul, dan pengusaha. 

Salah satu pengusaha pala di Kaimana adalah Udin. Ia memiliki gudang di daerah Air Merah. Pemuda kelahiran Sulawesi ini membeli pala dari hampir seluruh kampung di Kaimana. Ia  telah menggeluti usaha jual beli pala pada 2003 dengan membeli pala dari pekebun dan pengepul lokal yang banyak tersebar di kampung-kampung. Awalnya membeli puluhan kilogram, lambat laun dia membeli hingga beratus ton.

Dalam sehari, Udin mampu membeli 7 ton biji berikut juga bunga pala (fuli). Untuk membeli pala sebanyak itu, Udin mengeluarkan uang Rp280 juta. Itu baru satu pengusaha. Kalau dikalikan enam pengusaha pala yang ada, perputaran uang dari komoditas ini bisa miliaran rupiah setiap bulan. Ini adalah angka yang besar bagi kabupaten kecil yang hanya berpenduduk 60 ribu jiwa itu.

Baca Juga: Teluk Arguni, Gudang Pala dan Komoditas Hutan Kaimana

Rantai tata niaga pala amat panjang. Berawal dari para pekebun memetik dan memungut pala. Karena biji pala ini dipetik dari pohon, perlu waktu mengumpulkannya. Mereka lalu mengupas biji pala tersebut dan memisahkan biji dan bunga pala. Biji pala yang sudah dikupas bunganya kemudian diasar (pengasapan tradisional) untuk menghasilkan pala kering. Sementara bunganya dijemur begitu saja di atas kain atau terpal.

Dari para pekebun ini, pala dikumpulkan oleh para pengepul di tingkat kampung. Harga bervariasi, biasa berkisar dari Rp35.000 sampai Rp40.000 per kilogram. Pengepul membawa ke agen besar seharga Rp42.500 per kilogram untuk dikirim ke Surabaya. 

Di tangan Udin, pala itu tak langsung dikirim gelondongan. Dia menjemur ulang dan menyortir antara pala goyang dan yang tidak goyang sebelum dikirim ke Surabaya. Pala goyang adalah biji pala yang terlepas dari tempurungnya, sehingga ketika digoyang akan menghasilkan bunyi. Sedangkan pala tidak goyang adalah pala yang tidak terlepas dari tempurungnya, walaupun sudah melewati tahapan penjemuran yang baik. 

Baca Juga: Sasi Sambite: Kearifan Lokal untuk Meningkatkan Kualitas Pala Arguni Bawah

Harga pala goyang lebih tinggi, sekitar Rp70 ribu per kilogram. Untuk bisa menghasilkan pala goyang, pala yang dipetik adalah pala yang sudah tua. Itu syarat utamanya. Setelahnya baru proses pengeringan. Ini yang tidak mau dilakukan oleh para pekebun. Mereka tergiur untuk mendapatkan uang cepat dengan berbagai alasan, untuk makan, sekolah, berobat dan lainnya. 

Namun itu dulu, sebelum ada pendampingan dari Yayasan EcoNusa. Sekarang pekebun telah mulai mengubah cara mereka mengolah pala. Dimulai dengan melakukan aturan adat bernama sasi sambite pada akhir Maret 2020. Pekebun tidak lagi dapat memanen pala sembarangan. Mereka harus mengikuti aturan sasi adat. 

Aktivitas di gudang pala di Air Merah, Kaimana, Papua Barat. (Yayasan EcoNusa/Yulince Zongganau)

Dalam praktiknya, sasi adat dibagi menjadi dua. Pertama “tutup sasi” yang bertujuan untuk melarang pekebun memanen pala mereka hingga waktu yang telah ditentukan. Kedua “buka sasi”, yakni ketika pekebun diperbolehkan memanen pala mereka. Buah pala yang dipanen haruslah buah yang sudah tua. Tidak ada satu orang pun masyarakat yang berani melanggar sasi adat. Sebab diyakini akan ada bala dan hukuman dari nenek moyang bagi yang melanggar. EcoNusa juga mendampingi masyarakat dalam proses penjemuran hingga bisa menghasilkan pala goyang. 

Pertengahan Mei lalu, setidaknya ada 25 pekebun yang sudah bisa menghasilkan pala goyang. Rata-rata mereka membawa langsung ke Udin sebanyak 3 karung. Pendapatannya menggiurkan, yakni sekitar Rp14 juta. Pala diisi dalam karung ukuran 50 kg. Dalam karung sebesar itu, mereka bisa mendapatkan berat 52 kilogram. 

Hasilnya jauh berbeda jika dibandingkan saat masyarakat belum menerapkan sasi dan memanen pala muda. Paling berat mereka bisa dapat 42 kilogram per karung. Itu pun pala campur. Begitu juga bunga pala muda lebih ringan dibandingkan pala yang sudah tua. Dari panen pala tua itu, pekebun bisa mendapatkan bunga 38 kilogram per karung. Harga bunga pala sendiri oleh Udin dihargai Rp210 ribu per kilogram. 

Baca Juga: Mendongkrak Produktivitas Pala di Kaimana

Hasil penjualan tersebut oleh para pekebun, bisa untuk membeli kebutuhan pokok, membangun rumah, dan menyekolahkan anak. Tak salah kalau Udin mengatakan bahwa hasil jual beli pala setahun bisa untuk membeli rumah baru dan mobil mewah. “Pala ini pohon uang. Setiap buah di pohon itu uang,’’ kata Udin. Keuntungan itu masih bisa bertambah lagi jika daging pala dari hasil pengupasan diolah lebih lanjut. 

Menurut Alosius Numberi, Koordinator EcoNusa Kaimana, nilai ekonomis pala belum sepenuhnya dinikmati pekebun. Rantai penjualan dari pekebun, pengepul kecil, pengepul besar, hingga ke pengusaha kabupaten membuat harga yang diterima pekebun sangat kecil. “Sebagai pelaku utama pengusahaan pala, pekebun memperoleh penghasilan sangat rendah,” kata Alosius. 

Sebagian besar pekebun di Arguni Bawah, menjual pala sebelum masa panen atau dengan sistem ijon , yaitu mengambil uang muka. Perbedaan harga pala ijon dan penjualan langsung Rp10 ribu per kilogram. Karena pekebun mengambil uang dari pengepul kampung dan pengepul kampung mengambil uang dari pengepul besar di kabupaten. 

Baca Juga: Bupati Kaimana Siap Dorong Perda Sasi Pala jika Didukung Komitmen Warga

“Seperti masa panen 2021, harga pala yang diterima pedagang besar Rp45 ribu per kilogram, pada waktu sama harga pekebun hanya Rp35 ribu per kilogram,’’ katanya membeberkan kajian EcoNusa.

Untuk menjawab persoalan di atas, EcoNusa terus berkomitmen memperkuat tata niaga pala. Salah satunya dengan mendirikan Badan Usaha Milik Kampung atau yang disingkat BUMKAM. Keberadaan lembaga ini diharapkan bisa menjadi entitas bisnis pala komunitas, sehingga tata niaganya akan lebih pendek, keuntungan yang diperoleh pekebun akan semakin tinggi. Meskipun bila menjual langsung ke Udin, masyarakat sudah pasti dapat untung, tetapi biaya transportasi jarang diperhitungkan. 

Kini cerita dari 25 orang yang menjual pala ke Udin telah menyebar ke seantero Arguni Bawah. Semoga hal ini bisa memicu semangat dan usaha dalam memperbaiki pengelolaan pala mereka. “Ke depan, pala yang dihasilkan petani sudah harus dijual serentak ke Udin, untuk mengurangi tingginya biaya transportasi, dan Udin akan kasih harga tinggi kalau kuantitas barangnya banyak. Selain juga palanya mesti goyang,” kata Alosius, optimis.  

Editor: Nur Alfiyah, Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved