Bagi masyarakat di Tanah Papua, sagu tidak hanya menjadi bahan pangan. Pohon sagu memiliki empat manfaat penting dalam kehidupan, yakni sebagai sumber pangan, sandang, papan, dan ekosistem. “Sagu adalah identitas kami,” kata Charles Toto, Chef dan Aktivis Pangan Papua, di Webinar Sagu Sejuta Manfaat yang diselenggarakan oleh Teras Mitra bersama EcoNusa, Sabtu, 20 Agustus 2022.
Sebagai bahan pangan, kata Toto, pati sagu merupakan sumber karbohidrat dengan kadar gula yang rendah. Ulat sagu yang hidup di pohon tersebut juga menjadi sumber protein tinggi yang dikonsumsi oleh masyarakat. Sedangkan sebagai bahan sandang, oleh masyarakat Asmat, Korowai, dan Kombai, daun sagu biasanya dijadikan sebagai pakaian dalam upacara-upacara adat seperti pesta ulat sagu. Daun sagu juga dirajut menjadi noken yang indah.
Adapun sebagai sumber papan, masyarakat memanfaatkan daun sagu yang sebagai atap rumah, pelepahnya dijadikan dinding, dan kulitnya bisa dijadikan lantai rumah. “Dan sebagai ekosistem, akar sagu menjadi sumber air yang dibutuhkan manusia dan ekosistem di sekitarnya,” ujar Toto.
Baca Juga: Tanam Sagu, Tanam Masa Depan
Toto mengatakan sagu sebenarnya bukan hanya makanan pokok bagi masyarakat di Indonesia Timur. Relief Candi Borobudur mengisahkan sagu adalah sumber karbohidrat utama bagi sebagian besar orang di Nusantara. Namun, metode pertanian baru yang masuk ke Indonesia membuat sagu tergeser, sehingga akhirnya hanya tersisa di beberapa daerah termasuk di Indonesia Timur, mulai Sulawesi, Maluku, hingga Papua. Faktanya, hutan sagu terluas saat ini berada di Papua.
Kristian Sauyai dari Perkumpulan Penggerak Usaha dan Penghidupan Masyarakat Asli Raja Ampat (PERJAMPAT) menyebutkan selain dijadikan papeda untuk makan, sagu juga diolah menjadi cemilan bernama sinole dan beragam kue lainnya. Masyarakat yang memiliki homestay di Raja Ampat biasa menyajikan makanan tersebut untuk para tamu dan dikonsumsi sendiri.
Para pemilik homestay juga memanfaatkan daun sagu untuk atap homestay mereka demi mempertahankan tradisi Raja Ampat. Saat ini, kata dia, banyak rumah yang sudah beralih ke atap seng. Namun masyarakat yang memiliki homestay bersepakat tetap menggunakan atap dari daun sagu demi mengembalikan kearifan lokal.
Baca Juga: Sagu, Tanaman Dewa di Yoboi
Menurutnya, masyarakat juga menjadikan pelepah sagu sebagai dinding, kulit sagu sebagai lantai. “Pohon sagu itu tidak ada yang tidak bermanfaat, semua bagiannya bermanfaat untuk kehidupan manusia,” ujarnya.
Namun, karena menjadi bahan dasar pembuatan homestay, banyak masyarakat yang menjual daun sagu demi mendapatkan uang. Mereka lupa untuk menanam kembali pohon sagu untuk menggantikan sagu yang telah ditebang. Kristian khawatir, lama-lama pohon sagu akan habis karena pembangunan penginapan bagi turis.
Oleh karenanya, pada 2018 PERJAMPAT menanam ulang sagu seluas 1 hektare. Mereka juga meminta masyarakat untuk tetap mengelola hutan sagu yang tersisa. Selain itu, PERJAMPAT juga meminta kepada pemerintah daerah untuk membatasi izin resor yang masuk ke Raja Ampat. Musababnya, resor mengambil daun sagu dan pohon sagu berlebihan. “Puji Tuhan, pada 2020 kami sempat berdiskusi dengan Pemda bagaimana ada pembatasan dan pemerintah lebih berpihak kepada usaha masyarakat lokal,” katanya.
Menurut Toto, ancaman terhadap hutan sagu juga datang dari pembabatan untuk pembangunan perumahan, perkebunan sawit, atau pun diganti perkebunan lain. Banyak bencana yang terjadi akibat penebangan hutan sagu tersebut. Misalnya, banjir di Sentani Jayapura akibat perubahan hutan sagu menjadi perumahan dan jalan aspal. Akibatnya, air hujan dari Gunung Cyclop langsung turun ke danau dan meluap menjadi banjir.
Baca Juga: Hutan Sagu yang Terancam oleh Sawit
Untuk melindungi sagu, Charles Toto pun menggalang petisi di Change.org pada 2018. Ia menyerukan agar Gubernur Papua dan Gubernur Papua Barat mengeluarkan peraturan gubernur untuk melindungi hutan sagu di Tanah Papua. Petisi ini telah ditandatangani oleh 298 ribu orang.
Toto pun mendorong pemerintah untuk memperlakukan sagu seperti beras. Misalnya dengan mendorong Badan Urusan Logistik (BULOG) untuk membagikan sagu kepada para pegawai negeri setiap bulan. Harapannya sagu akan menjadi sumber ketahanan pangan yang baru.
Ia pun terus mengkampanyekan pentingnya kelestarian sagu bagi masyarakat Papua, termasuk berbicara di depan para anak muda. “Anak muda sekarang menganggap makanan lokal, termasuk sagu itu kampungan. Tapi lihat, saya bisa ke mana-mana, termasuk diundang ke luar negeri untuk memasak makanan lokal di sana,” katanya.
Editor: Leo Wahyudi