Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Mengupas Posisi Masyarakat Adat dan Hak Ulayat dalam Konstitusi Negara

Bagikan Tulisan

Persoalan masyarakat adat hingga kini menjadi isu yang terus menggantung. Lantaran belum ada aturan hukum yang memihak dan mengakui keberadaan mereka di Indonesia. Sementara itu perampasan hak dan wilayah adat masih terus terjadi sehingga masyarakat adat semakin terpinggirkan. Di sisi lain, banyak pihak berjuang agar masyarakat adat mendapatkan pengakuan dengan kebijakan yang lebih berpihak. 

Perjuangan dan masa depan masyarakat adat ikut ditentukan dari kepedulian dan kesiapan generasi muda, terutama para pemuda pemudi adat. Melihat hal ini, pada 26 Maret 2022, Yayasan EcoNusa melalui EcoDefender, bersama KATA Indonesia, HuMa dan Universitas Musamus menggelar acara  NOKEN (Ngobrol Lingkungan Keren bareng EcoDefender) bertajuk “Konsep Agraria dan Hak Ulayat Adat”. 

Baca juga: Proses Pengakuan Wilayah Adat dan Masyarakat Hukum Adat di Papua Barat Kini Bisa Lebih Singkat

NOKEN kali ini menghadirkan Revoliyando Zakaria, pakar isu adat sekaligus pendiri dan peneliti Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA), dan Pusat Etnografi Komunitas Adat (PUSTAKA), serta dipandu oleh Leonardo Numberi dari EcoDefender.

Revoliyando memberikan presentasi seputar istilah masyarakat, wilayah adat, dan problematika pengakuannya dalam tatanan masyarakat Indonesia. Isu masyarakat adat sendiri di Indonesia telah menjadi diskusi dan wacana publik yang diperjuangkan sejak awal negara ini berdiri, tapi gaungnya sempat meredup saat orde baru berkuasa.

Perjuangan masyarakat adat kemudian kembali menggeliat setelah adanya gerakan masyarakat adat (indigenous peoples movement) di dunia dan terus bergulir demi tercapainya kedaulatan yang tak kunjung terealisasi hingga kini. Namun, wacana yang dibawa pada gerakan masyarakat adat di tingkat global tak serta merta dapat diadopsi ke dalam setiap gerakan masyarakat adat di Indonesia. Hal ini perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi lokal.

Baca juga: Sekolah Transformasi Sosial Resmi Dibuka Bupati Sorong Selatan

Kesadaran akan eksistensi masyarakat adat dan perlunya aturan dalam instrumen kebijakan negara sudah ada sejak reformasi Indonesia. Hal ini tercermin dengan keberadaan beberapa pasal dalam Undang-undang Dasar 1945. Pasal 18B Ayat 2 yang menjelaskan tentang pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat, Pasal 28I Ayat 3  tentang penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional, dan Pasal 32 yang menerangkan tentang memelihara dan memajukan kebudayaan nasional dan daerah yang di dalamnya juga termasuk masyarakat daerah.

Sayangnya, istilah “masyarakat adat” tidak tertulis secara langsung dalam konstitusi Republik Indonesia. Padahal, istilah inilah yang digunakan dalam setiap perjuangan untuk mendapatkan kedaulatan masyarakat adat. Oleh karenanya, Revoliyando mengatakan bahwa penggunaan istilah “masyarakat adat” perlu disesuaikan dengan fungsi dan konteksnya. Bila berbicara mengenai pengakuan politik, pemaknaan “masyarakat adat” mengacu pada definisi masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional. Sementara  dalam topik pengakuan hak ulayat, definisi yang digunakan adalah konteks masyarakat hukum adat. Pemaknaan masyarakat adat sebagai masyarakat daerah lebih digunakan dalam konteks kebudayaan yang lebih umum.

“Sebenarnya masalah besar dalam polemik tentang pengakuan masyarakat dalam aturan negara kita disebabkan oleh tidak tajamnya pendefinisian konteks fungsional untuk istilah masyarakat adat itu sendiri,” ucap Revoliyando.

Baca juga: Cerita Suku Moni dan Suku Mee, Dulunya Berperang, Sekarang Hidup Berdampingan

Hak ulayat atau hak wilayah adat merupakan kewenangan masyarakat adat untuk menguasai, mengatur, mengelola, memanfaatkan, dan mengawasi satu kesatuan wilayah geografis dan sosial beserta seluruh sumber daya alam yang ada di dalamnya dengan batasan-batasan tertentu secara turun temurun berdasarkan hukum adat.

Revoliyando juga menjelaskan definisi hak ulayat berdasarkan teori Beschikkingsreght yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven. Teori ini berpendapat bahwa hak adat adalah kewenangan komunitas adat atas tanah yang belum dikerjakan, mengatur pemanfaatan tanah komunitas, pembayaran atas penggunaan tanah oleh warga komunitas, mengatur warga atas tanah yang sedang dibudayakan, tanggung jawab teritorial, dan keabadian hak-hak komunitas. Berdasarkan teori tersebut, hak ulayat bersifat publik-privat yang menjadi hak komunal, dan ada juga hak privat yang diatur oleh pemangku adat dalam suatu kelompok masyarakat adat.

Menurut Revoliyando, tatanan sistem hukum adat yang dimiliki masyarakat adat di Indonesia yang beragam menjadi hal yang seharusnya diperhatikan dalam proses perancangan kebijakan yang mengatur hak adat, termasuk di dalamnya hak ulayat.

Baca juga: Hutan Sagu yang Terancam oleh Sawit

“Setiap kelompok masyarakat adat kan memiliki sistem hukum adat yang berbeda-beda. Hal ini membuat kompleksitas hukum adat yang beragam ini perlu diperhatikan saat proses kebijakan dibuat. Minimnya ketertiban berpikir dalam perancangan instrumen hukum yang dibuat untuk mengatur hak adat menjadi masalah, karena seharusnya menggunakan perspektif yang holistik sejak awal, kontekstual dengan kondisi lokal. Ini yang akhirnya menimbulkan masalah,” tambah Revoliyando.

Rekam jejak menunjukkan kebijakan yang mengatur hak ulayat masyarakat adat di Indonesia telah berganti dari satu peraturan ke peraturan lainnya. Sekarang konstitusi yang mengatur hal ini ada dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang menyatakan bahwa hak masyarakat adat, hutan adat, dan tanah adat (ulayat) diakui oleh negara sejauh masyarakat hukum adat tersebut pengakuannya telah ditetapkan oleh Peraturan Daerah. Aturan ini semakin menambah problematika yang ada. Pasalnya, masyarakat adat tidak mudah untuk mendapatkan pengakuan atas hak dan wewenangnya secara resmi dari Pemerintah Daerah yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah.

“Sayangnya, meskipun kerangka hukum yang Indonesia punya untuk mengatur ini ada banyak, tapi tidak membawa perubahan. Oleh karenanya, kita harus kritis terhadap kebijakan yang ada. Kita juga memerlukan siasat dan ruang terbuka dalam memperjuangkan hak dan kepentingan masyarakat adat,” tutup Revoliyando.

Editor: Leo Wahyudi & Lutfy Putra

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved