Kampung Waimon merupakan salah satu kampung di Distrik Segun yang secara geografis terletak di bagian selatan Kabupaten Sorong, Papua Barat. Masyarakat Kampung Waimon didiami oleh beberapa marga yaitu, Marga Aresi, Fadan, Malalu, Kasilit, Igip, dan Seme. Salah satu aset berharga yang mereka miliki adalah Pulau Bambu. Pulau ini mempunyai potensi laut yang tinggi karena pulau ini menjadi basis pengepul udang banana (Fenneropenaeus merguiensis) khususnya di Distrik Segun.
Sayangnya, bukan masyarakat lokal yang mendominasi pemanfaatan hasil laut di Pulau Bambu. Kenyataanya, sebagian besar nelayan di pulau tersebut adalah nelayan dari Suku Buton, Sulawesi Tenggara. Menurut kabar, mereka memiliki perjanjian kontrak wilayah di Pulau Bambu yang nilainya Rp50.000.000 setiap tahun. Kontrak yang sudah berjalan sejak tahun 2003 ini dilakukan antara pihak marga Malalu bersama pengepul. Kontrak pemanfaatan hasil laut ini sangat menguntungkan. Salah satu potensi yang tidak mengalami penurunan dalam proses penangkapan adalah udang banana.
Baca juga: Pulau Raimuti, Pulau Indah di Ambang Tenggelam
Dalam satu kali perjalanan setiap hari, setiap armada yang dioperasikan 2 – 3 orang nelayan dapat menghasilkan sekitar 80 – 100 kilogram tangkapan. Harga udang banana per kilogram Rp60.000 di tingkat pengepul. Kemudian pengepul menjualnya dengan harga antara Rp80.000 sampai Rp100.000 per kilogram di kota.
Artinya, setiap satu armada nelayan memperoleh pendapatan kotor sekitar Rp4.800,000 – 6.000,000 per hari. Jika dalam satu hari ada 80 armada nelayan yang beroperasi, maka nilai kontrak setahun dapat terbayarkan dari penghasilan melaut dalam sehari.
Dari jumlah armada yang terdata, alat tangkap yang digunakan adalah jaring udang. Panjang jaring udang normal biasanya berukuran 20 meter. Namun untuk memaksimalkan tangkapan, biasanya masyarakat menyulam atau menyambung dengan ukuran kurang lebih 200 meter.
Baca juga: Kapok Pakai Bom ikan
Ada dua cara penangkapan yang dilakukan. Pertama, nelayan membiarkan areal yang menjadi target tidak diganggu sepanjang hari. Pada hari berikutnya, barulah jaring dibentangkan dan dilabuhkan selama 2 sampai 3 jam sambil memantau pelampung yang ada di jaring. Jika pelampung bergerak, hal tersebut menandakan sudah waktunya untuk mengangkat jaring.
Cara yang kedua dilakukan dengan menebarkan jaring yang berbentuk setengah lingkaran lalu dilabuhkan kurang lebih 15 menit. Setelah itu, nelayan akan melemparkan batu atau kayu bello (jenis kayu kecil berukuran panjang) yang dipukul ke air untuk menggiring udang masuk ke jaring.
Menurut Lekius Kasilit, warga Waimon, para pengepul hanya menggunakan beberapa tenaga kerja dari masyarakat kampung. Mereka mempekerjakan buruh kontrak yang didatangkan dari Buton. Ada dua pengepul yang beroperasi di wilayah Waimon, yaitu di Teluk Segun dan Pulau Bambu.
Baca juga: Air, Sumber Terang Masyarakat Moi Kelim
“Kami hanya mencari udang di sekitar Pulau Bambu lalu membawanya ke pengepul. Biasanya kami mengambil barang-barang seperti bensin, gula, kopi, rokok, pinang, dan biskuit di pengepul. Jadi kami hanya mengambil saja, tetapi hasil pemotongan nanti setelah kami membawa hasil tangkapan ke pengepul. Udang yang diminta juga harus sudah dibersihkan bagian kepalanya untuk ditimbang dan mendapatkan berat bersihnya. Hasil penjualan akan dipotong dengan harga barang-barang yang saya bawa” tutur Lekius.
Melihat kondisi ini, masyarakat Kampung Waimon menginginkan agar tata kelola Pulau Bambu dikembalikan ke masyarakat lokal. Mereka tidak ingin melibatkan lagi pengepul karena karena sudah merugikan mereka selama kurang lebih 21 tahun.
Masyarakat pendatang yang bermukim di Pulau Bambu juga secara administrasi terdata sebagai masyarakat Kampung Waimon. Tetapi selama bermukim di kampung, mereka tidak pernah berkontribusi secara fisik maupun materi bagi Kampung Waimon.
Baca juga: Keberpihakan RTRW Selamatkan Hutan Perempuan
Persoalan pengelolaan potensi laut di Pulau Bambu harus disikapi dengan model pengelolaan yang lebih ramah lingkungan dan berpihak pada masyarakat adat. Perlu diskusi yang mendalam dengan tokoh adat di kampung dan mendorong peningkatan kapasitas masyarakat. Selain itu, perlu pembentukan Peraturan Kampung (PERKAM) terkait keberadaan Badan Usaha Milik Kampung (BUMKAM) yang mengatur tata kelola wilayah pesisir Kampung Waimon. Harapannya, kegiatan penangkapan dapat terkontrol dan sumber daya udang tetap terjaga keberlanjutannya.
Editor: Leo Wahyudi dan Lutfy Putra