Search
Close this search box.
EcoStory

Air, Sumber Terang Masyarakat Moi Kelim

Bagikan Tulisan
Yoap Mobalen, warga Kampung Malaumkarta, memeriksa kondisi instalasi pembangkit listrik mikro hidro. (Yayasan EcoNusa/Moch. Fikri)

Berpuluh-puluh tahun Suku Moi Kelim di Kampung Malaumkarta dan Kampung Suatolo di Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat, merindukan penerangan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Harapan mereka akhirnya terkabul pada 2018 silam ketika kedua kampung tersebut mendapatkan listrik dari pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH) dari hulu Sungai Kalawagan.

“Setelah ada PLTMH masyarakat kini senang, karena anak-anak bisa belajar dengan baik saat malam hari. Mereka bisa gunakan laptop, hape. Masyarakat senang dengan teknologi itu,” kata Jefri Mobalen, Kepala Kampung Malaumkarta, pada 31 Januari 2022. 

Jefri mengenang kembali beberapa tahun silam ketika ada gagasan dari para pemuda kampung untuk membangun pembangkit listrik. Mereka lalu mendatangkan ahli dari Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan, dan Kota Sentani, Provinsi Papua. Mereka lalu melakukan survei untuk mencari sumber air, debit air, dan ketinggian daerah yang cocok. 

Baca juga: Bersama EcoNusa, Kemendikbud Akan Dirikan Sekolah Adat di Malaumkarta

Kedua ahli memberikan temuan yang sama. “Akhirnya masyarakat memilih Sungai Kalawagan untuk dibendung untuk menghasilkan tenaga listrik,” kata Jefri.

Sebagai langkah awal, masyarakat lalu membendung air yang dialirkan ke bak penampung. Mereka juga merinci pembiayaan yang diserahkan pemerintah kampung untuk dimasukkan dalam rencana pembangunan kampung. 

Berdasarkan rapat kampung, Kampung Malaumkarta dan Kampung Suatolo menghimpun dana desa 2016 dan 2017 masing-masing Rp 600 juta untuk membangun instalasi PLTMH tersebut. 

Rasa Memiliki

Usaha mereka pun akhirnya berhasil. Mereka memiliki pembangkit listrik tenaga mikro hidro yang mampu menerangi kedua kampung tersebut. Untuk membiayai operasional PLTMH tersebut masyarakat sepakat untuk membayar iuran bulanan berdasarkan pemakaian.

Baca juga: Papua, Maluku, Torang Bisa, Barang Apa Jadi

“Tidak ada meteran listrik seperti PLN. Kami menghitung di satu rumah ada berapa lampu, berapa watt tenaganya, televisi berapa ukurannya, kulkas berapa dayanya,” kata Jefri. 

Pembayaran akhirnya dilihat dari kondisi keluarga. Kisarannya untuk yang tidak mampu adalah Rp10.000 sampai Rp30.000 per kepala keluarga. “Tapi keluarga yang mampu membayar Rp50.000 sampai Rp100.000 setiap bulan. Kalau ada warga yang memberikan iuran lebih juga boleh, karena ada rasa memiliki,” imbuh Jefri. 

Iuran bulanan itu dikumpulkan oleh sekelompok pemuda kampung yang dikelola secara transparan dan dilaporkan ke masyarakat. Setiap bulan bisa terkumpul sekitar Rp3-4 juta yang disimpan untuk perawatan turbin. Menurut Jefri, kini sudah ada lebih dari 100 pelanggan di kedua kampung. Rencananya akan dikelola secara lebih profesional ke depan.

Baca juga: EcoNusa Outlook 2022: Pendekatan Rasa di Timur Indonesia

Kehadiran listrik dan penerangan di kedua kampung itu dirasakan manfaatnya. “Kini masyarakat bisa bertumbuh secara ekonomi dengan usaha-usaha kecil yang sudah mulai nampak,” kata Jefri.

Arti Hutan dan Air

Jefri mengatakan pentingnya sumber air dan hutan yang harus dijaga. “Manusia hidup tergantung dari sumber air yang di gunung. Tidak ada sungai, tidak ada kehidupan manusia. Jadi kita harus menjaga agar air tidak tercemar atau terkena longsor. Masyarakat harus menjaga alam agar tidak mencemari sungai,” tandas Jefri.

Masyarakat adat Moi Kelim menyadari pentingnya untuk menjaga hutan dan air agar tetap lestari. Termasuk laut yang bisa menjadi potensi wisata di kedua kampung tersebut. Menurutnya, kalau hutan dan air terjaga, maka turbin tetap berputar dan penerangan pun tetap ada. 

Baca juga: Kearifan Lokal Egek, Upaya Perlindungan Hutan Malaumkarta Raya

Jefri mengatakan bahwa dulu masyarakat di Malaumkarta adalah predator terbesar untuk sumber daya hutan dan laut. Namun seiring perkembangan, masyarakat pun sadar bahwa mereka harus menjaga alam sehingga muncullah budaya egek. Egek ini merupakan kearifan lokal Suku Moi Kelim untuk menjaga laut dan keberlanjutan perikanan. 

Egek muncul karena kesadaran bersama masyarakat. Dulu Malaumkarta Raya adalah predator terbesar penyu dan dugong. Apalagi ketika ada ritual adat,” kata Yosias, mantan Sekretaris Kepala Kampung Malaumkarta.

Namun sejak 2001, egek mulai diberlakukan. Sekarang semua berubah untuk menjaga kelestarian alam, dugong, dan penyu. “Sekarang semua sudah tidak ada yang menangkapnya,” imbuh Yosias.

Kearifan lokal kampung ini sekarang menjadi daya tarik wisata. “Masyarakat luar datang ke Malaumkarta Raya karena masyarakat bisa menjaga alam,” kata Jefri.

Editor: Nur Alfiyah & Lutfy Putra

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved