Search
Close this search box.
EcoStory

Pemuda Kunci Keberhasilan Penyerapan Karbon

Bagikan Tulisan
Tangkapan layar presentasi akadmisi Insitut Pertanian Stiper, Agus Setyarso, dalam seminar nasional bertajuk “Presidensi G20” secara luring dan daring pada Senin, 18 Juli 2022.

Gerakan pemuda akan mendapatkan momentum seiring bertambahnya jumlah populasi akibat bonus demografi. Saat Indonesia berusia seratus tahun, persentase populasi usia produktif sekitar 65 persen dari total penduduk yang diperkirakan mencapai 381,96 juta jiwa. Hal ini sangat menguntungkan karena para pemuda dapat digerakkan untuk turut dalam mengendalikan krisis iklim.

Akademisi Institut Pertanian Stiper (Instiper), Agus Setyarso, mengatakan bahwa luasnya jejaring pertemanan yang kerap dimiliki pemuda dapat membantu mengarusutamakan wacana dan pengetahuan terkait krisis iklim. Penggunaan media sosial di kalangan pemuda memungkinkan hal itu terjadi lebih cepat.

“Kekuatan terbesar dari milenial itu mereka punya follower (pertemanan sosial media) yang besar. Tengok Greta Thunberg. Aksinya memengaruhi 14 juta orang dari 7.500 kota di seluruh benua,” kata Agus dalam Seminar Nasional Sylva Indonesia 2022 bertajuk “Presidensi G20” secara luring dan daring pada Senin, 18 Juli 2022.

Baca juga: Berjalan Sambil Membuat Jalan

Keberhasilan berbagai langkah strategis untuk mengendalikan krisis iklim bergantung pada kolaborasi para pemangku kepentingan. Menurut Agus, bila program pengendalian iklim sepi peminat dan berjalan secara parsial, maka bermacam tujuan yang telah ditetapkan akan jauh panggang dari api.

Salah satu program mitigasi krisis iklim yang disusun oleh pemerintah adalah FOLU (Forest and Other Land Use) Net Sink. Pemerintah menargetkan sektor hutan dan lahan  menyerap karbon lebih besar dibanding jumlah karbon yang dilepaskan pada 2030. Dengan kata lain, target penyerapan emisi gas rumah kaca sebesar 140 juta ton C02e pada tahun 2030. Sektor kehutanan berperan paling besar, yakni 60 persen dalam upaya penyerapan emisi tersebut.

Menurut Agus, keterlibatan pemuda untuk mencapai target penyerapan emisi gas rumah kaca sangat diperlukan. Tanpa partisipasi pemuda akan sulit memenuhi aksi mitigasi di sektor kehutanan seperti penghentian deforestasi dan restorasi gambut, pengelolaan hutan lestari, dan optimalisasi lahan tidak produktif. “FOLU Net Sink kalau dia gak punya jutaan follower, dia akan gagal,” ungkapnya.

Baca juga: Kemah Pemuda Manokwari Mendidik Calon Agen Perubahan

Senada dengan Agus, CEO Yayasan EcoNusa, Bustar Maitar, menyebut keterlibatan mahasiswa kehutanan yang tergabung dalam Sylva Indonesia akan memberikan dampak besar pada pengendalian krisis iklim. Dengan asumsi 48 pengurus cabang Sylva Indonesia, setidaknya terdapat 24 ribu mahasiswa yang memiliki perhatian lebih terhadap hutan Indonesia.

“Kalau 24 ribu mahasiswa itu tidak bisa digerakkan untuk memberikan hutan yang lestari, apa kita berhenti saja jadi mahasiswa? Ini penting sekali. Kalau gak ada hutan jangan harap mahasiswa kehutanan akan punya pekerjaan,” ujar Bustar.

Menurut Bustar, hutan di timur Indonesia adalah harapan terakhir mewujudkan hutan yang lestari. Jika deforestasi hutan di Kepulauan Maluku dan Tanah Papua terus berlangsung, ia khawatir perubahan iklim tak bisa lagi dikendalikan. Upaya pemerintah memenuhi komitmen terhadap Perjanjian Paris yang tertuang dalam kontribusi yang ditetapkan secara nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC) menjadi tak relevan.

Baca juga: Pentingnya Gerakan Anak Muda untuk Selamatkan Laut Kita

Bustar mengatakan, selain mengawal jalannya Presidensi G20 dan kebijakan yang terlahir pasca kegiatan tersebut, yang tak kalah penting bagi mahasiswa kehutanan adalah merancang masa depan Indonesia melalui pemimpin yang peduli terhadap lingkungan hidup. Mahasiswa, lanjut Bustar, punya posisi penting dalam sejarah penentuan nasib Indonesia.

“Dua tahun lagi akan ada pemilihan presiden dan wakil presiden. Mahasiswa punya posisi kuat terkait nasib Indonesia ke depan. Apakah pemimpin baru masih bicarakan FOLU Net Sink apa tidak? Karena kalau mahasiswa tidak bicarakan itu hari ini ya tidak ada artinya. Begitu-begitu saja,” ungkap Bustar.

Untuk diketahui, Sylva Indonesia merupakan ikatan mahasiswa kehutanan Indonesia yang dibentuk pada 1959. Hingga kini terdapat 48 pengurus cabang dan 10 pengurus regional yang tersebar di 48 universitas di seluruh Indonesia.

Editor: Leo Wahyudi & Nur Alifyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved