Hutan di Tanah Papua tidak hanya menyumbang oksigen bagi dunia. Ia juga menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat adat setempat, dan rumah bagi beragam tumbuhan serta hewan. Namun, penebangan pohon secara masif membuat keragaman itu jauh berkurang.
Dalam sebuah diskusi di acara Workshop Kepala Kampung pada awal November 2021 yang diinisiasi oleh Yayasan Econusa dan Perdikan, para perwakilan kampung dari Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat, membagi pengalaman mereka kehilangan penghuni hutan akibat pembabatan. “Pada 1992-2002 illegal logging masuk, membuat hutan hancur,” kata Yohan Tigori, tokoh masyarakat dari Kampung Onim Sefa, Distrik Kais darat, Sorong Selatan, Selasa, 2 November 2021.
Menurut dia, dulu pohon-pohon seperti matoa dan merbau, yang dikenal dengan sebutan kayu besi, tumbuh lebih banyak dari sekarang. Satwa seperti cenderawasih, burung mambruk, kanguru pohon, dan udang putih pun lebih sering ditemukan.
Namun setelah perusahaan yang melakukan pembalakan liar masuk, dan masyarakat pun ikut menebangi pohon untuk dijual, kondisi hutan berubah. “Pohon ditebang untuk mencukupi kebutuhan ekonomi, cenderawasih juga berkurang karena aktivitas manusia di hutan sangat ramai sehingga mereka berpindah tempat,” Yohan.
Baca Juga: Sekolah Kampung Samb Kai, Membangun Ketahanan Kampung di Merauke
Yohanis Kamesrar, Sekretaris Kampung Haha, Distrik Seremuk, berkisah, beberapa tahun lalu, sebuah perusahaan masuk ke kampung mereka dengan membawa alat berat untuk mengambil kayu besi guna dikirim ke luar negeri. Akibat penebangan tersebut, sebagian lahan menjadi gundul.
Selain kehilangan satwa, deforestasi juga membawa konsekuensi lain di Kampung Haha. Tanah yang semula subur dan keras berubah menjadi lumpur ketika hujan sehingga sulit dijadikan ladang. Air sungai yang mengalir di kampung yang dulu jernih pun menjadi keruh sehingga warga kesulitan mencari udang yang biasanya mereka jadikan lauk atau pun dijual.
Thomas Metibaru, dari Badan Musyawarah Kampung Wamargege, Distrik Konda, punya cerita berbeda. Ia mengatakan penebangan hutan baik yang dilakukan oleh perusahaan maupun masyarakat setempat telah membawa dampak besar bagi kampung Wamargege yang terletak di pesisir Sorong Selatan. Sungai yang melintas di kampung mereka yang semula berukuran kecil, kini makin melebar akibat erosi. “Apakah ada program pemerintah berupa reboisasi agar lahan-lahan yang pohonnya sudah diambil itu bisa ditanami kembali?” katanya.
Baca Juga: Charlie Heatubun: Hutan Adalah Tempat yang Tak Tergantikan
Diskusi tentang kondisi hutan tersebut merupakan bagian dari Workshop Kepala Kampung yang diselenggarakan oleh EcoNusa dan Perdikan. Workshop itu merupakan bagian dari program School of Eco-Involvement. Sebanyak 7 orang kepala kampung, dan 22 pemuda serta Badan Permusyawaratan Kampung (Baperkam) dari Kabupaten Sorong Selatan mengikuti workshop yang berlangsung pada 1-8 November 2021 itu.
“Workshop ini bertujuan agar ada perubahan perilaku masyarakat dalam mengelola hutan karena kehidupan mereka sangat bergantung pada hutan,” kata Koordinator Program School of Eco-Involvement EcoNusa, Carmelita Mamonto.
Tim EcoNusa dan Perdikan memilih Sorong Selatan sebagai lokasi Workshop Kepala Kampung lantaran kelestarian hutan di kabupaten tersebut terancam. Selain karena kebiasaan masyarakat seperti yang disampaikan dalam diskusi tersebut, banyak perusahaan sawit yang masuk ke wilayah itu.
Sebelum 2018, ada 30 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mendapat izin konsesi di Sorong Selatan. Untungnya, sebagian izin konsesi tersebut kemudian dicabut oleh Bupati Sorong Selatan pada awal 2021 karena perusahaan melakukan berbagai pelanggaran.
Di sisi lain, hasil studi singkat dengan mewawancarai penduduk 12 kampung di Sorong Selatan yang dilakukan tim EcoNusa dan Perdikan pada 8-16 Oktober 2021 menyimpulkan bahwa kelestarian hutan juga terancam karena kondisi ekonomi masyarakat setempat. Sebagian besar penghasilan mereka habis untuk memenuhi kebutuhan pokok. Keadaan ini membuat mereka rentan melepaskan wilayah adat mereka jika ada perusahaan sawit datang untuk melakukan investasi.
Baca Juga: Melindungi Wilayah Adat dari Investasi Sawit
Menurut Anggota Dewan Pembina Kampus Perdikan, Ahmad Mahmudi, keberhasilan membangun sistem tata kelola hutan yang lestari sangat ditentukan oleh masyarakat adat dan kelompok masyarakat yang sumber penghidupannya bergantung pada hutan. Jika masyarakat setempat memiliki tingkat ketahanan yang kuat, mereka akan mampu menjaga keselamatan hutan dan mengelolanya secara lestari dan berkelanjutan.
“Oleh karena itu, jalan yang harus ditempuh masyarakat lokal adalah melakukan upaya dengan sungguh-sungguh untuk meningkatkan kapasitas ekonomi, sosial, politik, pengetahuan, dan teknologi agar dapat menciptakan dan melaksanakan sistem tata kelola hutan yang berkelanjutan,” katanya.
Selain diminta membagikan pengalaman mereka tentang kehilangan hutan, para perwakilan kampung juga berdiskusi tentang hutan sebagai sumber penghidupan, kebijakan tata kelola hutan, kebijakan tata kelola pemerintah kampung, serta sistem pangkalan dan informasi kampung. “Penting untuk membangun kampung secara aktif dan bersama, juga memperkuat kerja sama antarkampung di Kabupaten Sorong Selatan,” kata Kepala Sekolah STS Sorong Selatan, Matheos Rayar.
Baca Juga: Kader Kampung Belajar Pemetaan dan Sistem Informasi Kampung
Niko Mondar, tokoh masyarakat Kampung Nakna, Distrik Konda mengatakan setelah terlibat dalam serangkaian diskusi tersebut, ia berpendapat perlu adanya kelembagaan yang dimiliki secara legal di kampung atau adat. “Lembaga ini penting untuk mengawal semua proses kehidupan sosial dan ekonomi berkelanjutan dengan menjaga wilayah hukum adat,” tutur dia.
Sedangkan Yunus Krimadi, Sekretaris Kampung Wendi, Distrik Sawiat mengatakan kegiatan Workshop Kepala Kampung tersebut sangat bermanfaat. Mereka jadi lebih paham tentang fungsi kawasan hutan dan manfaat ekosistem yang ada di sekitar kampung. “Masyarakat harus paham terkait fungsi kawasan,” ujarnya.
Editor: Leo Wahyudi, Carmelita Mamonto