Sudah dua tahun Perkumpulan PakaTiva mendampingi warga Desa Samo, Kecamatan Gane Barat Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Untuk mencapai desa ini bisa menggunakan transportasi laut dan darat. Dari Pulau Ternate membutuhkan 5 jam perjalanan. Dimulai dengan menyeberang menggunakan speed boat ke Sofifi, ibukota Provinsi Maluku Utara yang terletak di Pulau Halmahera. Dari sini perjalanan dilanjutkan dengan mobil. Waktu tempuh lumayan lama karena kondisi jalan yang belum mulus teraspal. Sebagian masih berbentuk jalan tanah. Karena itu jika hujan deras, sungai meluap dan jalanan berlumpur perjalanan terpaksa dilanjutkan dengan menggunakan perahu atau ojek motor. Selain itu, Desa Samo juga bisa dicapai dengan kapal laut tiga kali seminggu dengan waktu tempuh sekitar 8 jam dari Ternate.
Awal 2019 lalu, PakaTiva mengawali kegiatan dengan membangun penguatan kapasitas warga, sekaligus mendorong beberapa praktek kecil di lapangan. Pertengahan 2019 dengan mengusung program penguatan kapasitas masyarakat sekitar hutan (forest community) yang didukung Yayasan EcoNusa, warga sudah mulai mengembangkan tanaman pangan dan usaha produktif lainnya.
PakaTiva memasilitasi warga untuk memenuhi pangan dengan mengembangkan kebun atau lahan tidur. Langkah paling awal adalah menginisiasi pembentukan kelompok tanam padi dan menyediakan benihnya. Benih yang disediakan adalah benih lokal organik non-GMO (Genetically Modified Organism) yang diambil dari Halmahera Utara.
Pilihan mengembangkan padi ladang ini melalui beberapa pertimbangan. Pertama, warga punya sejarah panjang menanam padi yang sudah ditinggalkan selama hampir 20 tahun. Kedua, berdasarkan sebuah survei kecil dari PakaTiva menunjukan bahwa Desa Samo yang memiliki 166 kepala keluarga (KK) dengan luas 49,9 kilometer persegi itu, warganya mengonsumsi beras yang didatangkan dari Ternate. Dalam satu bulan tiap KK mengonsumsi beras antara 35 sampai 40 kilogram.
“Ini yang mendasari kita mendorong warga menyiapkan pangan mereka. Tiap bulan satu KK bisa menghabiskan Rp350 ribu, bahkan lebih untuk membeli beras. Belum lagi untuk belanja sayur dan kebutuhan lainnya, sehari paling kurang Rp10 ribu. Rata-rata sebulan warga harus merogoh kocek sekitar Rp600 ribu untuk beli beras dan sayur-mayur. Padahal mereka adalah petani dan punya lahan cukup luas,” jelas Faizal Ratuela, Direktur Perkumpulan PakaTiva.
Artinya, menurut Faizal, belanja beras warga desa tersebut dalam sebulan mencapai Rp99 juta. Jumlah yang tidak sedikit. Karena itu, harus ada upaya untuk mengubah pola pikir warga agar kembali bertani untuk mengurangi pengeluaran untuk makan. Tujuannya agar uang dari menjual kopra, cengkih atau pala bisa digunakan untuk biaya kesehatan, pendidikan anak-anak atau ditabung. “Gerakan ini sebenarnya sebagai upaya untuk mengajak warga kembali menanami lahan mereka dengan tanaman pangan,” kata Faizal.
Warga sudah memiliki tradisi menanam padi dari dulu. Dalam setahun mereka menanam padi dua kali. Musim tanam pertama Juni-Juli,dan musim tanam kedua pada Maret- April. Hasil panen akan menjadi stok pangan mereka selama setahun.
Selain itu, mereka juga menerapkan sistem tumpangsari dengan jagung, yang istilah lokalnya disebut roka (tanaman sela). Roka yang biasa digunakan adalah jagung dan jenis kacang-kacangan. Jagung dipilih karena bisa dijadikan pengganti sebelum panen padi. Petani bisa menghasilkan jagung untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat dalam tiga bulan selama menunggu masa panen padi.
Begitu juga tanaman hortikultura. Biasanya warga punya cadangan lahan dengan ukuran sekitar 25×50 meter untuk menanam sayuran, bawang, cabe, tomat dan lain-lain. Dengan cara ini, warga selalu siap memenuhi keperluan sehari-hari. Mereka juga memiliki padi siap olah yang ditumbuk secara tradisional menggunakan lesung. Penduduk juga memiliki lahan untuk menanam singkong, pisang maupun sagu. Karena keperluan pokok selalu tersedia, warga jarang menjual pisang, cabe atau tomat. Mereka cukup saling memberi.
“Dulu di kampung ini petani hanya mengenal cengkih, kopra dan pala sebagai hasil perkebunan yang bisa dijual. Selebihnya tidak dijual. Ini terbukti karena tiap warga punya kebun kelapa, cengkih atau pala dan kebun pangan,” kata Rusli Hi Aba, tokoh masyarakat Desa Samo. Sekarang sudah berbalik. Hampir sebagian besar warga meninggalkan kebiasaan menanam tanaman pangan. Mereka hanya menunggu panen kopra, cengkih dan pala. Lalu uangnya dibelikan beras dan bahan konsumsi lainnya.
Apa yang diinisiasi PakaTiva pun bak gayung bersambut. Warga langsung membentuk 6 kelompok untuk menanam padi. Kebiasaan bergotong royong membersihkan kebun juga kembali digiatkan. “Kami sangat senang kawan-kawan LSM datang membantu mengingatkan kembali kami menanam,” kata Hafel Hasyim, salah satu petani di Desa Samo yang saat ini sudah menanam tanaman padi yang sudah puluhan tahun ditinggalkan. Menurutnya, dulu hampir setiap tahun mereka menanam padi. Sayang, budaya konsumtif membuat mereka terbiasa membeli. Akhirnya padi pun ditinggalkan. Hafel sendiri selain menamam padi juga mengusahakan gula aren yang kini dikerjakan anaknya. Hafel bersama anak istri dan menantunya membentuk kelompok gula aren dan menanam padi ladang.
Dengan menanam padi mereka bisa menghemat uang belanja. Tak perlu lagi membeli beras atau sayur karena tinggal memanen di kebun. “Karena sudah menanam padi, saya sudah tak perlu beli beras. Biasanya untuk membeli beras dan kebutuhan lainnya, sebulan kami bisa menghabiskan uang sampai Rp550 ribu,” kata Muddin Hasyim, petani Desa Samo. Menurut Mudin, dulu buah pala yang dipetik atau dikumpulkan dari yang jatuh dijual dan uangnya digunakan untuk membeli beras. Saat ini tidak lagi, karena dari lahan miliknya telah dipanen ratusan kilo gabah yang siap diolah menjadi beras. “Saya sudah bisa menabung. Biji pala yang dipanen tidak perlu untuk beli beras,” katanya. Muddin telah dua kali menanam padi di lahan berukuran 50×50 meter. Dari panen padi ini sudah menyiapkan beras menyambut bulan Ramadhan.
Editor: Leo Wahyudi