Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Belajar Berdiplomasi Lewat Media Sosial di SED Nasional 

Bagikan Tulisan
Content creator Irene Komala memberikan materi tentang media sosial kepada peserta School of Eco Diplomacy Nasional 2022, Kamis, 25 Agustus 2022. (Yayasan EcoNusa/Mochammad Fikri)

Ruang Aula di Resort Kinasih Depok, Jawa Barat itu masih riuh meski malam sudah larut. Gelak tawa dan tepuk tangan tak putus-putus dari 35 orang peserta School of Eco-Diplomacy (SED) Nasional 2022 yang tengah berkegiatan di sana. Malam itu mereka diminta untuk mempresentasikan hasil video yang mereka buat secara berkelompok. Ada 10 kelompok yang dibuat pada sore sebelumnya. Selain mendapat komentar dari para pemateri, peserta yang lain juga boleh menanggapi video kelompok lainnya.   

“Tema video ini enggak keren kalau enggak pakai tumbler. Kami ingin mengedukasi masyarakat bahwa kalau pakai tumbler itu enggak perlu keluar duit banyak dan ramah lingkungan,” kata Titis Dwi Andhani, peserta dari Surabaya saat presentasi bersama kelompoknya, Kamis, 25 Agustus 2022. 

Titis dan semua peserta lainnya membuat video sesuai materi sebelumnya yang diberikan oleh Puti Andini, Mochammad Fikri, dan Swiny Adestika dari tim Digital, Content, and Creative EcoNusa. Pada hari ke-3 kegiatan SED Nasional ini, para peserta mendapat pelajaran tentang berdiplomasi dengan memanfaatkan media sosial. Dimulai dari penggunaan media sosial oleh content creator Irene Komala, advokasi digital oleh Policy Programs Manager Facebook Indonesia Dessy Septiane Sukendar, juga komunikasi efektif dan cara membuat video dari tim Digital, Content, dan Creative EcoNusa. 

Baca Juga: Serunya Kelas Mangrove di Jamnas XI 2022

Dalam pemaparannya, Dessy mencontohkan beberapa tokoh dan komunitas yang menggunakan media sosial untuk mengadvokasikan keyakinan mereka. Salah satunya Malala Yousafzai, aktivis hak asasi manusia yang mendapat penghargaan Nobel. “Malala menggunakan Twitter untuk membela hak perempuan dan anak muda,” katanya.

Dessy mengatakan diplomasi adalah bagian dari upaya untuk mengorganisir sebuah perubahan yang ingin kita wujudkan. Ia mencontohkan aktivitas yang dilakukan oleh komunitas SabangMerauke untuk menumbuhkan semangat toleransi, pendidikan, dan keindonesiaan. Komunitas tersebut tidak hanya melakukan pertukaran pelajar antardaerah, tetapi juga berkampanye lewat media sosial.

Di sesi berikutnya, Puti dari tim Digital EcoNusa menyebutkan bahwa video adalah format konten paling populer saat ini. Meski sangat menarik, namun untuk proses pembuatannya memerlukan lebih banyak waktu. “Apalagi saat ini banyak platformnya dan banyak saingannya. Bagaimana caranya pesan kita bisa bersaing dengan konten-konten yang lain,” katanya.

Baca Juga: Kemah Pemuda Ajak Pemuda Menyikapi Krisis Ekologi

Di sesi sebelumnya, Irene Komala mengingatkan tentang pentingnya membuat video yang menarik, terutama pada tiga detik pertama durasi. “Tiga detik awal itu akan mempengaruhi apakah penonton akan lanjut menonton atau skip dan beralih ke konten berikutnya,” ujarnya. 

Mochammad Fikri pun memberikan tip-tip sederhana agar hasil video lebih bagus. Seperti membersihkan lensa kamera agar hasil video lebih jernih, jika merekam dengan ponsel aturlah ponsel ke mode pesawat agar aktivitas perekaman tidak terganggu, juga memastikan pencahayaan yang cukup dan fokus sudah terkunci. “Video yang menarik itu video yang bercerita, bukan yang menggurui. Emosional penonton juga bisa dibangun dengan musik yang dimasukkan ke dalam video, visual, ekspresi orang tertawa atau sedih,” tuturnya.   

Baca Juga: Kewang Muda Maluku Mencetak Generasi Penerus Bumi

Di akhir video, kata Swiny Adestika, para peserta perlu menambahkan pesan yang ingin diingat oleh penonton. Pesan yang disebut dengan call to action ini penting dalam dunia advokasi. Misalnya pesan untuk menjaga Bumi, mengurai sampah, dan beradat jaga hutan. Sehingga setelah menonton konten kita, penonton jadi ingin melakukan sesuatu sesuai dengan isi pesan tersebut.

SED Nasional yang berlangsung pada 22-29 Agustus ini diikuti 35 peserta dari berbagai provinsi di Indonesia untuk belajar cara berdiplomasi tentang lingkungan langsung dari ahlinya. Mereka, antara lain, belajar tentang lingkungan dari aktivis lingkungan Chalid Muhammad, tentang kebudayaan dari  Wakil Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Julianus Limbeng, dan cara berdiplomasi dari mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Dinno Patti Djalal. Para peserta juga akan diajak untuk berkunjung ke kantor berita CNN Indonesia, Kedutaan Jerman, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. 

Editor: Leo Wahyudi 

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved