Indonesia, selain memiliki tutupan hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat luasan hutan mangrove di Indonesia mencapai 3,49 juta hektare pada 2015 atau setara dengan 23% dari ekosistem mangrove di dunia. Sayangnya, dari keseluruhan luasan mangrove itu, 52% atau separuh lebih ekosistem mangrove di Indonesia mengalami kerusakan.
Padahal, mangrove memiliki fungsi esensial terutama bagi kehidupan di pesisir. Berdasarkan pemaparan Dekan Fakultas Perikanan Universitas Muhammadiyah Makassar (UNISMUH), Erwin Wuniarto, saat mengisi Sail To Campus (STC) EcoNusa, fungsi mangrove yang paling utama adalah sebagai penahan angin dan gelombang laut besar. “Mangrove dapat menahan tiupan angin atau gelombang laut yang masuk ke daratan sehingga ketika menerjang daratan, tidak terlalu besar seperti saat menerjang tepian pantai dan membantu mengurangi potensi kerusakan yang lebih buruk di daratan,” ujar Erwin dalam webinar virtual bertajuk Wanamina: Budidaya Udang Vaname dengan Pelestarian Mangrove yang diselenggarakan secara langsung dari Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah pada Sabtu 22/05/2021.
Mangrove berperan besar terhadap lingkungan hidup
Selain meminimalisir bahaya dan ancaman daratan di sekitar pesisir, mangrove juga berperan sebagai penahan abrasi dan erosi karena akarnya yang padat, penjernih dan penyaring air asin. Selain itu, mangrove juga menjadi habitat hewan laut maupun hewan lain seperti ikan, kepiting, udang, kerang-kerangan, burung dan kelelawar, melindungi dan menyediakan nutrisi bagi hewan yang tinggal di sekitar hutan mangrove. Yang lebih dahsyat lagi, mangrove mampu menyimpan stok karbon yang besar. “Kemampuan hutan mangrove dalam menyerap karbon jauh lebih besar daripada hutan di daratan. Setiap 1 hektare, hutan mangrove mampu menyerap karbon 5 kali lebih besar daripada hutan di daratan,” Erwin menambahkan.
Kerusakan ekosistem mangrove yang terus meningkat disebabkan oleh berbagai faktor. Kesadaran masyarakat tentang fungsi mangrove masih rendah sehingga tidak memiliki wawasan yang cukup untuk melestarikannya. Kerusakan mangrove juga dipicu oleh pembangunan wilayah pesisir yang mengesampingkan aspek pelestarian ekosistem.
Selain itu, seiring dengan beralihnya perikanan tangkap menjadi perikanan budidaya sesuai arahan KKP justru meningkatkan konversi hutan mangrove menjadi lahan budidaya perikanan dengan tambak, terutama tambak udang. Tambak-tambak ini pun dibuat tanpa memahami konsep konservasi sehingga banyak merusak ekosistem mangrove. Nurain Lapolo, Direktur Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (JAPESDA), memaparkan, Indonesia telah kehilangan sekitar 800.000 hektare ekosistem mangrove dalam 30 tahun terakhir.
“Jika kita tidak menjaga dan melestarikan mangrove, maka di masa depan kita tak akan memiliki hutan mangrove yang memiliki manfaat besar sekali bagi kehidupan manusia,” ujar Nurain. Padahal, pelestarian mangrove dapat dilakukan dengan berbagai cara tanpa mengorbankan sisi ekonomi masyarakat. Erwin menjelaskan, sistem tambak wanamina atau silvofishery bisa menjadi solusi pelestarian mangrove dengan tetap menghasilkan komoditas perikanan.
Wanamina pelestari mangrove
“Wanamina adalah sistem budaya di tambak dengan teknologi tradisional yang menggabungkan antara usaha perikanan dengan penanaman mangrove,” jelas Erwin. Secara teknis, wanamina terdiri atas rangkaian terintegrasi antara kegiatan budidaya ikan atau udang dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan, dan upaya pelestarian hutan mangrove secara ekologi dan ekonomi.
Dalam sistem wanamina, mangrove memiliki peranan besar terhadap keberlangsungan komoditas laut yang dikembangkan di tambak. Secara fisik, mangrove berfungsi memerangkap sedimen dan membantu menahan tanggul. Secara kimia, mangrove sebagai penyerap bahan pencemar, penyuplai bahan organik, dan sebagai sumber nutrien. Sedangkan secara biologis, mangrove menjadi area pemijahan, area asuhan, dan area pencarian makanan bagi berbagai biota yang dibudidayakan di tambak.
Secara umum, wanamina memiliki beberapa model tambak. Pertama adalah model empang parit dengan mangrove berada di tengah tambak, dan budidaya ikan, udang, dan kepiting berada di sekelilingnya yang menyerupai parit. Kedua adalah model komplangan atau selang-seling. Seperti namanya, tambak ini berselang-seling atau bersebelahan dengan area yang ditanami mangrove. Ketiga adalah model jalur yang merupakan penyempurnaan model empang parit dengan ukuran besar dan lebar, sekitar 3 – 5 meter dengan kedalaman hingga 80 cm. Namun demikian, tambak yang banyak dikembangkan oleh masyarakat adalah wanamina model tanggul. Mangrove ditanam di sekitar tambak sebagai tanggul.
Sebagai bagian dari upaya pelestarian mangrove, EcoNusa bersama empat universitas di Kabupaten Banggai dan Kabupaten Poso, yakni UNISMUH Luwuk, UNTIKA, UNSIMAR, dan UNKRIT menyosialisasikan sistem wanamina kepada masyarakat. Selain itu, juga dilakukan penanaman mangrove di tambak warga desa Uwedikan, Luwuk Timur, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.
Editor: Leo Wahyudi