Pada 3-9 Oktober 2020, Yayasan EcoNusa mengadakan survei cepat komprehensif (Rapid Survey Comprehensive/RSC). Kegiatan RSC ini untuk mengidentifikasi potensi komoditas lokal unggulan beserta isu pengelolaannya. Dalam survey ini EcoNusa mengumpulkan dan memutakhirkan data sosial-ekonomi di kampung-kampung terpilih. Termasuk mengidentifikasi ancaman terhadap ekosistem hutan, mangrove dan laut, serta pengambilan data spasial. Survei ini dilakukan di 7 lokasi, yaitu Kampung Jawera di Distrik Arguni Bawah dan Kampurng Rofada, Weswasa, Kokoroba, Wainaga, PIgo dan Mahua di Distrik Teluk Arguni.
Teluk Arguni merupakan teluk besar yang memisahkan daratan Kaimana menjadi 2 bagian, yaitu bagian barat yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Fakfak dan bagian timur yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Dogiyai dan Kabupaten Mimika. Tim RSC terdiri dari 3 orang dari EcoNusa, 3 orang peneliti dari Universitas Papua dan 1 orang staf Bappeda Kaimana. Tim ini mengunjungi 7 kampung di Teluk Arguni selama 7 hari 6 malam.
Kala itu, tim RSC telah memuat barang ke perahu motor yang akan digunakan menyusuri kampung-kampung di sepanjang pesisir dan pedalaman Teluk Arguni. Jarak dari Pelabuhan Tanggaromi, Kaimana, di Papua Barat, ke kampung pertama yang akan dikunjungi, Jawera, kurang lebih 48 km. Perjalanan melalui jalur laut memakan waktu kurang lebih 1jam. Sedangkan desa terjauh yang akan dikunjungi adalah Kampung Pigo. Jaraknya kurang lebih 129 km dari Pelabuhan Tanggaromi.
Baca juga: Mengembalikan Kemandirian Pangan Masyarakat di Pesisir Halmahera
Di kampung pertama, tim diterima dengan hangat oleh Yonatan Mangke, Kepala Kampung Jawera. Berdasarkan hasil temuan awal peneliti Unipa, masyarakat Kampung Jawera mengandalkan tanaman Pala sebagai salah satu sumber utama penghasilan mereka. Bagian tanaman pala yang menghasilkan nilai ekonomi bagi masyarakat Kampung Jawera adalah biji dan bunga pala. Sedangkan daging buahnya dibuang begitu saja. “Kami tidak tahu bagaimana mengolah daging buah pala. Selain itu, kami juga tidak tahu kemana harus menjualnya”, kata Yonatan Mangke.
Tidak hanya di Kampung Jawera saja, masyarakat di 4 kampung lainnya yang disinggahi oleh tim RSC juga bergantung pada tanaman pala sebagai salah satu penghasilan utama. Ruben Weferte, salah satu responden di Kampung Kokoroba, menuturkan, “Panen buah pala ini 2 kali dalam setahun, yaitu sekitar bulan Oktober–Desember dan bulan Maret – April. Harga jual biji pala kering berkisar antara Rp.28.000 – Rp.30.000 per kilogram dan bunga pala kering berikisar antara Rp.100.000 – Rp.120.000 per kilogram. Sedangkan daging buah pala tidak ada yang membeli.”
Selain pala, produk-produk hasil hutan non-kayu juga banyak diusahakan oleh masyarakat di Kampung Jawera dan Kampung Kokoroba seperti durian, rambutan, langsat. Diantara waktu panen Pala, masyarakat di kampung-kampung pesisir mengusahakan hasil laut untuk kebutuhan sehari-hari. Yonatan Mangke di Kampung Jawera, Yusad di Kampung Weswasa, dan Muhamad di Kampung Futernu menuturkan hal yang senada.
Baca juga: Manajemen Koperasi Dukung Pengelolaan Komoditas Teluk Arguni
”Untuk hari-hari, kami mencari ikan, gelembung ikan, kepiting, udang. Hasilnya kami jual untuk membeli gula, garam, kopi,” kata Yusad di Kampung Weswasa.
Beberapa responden mengeluhkan bahwa harga biji dan bunga pala ini tidak stabil. Lantaran harga ditentukan sepihak oleh pengepul yang singgah di kampung-kampung.
“Setiap musim panen pala akan datang para pengepul untuk membeli biji dan bunga pala kering dari masyarakat kampung dengan harga yang sudah ditentukan langsung oleh pengepul,” kata Yonatan Mangke di Kampung Jawera.
Baca juga: Sumber Penghidupan Baru di Hutan Saporkren
Muhammad dari Kampung Futernu juga menyatakan bahwa pengepul ini memainkan harga jual biji pala. Pengepul mengatakan stok biji pala di gudang mereka masih banyak, sehingga biji pala yang dijual oleh masyarakat dibeli dengan harga yang lebih murah.
Setelah dari Teluk Arguni, tim berkesempatan melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) yang dihadiri oleh jajaran Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kaimana. Syafrudin, salah satu peserta FGD dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi menjelaskan bahwa akses pasar untuk menjual komoditas hasil alam termasuk pala ke luar Kaimana sangat sulit jika dilakukan secara individu. “Hasil-hasil alam yang dijual ke luar Kaimana harus berasal dari penjual yang memiliki badan hukum,” kata Syafrudin.
Dalam FGD tersebut, Muhamad Werfete, Kepala Bappeda Kaimana, menegaskan bahwa Pemerintah Kabupaten Kaimana memang sedang memikirkan solusi bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kaimana khususnya Orang Asli Papua (OAP).
”Kami banyak berterima kasih kepada teman-teman EcoNusa yang berusaha membantu meringankan beban Pemerintah Kabupaten Kaimana dalam urusan pemberdayaan ekonomi,” kata Werfete.
Editor: Leo Wahyudi