Search
Close this search box.
EcoStory

Ridho Hafiedz Terpikat Burung Surga Tanah Papua

Bagikan Tulisan
Ridho Hafiedz, gitaris grup band Slank, duduk di depan sarang Namdur Polos (Amblyornis inornatus). (Yayasan EcoNusa/Moch.Fikri)

Di tengah hutan primer Pegunungan Arfak, saat matahari baru saja menampakkan dirinya, Muhammad Ridwan Hafiedz alias Ridho Hafiedz, menjadi salah satu laki-laki beruntung yang melihat keindahan cenderawasih (bird of paradise) di habitat aslinya. Pemetik gitar grup musik Slank itu telah memenuhi daftar “pencapaian” bagi para ornitologis untuk datang ke Tanah Papua dan melihat pesona cenderawasih sebelum menghadap Sang Pencipta. 

“Ini adalah kesempatan yang langka buat gue. Selain karena jarak yang jauh dari tempat tinggal di Jakarta, juga karena sedikit kesempatan untuk melihat cenderawasih secara langsung,” kata Ridho. 

Rasa syukur itu terucap usai Ridho mengamati beberapa burung cenderawasih dari dalam pondok pengamatan berukuran 2 kali 5 meter pada Minggu (20/6/2021). Melalui lensa kamera 300 milimeter, Ridho melihat Parotia Arfak (Parotia sefilata), Black Sicklebill (Epimachus fastosus), dan Vogelkop Superb Bird-of-Paradise (Lophorina niedda). Sayangnya, “dewi fortuna” belum berpihak lebih jauh untuk dapat menyaksikan Vogelkop Lophorina dan Parotia Arfak berdansa memikat lawan jenis. 

Baca juga: Upaya Melindungi Cenderawasih di Malaumkarta Raya

Untuk menuju ke “tempat bermain” para burung cenderawasih ini, Ridho berangkat sekitar jam 5 pagi dari homestay Papua Lorikeet milik Hans Mandacan. Hans merupakan salah satu pengelola ekowisata di Pegunungan Arfak yang telah bergelut dengan praktik jasa lingkungan sejak 2009. Sejak saat itu pula Hans menjaga hutan di sekitar Gunung Soeti dari ancaman penebangan liar dan perburuan.

Dengan sigap, Ridho menapaki jalan yang telah ditunjukkan Hans. Sinar tambahan dari senter kepala membantu menerangi jalan. Butuh waktu 1 jam menuju lokasi pengamatan dengan menempuh jarak sekitar 750 meter. Setelah masuk ke dalam pondok pengamatan, tak boleh ada suara sama sekali agar cenderawasih tak merasa terganggu. Hanya gelap dan desingan suara nyamuk yang terus terdengar. 

Sehari sebelumnya, Ridho menyaksikan bagaimana Namdur Polos (Amblyornis inornatus) menata sarangnya dengan memperhitungkan estetika warna. Burung endemik Pegunungan Arfak ini mengelompokkan warna-warna tertentu di sekitar sarang yang berasal dari tutup botol kemasan, plastik keresek, mangkuk, dan bunga. Maka, tak berlebihan rasanya bila Hans dan masyarakat di Pegunungan Arfak menyebut arsitek kecil ini dengan sebutan “burung pintar”.

“Di hari pertama, kami melihat burung pintar. Dia memisahkan warna untuk mendesain sarangnya supaya lawan jenisnya tertarik. Keren banget,” ujar Ridho. 

Baca juga: Mengembalikan Hutan Papua Barat kepada Pemiliknya

Sebelum menginjakkan kaki di Tanah Surga, cenderawasih di benak Ridho adalah burung berwarna kuning dengan bulu yang berjuntai. Publikasi terkait cenderawasih umumnya hanya menampilkan sosok Cenderawasih Kuning-Besar atau Greater Bird-of-Paradise (Paradisaea apoda) dan Cenderawasih Merah atau Red Bird-of-Paradise (Paradisaea rubra). Padahal, keluarga Paradisaeidae terdiri dari sekitar 40 spesies burung dengan karakteristik yang berbeda. 

Khusus di Pegunungan Arfak, ada 4 cenderawasih endemik yang tak akan ditemukan di tempat lain. Selain Parotia Arfak dan Vogelkop Superb Bird-of-Paradise, hanya Long-tailed Paradigalla (Paradigalla carunculata) dan Arfak Astrapia (Astrapia nigra) yang belum terlihat dari balik pondok pengamatan. Vogelkop Superb Bird-of-Paradise sendiri baru ditemukan pada 2016 saat Edwin Scholes, ornitologis, dan Tim Laman, fotografer alam liar, menyusuri hutan Tanah Papua untuk mengerjakan penelitian Bird-of-Paradise Project.

“Ternyata cenderawasih itu banyak bange t. Gak cuma cenderawasih yang kuning. Western Parotia bagian dari cenderawasih. Gue sendiri baru tahu kalau cenderawasih banyak banget spesiesnya,” ucap Ridho.

Burung Black Sicklebill (Epimachus fastosus), Parotia Arfak (Parotia sefilata), dan Vogelkop Superb Bird-of-Paradise (Lophorina niedda) di Kampung Kwaw, Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat. (Yayasan EcoNusa/Lutfy M. Putra)

Ridho bersyukur masyarakat di sekitar Pegunungan Arfak masih memegang teguh nilai adat dalam menjaga alam mereka. Masyarakat di sekitar Pegunungan Arfak mengenal igya ser hanjop atau menjaga batas. Kearifan lokal tersebut membagi ruang berdasarkan peruntukan yang berbeda. 

Susti digunakan untuk tempat bermukim, berkebun, dan rumah ibadah. Nimahamti adalah kawasan penyangga (buffer zone), tempat masyarakat berburu dan meramu atas izin kepala adat. Sedangkan bahamti adalah zona hutan primer. Ekowisata pengamatan burung hanya “bonus kecil” dari penerapan kearifan lokal masyarakat terkait tata ruang. 

“Adanya ekowisata di tempat seperti ini buat gue sih sebenarnya mereka sudah peduli dengan sumber daya alamnya. Itu salah satu bentuk kesadaran,” kata Ridho. 

Ridho berharap hutan di Pegunungan Arfak terus terjaga. Ia tak bisa membayangkan bila cenderawasih tak lagi memiliki tempat tinggal; tak ada suara menggema di dalam hutan dan tak ada tarian pemikat hati. “Wisatawan yang ke sini harus tahu aturan juga. Kita sebagai tamu juga harus mengikuti apa yang diinstruksikan oleh masyarakat setempat,” ujarnya.

Baca juga: Pemuda Malaumkarta Antusias Gunakan Platform Digital untuk Kenalkan Potensi Wilayahnya

Kawasan di sekitar Pegunungan Arfak telah menarik minat banyak orang untuk berkunjung. Tak saja bagi wisatawan, para peneliti dan penjelajah tercatat telah menginjakkan kaki di Arfak. Thomas Barbour, pakar zoologi asal Amerika, berkunjung ke Danau Anggi untuk mengoleksi reptil dan amfibi pada 1906-1907. Ada pula L. S. Gibbs, penjelajah dan ilmuwan yang mengumpulkan lebih dari 330 jenis tumbuhan dari Danau Anggi.

Pegunungan Arfak ditetapkan sebagai kawasan cagar alam pada 1992 melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 783/Kpts-II/1992. Cagar Alam Pegunungan Arfak (CAPA) menjadi rumah bagi 110 spesies mamalia, 320 spesies aves, dan 2.770 jenis anggrek. Dengan demikian, tak mengherankan bila Pegunungan Arfak membuat banyak orang tertarik mengunjunginya. 

Menyadari keindahan alam di Pegunungan Arfak, Hans Mandacan memutuskan membuka menjadi pemandu wisata yang membawa pengaruh besar terhadap hidupnya. Pertobatannya usai menjadi pemburu membuahkan hasil. Alam kembali sehat dan masyarakat mendapat manfaat lebih baik dibanding berburu.

“Ekowisata tidak merugikan karena yang datang hanya meliput dan mengambil gambar saja. Satu burung kami jaga bertahun-tahun bisa mendatangkan Rp50 juta lebih. Artinya, kami melihat ekowisata sangat berarti bagi kami. Mereka mendapatkan foto dan kami mendapatkan uang untuk masyarakat. Itulah mengapa kami harus menjaga hutan, melestarikan apa yang ada di kawasan itu,” kata Hans.Berikan dukunganmu dalam pelestarian cenderawasih dan hutan di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku.

Suarakan pendapatmu melalui kampanye #DefendingParadise di bit.ly/defendingparadise

Editor: Leo Wahyudi & V. Arnila Wulandani

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved