Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyetujui tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) daerah otonom baru di Papua menjadi RUU inisiatif DPR melalui rapat paripurna pada Selasa, 12 April 2022. Jika disahkan, RUU ini akan menjadi landasan pemekaran wilayah tiga provinsi baru yaitu Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah. Namun, rencana pemekaran wilayah ini dinilai sarat masalah, salah satunya karena minimnya komunikasi dengan Orang Asli Papua (OAP).
“Tanpa ada koordinasi dengan lembaga negara yang ada di daerah, kemudian tanpa partisipasi dari masyarakat orang asli Papua, kehendak Jakarta itu pemekaran,” kata Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib, dalam webinar yang diadakan oleh Public Virtue Institute pada 14 April 2022.
RUU pemekaran wilayah yang dibuat tanpa melibatkan MRP patut dipertanyakan. Pasalnya, UU No. 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang menjadi landasan RUU pemekaran wilayah, menyebut bahwa pemekaran wilayah dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Karena itu, MRP secara tegas menolak rencana pemekaran wilayah di Papua.
Baca Juga: Implementasi Ekonomi Biru Tak Maksimal
Timotius menilai masalah rencana pemekaran wilayah di Papua ini mirip dengan permasalahan Undang-undang Otonomi Khusus di Papua. UU No. 21 Tahun 2001 menyebutkan bahwa perubahan Undang-undang dapat diajukan melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah. Namun, setelah berjalan selama 20 tahun, muncul UU No. 2 Tahun 2021 yang dibuat secara sepihak oleh Pemerintah Pusat sebagai penggantinya, tanpa pelibatan MRP.
Menurut Timotius, mekanisme yang tidak berjalan semestinya tersebut telah mencederai hak konstitusional OAP. Hal ini menjadi alasan MRP untuk melayangkan gugatan terhadap UU No. 2 Tahun 2021 ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan tersebut masih dalam proses persidangan hingga saat ini.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai bahwa RUU pemekaran wilayah ini merupakan kemunduran demokrasi. Beberapa indikator kemunduran demokrasi itu berupa pelemahan pemerintah daerah, minimnya akses media untuk meliput, tingkat represi yang tinggi, serta ketidakpatuhan terhadap hukum.
“Pemekaran wilayah yang didasarkan pada Undang-Undang Otsus yang baru tahun 2021, yang dibuat tanpa konsultasi dengan Majelis Rakyat Papua, tanpa konsultasi dengan DPR Papua, dan juga dengan Gubernur Papua, adalah cermin dari ketidakpatuhan pada aturan hukum yang telah disepakati sebelumnya,” kata Usman.
Baca Juga: Sasi Sambite: Kearifan Lokal untuk Meningkatkan Kualitas Pala Arguni Bawah
Usman menyampaikan berdasarkan laporan Amnesty International, tingkat represi di wilayah pemekaran masih tinggi. Khususnya di Intan Jaya, masih terjadi pembunuhan di luar hukum, pengungsian, serta pelanggaran HAM lain. Hal ini diperkuat dengan kehadiran militer yang pada 2019 hanya berjumlah dua pos menjadi 17 pos militer pada 2021.
Rencana pemekaran wilayah ini juga disayangkan oleh Pendeta Dora Balubun. Menurutnya, justru pelanggaran HAM paling besar terjadi di daerah-daerah pemekaran. Salah satu contohnya ada di wilayah Maybrat, Papua Barat. Ribuan warga Maybrat mengungsi sejak September 2021 sampai Maret 2022 akibat konflik antara aparat keamanan dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), namun minim penanganan dari Pemerintah.
“Mereka warga negara yang mengungsi sama sekali tidak diperhatikan. Bagaimana pemekaran itu bisa terjadi di tengah ketimpangan keadilan, ketimpangan kesejahteraan, ketimpangan pendidikan, ketimpangan berbagai persoalan yang terjadi dan dihadapi rakyat Papua hari ini? Jadi pertanyaan saya sebenarnya pemekaran ini hadiahkah? Atau bencana yang sedang diberikan untuk orang Papua?” kata Dora.
Baca Juga: Peningkatan Sumber Daya Manusia, Kunci Keberhasilan Pariwisata di Papua Barat
Dora menjabarkan bahwa pemekaran wilayah berpotensi menimbulkan konflik baru. Pasalnya, jumlah OAP terlalu sedikit dan masih sangat tertinggal untuk dilakukan pemekaran wilayah. Khawatirnya pemekaran wilayah ini bukan ditempati oleh OAP melainkan oleh aparat.
Menanggapi hal ini, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Papua, Yorrys Raweyai, memaparkan alasan pemekaran. Menurutnya, pemekaran wilayah di Papua tidak dilihat dari sisi demografi melainkan geografis. Hal ini merupakan rencana strategis dari Pemerintah Pusat.
Yorrys menjelaskan mengenai capaian DPD RI berupa pembentukan Panitia Khusus Papua yang telah mengadakan enam kali rapat bersama MRP dan Pemerintah Daerah. Karena peraturan sudah dibuat, Yorrys menekankan kepada Pemerintah Daerah untuk segera membuat Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) sebagai implementasi peraturan Otonomi Khusus jilid II.
“Kita jangan terlalu fokus kepada judicial review di MK sekarang ini, tapi yang paling penting bagaimana pembahasan Perdasi dan Perdasus itu karena bulan Juli (harus) sudah selesai,” kata Yorrys.
Baca Juga: Kabar Pencabutan Izin, Pemompa Semangat
Terkait penolakan, Yorrys berpendapat bahwa sudah pernah ada pengajuan untuk pemekaran wilayah pada akhir masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan, amanat presiden terkait pemekaran sudah dikeluarkan. Hanya saja, belum ada anggaran yang mencukupi untuk melakukan pemekaran saat itu.
Editor: Nur Alfiyah, Leo Wahyudi, Lutfy Putra