Pendidikan menjadi kunci agar pembangunan Indonesia berjalan merata hingga ke timur Indonesia seperti di Tanah Papua. Tak hanya pembangunan fisik, peningkatan sumber daya manusia mendesak untuk segera dilakukan dengan memperhatikan unsur lokalitas. Peningkatan pendidikan akan menjalar pada kesadaran aspek lain seperti pada pemahaman terhadap aspek lingkungan dan ketahanan pangan.
Hal itu terungkap dalam bincang-bincang bertajuk “Mengenal Papua: Ragam Karya Anak Papua di Indonesia” di Gedung Pusgiwa Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat pada 27 Februari 2020. Ada lebih dari lima ratus peserta yang terdiri dari mahasiswa, akademisi, dan masyarakat umum dalam acara tersebut. Acara tersebut terjalin atas kerja sama Yayasan EcoNusa dengan Universitas Indonesia Bidang Akademik dan Kemahasiswaan. Hadir dalam acara tersebut Dosen President University dan Doktor asli Papua termuda di Universitas Indonesia, Jean Richard Jokhu, Direktur Institut Kalaway Muda, Nanny Uswanas, pegiat sosial muda Papua, Ronald Manoach, serta petani muda dan anggota Bentara Papua, Grison Krey.
Berdasarkan publikasi di web Badan Pusat Statistik (BPS), Provinsi Papua dan Papua Barat berada di urutan paling rendah dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2018 dengan angka 60,06 dan 63,74. Kedua provinsi tersebut juga berada pada urutan paling rendah sejak 2011. Jean mengatakan, peningkatan pendidikan diperlukan untuk meningkatkan kualitas lulusan universitas di Tanah Papua. Kondisi ini, menurut Jean, terlihat dari belum adanya universitas maupun program studi bersertifikasi ‘A’ di Tanah Papua.
“Salah satu masalah di Tanah Papua adalah pendidikan. Belum ada universitas bersertifikasi ‘A’. Program studi juga begitu. Saya ingin ke depan bisa mengajar di Papua,” kata Jean.
Jean menyebutkan, masyarakat di Tanah Papua dapat memanfaatkan kekayaan alam yang melimpah. Pengolahan pertanian tak berhenti pada pemanfaatan barang mentah, melainkan berlanjut pada pengolahan barang jadi dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi. Selain itu, intensifikasi hasil pertanian juga dapat meningkatkan hasil produksi.
“(Falsafah) kalau bisa tanam pisang ko hidup tanam pisang saja, itu harus ditinggalkan. Kalau pisang sudah, bisa berlanjut ke kopi atau tanaman lain. Kita harus perkenalkan sikap ini kepada institusi adat, kepada kepala suku,” ujar Jean.
Jean berharap, nantinya masyarakat asli Papua dapat “berdiri tegak” sehingga mampu mengolah hasil teknologi, tak lagi “membungkuk” atau mengolah hasil pertanian. “Masyarakat asli Papua berdiri di atas tanahnya sendiri. Bukan hanya membungkuk, dalam arti menanam padi, dan pertanian lainnya. Tapi berdiri dalam arti membangun pesawat. Kalau bisa kita bikin ‘Wakanda’ di Papua,” ucap Jean.
Sementara itu Grison Krey berpendapat bahwa pendidikan juga berperan penting meningkatkan kesadaran masyarakat agar dapat hidup mandiri. Sebagai petani muda, Grison menilai masyarakat tanah Papua perlu mengoptimalkan pengolahan lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan. Yang terjadi saat ini banyak kebutuhan sayur-mayur dan buah dipasok oleh pendatang.
“Tidak banyak anak muda yang mau menjadi petani. Mayoritas dari mereka ingin bekerja sebagai aparatur sipil negara. Saya melakukan pendampingan pertanian organik dan mengajak anak muda untuk menjadi petani, mengolah lahan mereka sendiri,” kata Grison.
Keinginan kuat untuk dapat mengolah kesuburan tanah Papua salah satu alasan Grison menjadi petani. Hal itu juga tercermin dalam lagu ciptaan Grison, … Terbentang luas kekayaanmu/ tanah yang subur sumber penghidupan/ tak terbatas warna jiwa tani/ menuju ke lahan … yang merupakan penggalan lirik berjudul “Surga Kecil”.
“Komitmen anak-anak Papua harus dijaga. Kita punya potensi yang kaya, tapi belum bisa mengolah sumber daya alam di Papua,” ujar Grison.
Untuk mencapai kemandirian di tanah Papua, pegiat sosial Papua, Ronald Manoach, mengatakan diperlukan kepemimpinan berkarakter kuat agar proses pembangunan berjalan dengan efektif, emansipatif, dan terkontrol. Menurut Ronald, pemimpin berkualitas dapat tercipta dari hasil proses pemilihan kepala daerah yang demokratis. Pemimpin tersebut, lanjut Ronald, harus memberikan tempat yang layak kepada Orang Asli Papua (OAP) agar dapat membangun tanah kelahirannya.
“Syarat kita menjadi negara makmur dan adil sudah cukup. Sumber daya alam cukup, tinggal bagaimana memberi kesempatan yang baik. Ini hanya bisa terjadi kalau proses demokrasi kita berkualitas,” ucap Ronald.
Editor: Leo Wahyudi