Search
Close this search box.
EcoStory

Pemuka Agama Diminta Ikut Selamatkan Hutan Tropis Indonesia

Bagikan Tulisan
Pembentukan Dewan Penasihat IRI Indonesia pada 1 Februari 2020. Anggota Dewan ini terdiri dari organisasi keagamaan, LSM, donor, Badan Dunia dan akademisi. (sumber: istimewa)

Indonesia dikenal sebagai negara religius dengan tutupan hutan tropis yang masih luas. Namun di tengah krisis iklim global dan ancaman deforestasi, edukasi masyarakat tentang isu lingkungan menjadi hal mendesak dilakukan secara lintas agama. Isu penyelamatan dan perlindungan hutan harus masuk dalam agenda setiap agama dan sekolah melalui kurikulum bermuatan lokal. 

Gagasan tersebut muncul dalam Lokakarya, Dialog dan Peluncuran Prakarsa Lintas Agama untuk Hutan Tropis (Interfaith Rainforests Initiative/IRI) yang diselenggarakan di Manggala Wanabakti, Kompleks Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta, pada 30-31 Januari 2020.

Acara ini melibatkan seluruh pemangku kepentingan serta masyarakat adat dari 17 provinsi, termasuk dari Papua dan Papua Barat. Prakarsa ini memanggil peran para pemuka agama untuk menyelamatkan hutan dan ekosistemnya terkait dengan krisis iklim global. 

Kehadiran para pakar dan pemuka agama memperkaya substansi terkait keanekaragaman hayati, sosial dan ekonomi sebagai upaya untuk menyokong kehidupan dan menghindari bencana alam. Isu tentang kebakaran hutan, perubahan iklim dan kebijakan-kebijakan pemerintah untuk menjaga hutan primer dan sekunder termasuk dalam pembahasan di acara tersebut. 

Mereka juga mengatakan bahwa upaya mitigasi perubahan iklim tak bisa dilepaskan dari peran masyarakat adat sebagai penjaga alam dan hutan melalui kearifan lokal yang dijalankan secara turun temurun. Masyarakat adat ini layak mendapatkan pengakuan dan pemberian hak ulayat karena merekalah yang telah menjaga dan ikut menyelamatkan hutan yang tersisa.

Peluncuran prakarsa lintas agama untuk hutan tropis pun dilanjutkan dengan pembentukan Dewan Penasihat IRI Indonesia sehari setelah acara KLHK tersebut. Anggota Dewan ini terdiri dari organisasi keagamaan, LSM, donor, Badan Dunia dan akademisi. Organisasi tersebut adalah Inter Religious Center (IRC), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), United Nations Environment Programme (UNEP), Rainforest Foundation Norway (RFN), Yayasan EcoNusa dan CSF Indonesia. 

“Prakarsa ini merupakan langkah yang bagus. Kita memerlukan terobosan dari berbagai lini, termasuk menggerakkan para pemuka agama di Indonesia sehingga bisa memberikan daya ungkit yang signifikan untuk membangun kesadaran kolektif dalam menyelamatkan hutan yang masih tersisa di Indonesia,” kata Bustar Maitar, CEO dan pendiri Yayasan EcoNusa, yang menjadi salah satu anggota Dewan Penasihat IRI pada 1 Februari 2020 di Jakarta. 

IRI sejatinya sudah terbentuk di Oslo, Norwegia, pada Juni 2017 yang melibatkan para pemuka agama Kristiani, Muslim, Yahudi, Buddha, Hindu dan Tao bersama para masyarakat adat dari lima negara tropis. Mengangkat hak masyarakat adat sebagai penjaga hutan menjadi pencetus awal prakarsa tersebut. 

Sebagai aliansi internasional, IRI dibentuk untuk mengangkat para pemuka agama sebagai panggilan moral untuk memperlambat laju deforestasi dan dampaknya di daerah tropis dengan mempengaruhi prioritas dan kebijakan dari para pemimpin dunia. Targetnya adalah hutan tropis di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. 

Pertemuan para pemangku kepentingan dan pemuka agama dalam IRI tersebut menghasilkan deklarasi bersama. Deklarasi tersebut pada intinya merupakan prakarsa  untuk memobilisasi komunitas agama dan masyarakat adat, meningkatkan kesadaran tentang kerusakan hutan, mendorong pemerintah untuk melindungi hutan dan hak-hak masyarakat adat, mendesak pertanggung jawaban swasta, serta melakukan pemulihan ekosistem hutan dengan tetap mengacu pada Perjanjian Paris 2015.

Penulis: Leo Wahyudi dan Muhammad Farid

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved