Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Pemuda Diharapkan Menjadi Generasi Nol-Bersih Emisi

Bagikan Tulisan
Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia, Dino Patti Djalal, menyebut pemanasan global sebagai induk dari seluruh permasalahan global. (Yayasan EcoNusa/Moch. Fikri)

Berpegang teguh keyakinan yang dapat menghadirkan perubahan bersama masyarakat menjadi modal utama yang harus dimiliki diplomat muda. Keyakinan yang disertai penguasaan bidang keilmuan tertentu akan meniadakan keraguan yang muncul di benak para pemangku kepentingan. Berawal dari segelintir pemuda, kelak sebuah perubahan akan memengaruhi arus sejarah.

Hal itu disampaikan oleh pendiri Foreign Policy Community of Indonesia, Dino Patti Djalal, di hadapan peserta School of Eco Diplomacy (SED) Nasional 2022. Sebanyak 35 peserta yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia mengasah kemampuan mereka dalam berpikir kritis, wicara publik, dan berdiplomasi.

“Kelompok yang paling progresif, paling berani adalah anak muda. Kalau kita passionate dengan tujuan ini akan lebih mudah, tapi kalau tidak percaya bangun tidur saja susah. Ukur apa yang mau diubah, jangan hanya retorika. Setelah diubah menjadi lebih baik kemudian diperbesar,” kata Dino pada Sabtu, 27 Agustus 2022 di Depok, Jawa Barat.

Dino mengatakan pemuda berperan penting dalam setiap peristiwa besar yang menjadi penanda zaman dalam garis sejarah Indonesia. Para pemuda membentuk organisasi yang kelak menandai kebangkitan nasional. Sumpah para pemuda kemudian menempatkan bahasa, bangsa, dan tanah air di atas segala kepentingan daerah kepulauan.

Baca juga: 35 Pemuda Indonesia Siapkan Bekal Menjadi Diplomat Lingkungan

Kemerdekaan Indonesia juga tak lepas dari peran pemuda yang melihat kosongnya kekuasaan. Bertahun-tahun berselang para pemuda kembali merebut kekuasaan dan memulai reformasi sosial-politik. Demokrasi tak lagi menjadi kata yang tabu untuk diucapkan.

Menurut Dino, saat ini pemuda memiliki peran penting dalam mengendalikan pemanasan global. Kenaikan suhu bumi yang tak dapat dikendalikan akan menghapus rencana pembangunan menyongsong seratus tahun Indonesia. Pada 2045, bonus demografi dengan surplus usia produktif tak lagi berarti bila suhu bumi naik melebihi target yang telah ditetapkan dalam Perjanjian Paris pada 2015. 

“DNA dari generasi kalian net-zero world emission. Kita tidak bisa berpikir 2045 tanpa memperhitungkan risiko perubahan iklim. Semua kebanggaan Indonesia 2045 tidak akan berlaku. Tantangannya sangat nyata. Tanda peringatan yang ditunjukkan alam sudah terlihat,” ujar Dino.

Baca juga: Belajar Berdiplomasi Lewat Media Sosial di SED Nasional 

Konferensi Tingkat Tinggi Iklim di Paris membuat berbagai negara menyepakati untuk mempertahankan kenaikan suhu bumi tak lebih dari 1,5 derajat celcius dibanding era pra industri. Untuk mencapai target ambisius tersebut, salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mencapai net zero emission atau nol-bersih emisi pada 2050.

Nol-bersih emisi merupakan kondisi saat emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya setara dengan penyerapan karbon yang dilakukan secara alami oleh bumi. Misalnya, karbon dioksida yang diserap oleh tumbuhan untuk berfotosintesis. Ikan paus juga menyimpan karbon dalam jumlah besar bahkan usai mamalia itu tenggelam dan mati.

Global Carbon Project menyebutkan, sepanjang 2010-2019, hutan dan ekosistem lainnya di darat menyerap 12,5 miliar ton emisi setara CO2 per tahun. Sementara itu, laut menyerap 9,2 miliar ton emisi setara CO2 per tahun. Sisanya terkumpul di atmosfer dan menyebabkan pemanasan global.

Baca juga: Serunya Kelas Mangrove di Jamnas XI 2022

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam laporannya membatasi puncak emisi dunia pada 2025. Setelah itu, berbagai negara dunia harus menurunkan emisinya hingga 43 persen sebelum 2030. Jika hal ini tak bisa dicapai, maka kenaikan suhu bumi akan melebihi 1,5 derajat celsius.

Indonesia menetapkan target nol-bersih emisi pada 2060 atau lebih cepat. Target ini sebetulnya terlambat 10 tahun dari target yang ditetapkan Perjanjian Paris. Dalam dokumen kontribusi nasional yang ditetapkan (NDC), target 2060 dapat ditempuh lebih cepat bila mendapat bantuan dukungan dari internasional. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto, mengatakan pemenuhan NDC membutuhkan dana sebesar Rp3.799 triliun.

Dino mengatakan, berbagai kondisi yang tak ideal dalam mencapai nol-bersih emisi merupakan peluang sekaligus tantangan bagi pemuda. Dengan memanfaatkan teknologi digital, diplomasi lingkungan tak lagi terbatas ruang dan waktu.  Tantangannya, masih banyak masyarakat Indonesia yang tak mengetahui perubahan iklim. “Kalau sudah tahu, banyak juga yang belum paham kalau ini masalah yang serius,” ungkap Dino.

Baca juga: EcoNusa dan Kwarnas Pramuka Berkolaborasi Ciptakan Pemimpin Peduli Lingkungan

Selain diplomasi digital, yang tak kalah penting bagi Dino adalah menjaga kelestarian sumber daya alam yang masih terjaga. Ekosistem hutan dan perairan di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku merupakan benteng terakhir Indonesia untuk mencapai nol-bersih emisi. Selain itu, sumber daya alam di timur Indonesia juga berelasi erat dengan masyarakat.

“(Pulau) Papua dan Maluku itu adalah penyerap karbon yang strategis bagi Indonesia dan internasional. Masyarakatnya sangat bergantung dengan ekosistem untuk makanan dan kesejahteraan,” kata Dino.

Dino berharap, usai mengikuti rangkaian acara SED Nasional, para peserta dapat menjadi aktivis yang cerdas dan bijaksana, serta yakin terhadap berbagai agenda mitigasi perubahan iklim. “Untuk para peserta, mereka dapat mengubah dunia di sekitar mereka, bersemangat melakukannya, dan tahu bagaimana mencapainya. Kalau itu terjadi, program ini akan sangat bermanfaat bagi mereka dan bagi berbagai komunitas di Indonesia,” papar Dino.

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved