Kabupaten Keerom di Provinsi Papua memiliki sumber daya alam beragam, termasuk sumber pangan lokal seperti ubi jalar (hipere), talas, sagu, gembili, dan jawawut atau pokem (gandum lokal Papua). Selain itu, daerah ini memiliki potensi perkebunan seperti kakao, vanili, pisang, dan potensi perikanan air tawar. Sayangnya, semua potensi tersebut belum dikelola, didata, dan dimanfaatkan dengan optimal.
Di sisi lain, Keerom juga terancam dengan investasi perkebunan sawit. Setidaknya di 16 kampung yang dijajaki, ada 9 perusahaan kelapa sawit yang sudah mengantongi izin, meski belum semuanya beroperasi. Faktanya ratusan ribu hektare sudah dibabat untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Kampung-kampung tersebut berbatasan atau berada di dalam kawasan konsesi. Kondisi ini memberi dampak sosial dan ekonomi yang cukup serius bagi masyarakat. Mata pencaharian mereka hilang. Mereka kehilangan hutan yang diwariskan oleh nenek moyang yang menjadi tempat berburu, memanen sagu, dan mencari sumber air.
Hak masyarakat yang terampas telah menyebabkan hilangnya tutupan hutan di Keerom yang cukup serius. Data dari Global Forest Watch menyebutkan bahwa Keerom telah kehilangan 36.200 hektare tutupan hutan pada 2001-2020. Praktik pengalihan kepemilikan tanah komunal ini menimbulkan ketegangan sosial, sengketa hukum yang melibatkan marga di wilayah adat Mamta/Tabi yang terdiri dari 87 suku. Perusakan hutan dan lahan masih berlangsung hingga kini.
Baca Juga: Menggali Potensi Kampung Gisim di Sorong
Masyarakat adat menjadi rentan ketika ruang hidup dan sumber penghidupan mereka hilang. EcoNusa dalam hal ini berinisiatif membangun kemampuan pemerintah dan masyarakat kampung untuk membangun ketangguhan dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkeadilan dan berkelanjutan. Salah satu upayanya adalah dengan memfasilitasi Sekolah Transformasi Sosial (STS) yang melibatkan para kepala kampung dan kader kampung. Untuk itu, EcoNusa mengadakan kajian awal melalui penjajakan 16 kampung di 4 distrik di Kabupaten Keerom pada 28 Agustus sampai 2 September 2022.
Menggali potensi vanili
Mathius Limbar, Kepala Kampung Waley, Distrik Senggi, Kabupaten Keerom di Papua, menyambut baik inisiatif EcoNusa yang akan mengadakan Sekolah Transformasi Sosial (STS). Menurut Mathius, dengan pelatihan kader kampung, masyarakat akan memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang budidaya vanili yang bisa dikembangkan di kampung. Tak hanya itu, mereka juga akan punya pengetahuan luas untuk membangun potensi kampung.
Baca Juga: Pemuda Diharapkan Menjadi Generasi Nol-Bersih Emisi
Lebih lanjut Mathius mengatakan bahwa selama ini kampung mendapatkan dana desa yang besar. “Saya ingin memanfaatkan dana desa itu untuk kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Salah satunya dengan pembudidayaan vanili karena hasilnya cukup menjanjikan,” kata Mathius.
Vanji Dwi Prasetyo, Program Associate Divisi Pengembangan Sumber Daya Alam (PSDA) EcoNusa, mengatakan bahwa berdasarkan hasil penjajakan di lapangan, banyak potensi kampung yang belum tergarap dengan baik. Kebun kakao banyak yang terkena hama sehingga hasilnya kurang maksimal, karena masyarakat tidak mengetahui cara mengatasi hama dan cara meremajakan kembali pohon kakao.
Tanaman vanili juga masih menjadi tanaman penghias pagar karena masyarakat belum mengenal teknik budidaya yang baik. Di Kampung Uskwar, Distrik Manem, pernah menganggarkan bantuan bibit vanili untuk masyarakat. Tapi produktivitasnya masih rendah. Menurut pengakuan warga, mereka tidak pernah mendapat pelatihan khusus untuk budidaya vanili. Mereka belajar dari YouTube atau bertanya kepada petani lain.
Baca Juga: Merawat Bank Sagu Kampung Manelek
Air bersih menjadi persoalan di sebagian besar kampung di Keerom. Mereka masih mengandalkan air sungai dan tadah hujan. Tapi di sisi lain, ada keinginan masyarakat untuk membudidayakan perikanan di kolam di kampung mereka.
“Masyarakat berharap akan ada kelas khusus yang membahas tentang cara membudidayakan tanaman vanili dengan teknik yang benar,” kata Vanji. Tanaman vanili sangat menggiurkan hasilnya. Vanili basah harganya mencapai Rp500 ribu per kilogram. Sedangkan vanili kering bisa mencapai Rp1 juta per kilogram.
Berdasarkan pengamatan tim scoping EcoNusa, masyarakat menanam vanili dengan cara sederhana. “Dengan STS nanti, warga berharap akan mendapatkan ilmu pertanian, khususnya budidaya vanili,” lanjut Vanji. Harapannya setelah STS, warga akan tahu teknik budidaya vanili yang benar, pembibitan mandiri untuk kebutuhan bibit di masyarakat, termasuk pemasaran produknya. Dengan demikian, produktivitas vanili, termasuk kakao dan perikanan darat akan memberikan manfaat optimal yang dapat menyejahterakan masyarakat.
Baca Juga: Berjalan Sambil Membuat Jalan
STS akan melibatkan 14 kampung yang berminat, yaitu Kampung Waley, Warlef, Molof di Distrik Senggi, Kampung Arso Kota, Bagia, Workwana, dan Sawanawa di Distrik Arso, Kampung Sawyatami, Wambes, Pyawi, Wembi, dan Uskwar di Distrik Mannem, Kampung Sangke dan Suskun di Distrik Arso Timur. STS ini akan didahului Lokakarya Kepala Kampung pada 3-5 Oktober, STS Kader Kampung pada 6-10 Oktober, dan perencanaan tindak lanjut pada 11 Oktober 2022.
Editor: Leo Wahyudi, Nur Alfiyah