Indonesia telah menargetkan untuk mengurangi sampah plastik sebanyak 75 persen pada 2025. National Plastic Action Plan (NPAP) Indonesia menjadi wadah bagi pemerintah dan produsen sampah plastik untuk mengimplementasikan kebijakan peta jalan sampah plastik Indonesia.
Secara umum, ada 5 aksi yang dilakukan NPAP Indonesia, yaitu mengurangi, mendesain kembali, mengambil, mendaur ulang, dan mengembangkan fasilitas pembuangan sampah.
Sayangnya, keberadaan sampah plastik, termasuk mikroplastik, masih dapat ditemukan di lingkungan sekitar. Salah satu contoh terdekat adalah keberadaan mikroplastik pada air minum dalam kemasan. Penelitian yang dilakukan Greenpeace Indonesia bersama Universitas Indonesia (UI) menunjukkan kandungan mikroplastik sebanyak 30 miligram pada galon air mineral sekali pakai berukuran 6 liter.
Baca juga: Upaya Penanganan Sampah Plastik di Maluku dan Tanah Papua
“Mikroplastik yang ada di dalam air kemasan ini dari sumbernya memang sudah tercemar plastik begitu banyak,” kata Agustino Zulys, peneliti Laboratorium Kimia Anorganik UI, dalam Konferensi Pers yang diadakan oleh Greenpeace Indonesia pada 23 September 2021.
Menanggapi hal itu, Ahli Neurologi UI, Pukovisa Prawiroharjo, mengatakan, paparan mikroplastik pada sel manusia menyebabkan penurunan zat asetilkolin yang dibutuhkan manusia untuk mengingat. Meski begitu, Pukovisa mengakui bahwa penelitian yang dilakukan dalam skala besar masih minim.
Selain air minum dalam kemasan, mikroplastik juga dapat ditemukan pada makanan. Laporan United Nations Environment Programme (UNEP) yang berjudul From Pollution to Solution menyebut kandungan mikroplastik dapat ditemukan pada roti, olahan daging, produk susu hingga sayuran.
Baca juga: Mahasiswa Podomoro Lawan Sampah Plastik di Teluk Naga
Zat beracun yang terkandung dalam mikroplastik dapat menguap dan menyebar melalui udara. Konsentrasi serat mikroplastik pada udara di dalam ruangan lebih tinggi dibandingkan di luar ruangan. Paparan serat mikroplastik yang dialami oleh para pekerja tekstil dilaporkan berhubungan dengan penyakit paru-paru.
Tidak hanya berbahaya bagi manusia, laporan UNEP juga menyebut bahwa mikroplastik dapat mempengaruhi keberhasilan reproduksi dan kelangsungan hidup organisme laut. Mikroplastik yang masuk ke sistem pencernaan hewan dapat menumpuk di jaringan tubuh dan berpotensi menyebabkan peradangan.
Selain itu, mikroplastik yang terserap oleh terumbu karang dan mikroalga berdampak pada penurunan penyerapan karbon di laut. Hal ini berpotensi memiliki dampak turunan yang berhubungan dengan pemanasan global.
Laporan The Pew Charitable Trusts dan SYSTEMIQ (2020) menyebut sumber mikroplastik kebanyakan berasal dari abrasi ban, pelet atau pakan ikan, tekstil dan produk perawatan pribadi. Pada 2016, negara berpenghasilan tinggi menyumbang 365 gram mikroplastik per kapita, sedangkan negara berpenghasilan sedang dan rendah menyumbang 109 gram mikroplastik per kapita.
Baca juga: Gegara Media Sosial, Marcello Tahitoe Ogah Pakai Plastik Sekali Pakai
Menurut NPAP Indonesia (2021), ada beberapa upaya perubahan perilaku yang harus dilakukan untuk mengurangi sampah plastik. Upaya ini dilakukan melalui 3 fokus area, yaitu merangkul masyarakat di luar kota-kota besar, mendukung Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) untuk menyediakan produk yang ramah lingkungan, dan edukasi pemuda.
Sebagai anggota NPAP Indonesia, Yayasan EcoNusa mengambil peran dalam edukasi pemuda dan telah menginisiasi program bernama School of Eco-Diplomacy (SED). SED berupaya melakukan peningkatan kapasitas pemuda dengan mengetahui potensi yang dimiliki oleh lingkungan sekitarnya. Diharapkan pemuda lebih sadar akan bahaya sampah plastik bagi lingkungan. Dengan kesadaran tersebut, kaum muda memiliki bekal untuk bergerak menyelamatkan lingkungan.
Editor: Leo Wahyudi, Nur Alfiyah, Lutfy Putra