Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Mewujudkan Ketahanan Pangan di Kampung Seraran dengan Padi Organik

Bagikan Tulisan
Kampung Seraran di Distrik Teluk Arguni Bawah, Kaimana, Papua Barat. (Yayasan EcoNusa/Nur Alfiyah)

Lahan di punggung bukit di belakang perkampungan Seraran, Distrik Teluk Arguni Bawah di Kaimana, Papua Barat itu tampak mencolok. Tanahnya bersih dan diberi pagar pembatas, sementara lahan di kiri-kanannya lebat oleh semak-belukar.

Jika dilihat dari dekat, di lahan seluas 1 hektare tersebut ada bekas-bekas lubang kecil yang di dalamnya ditumbuhi padi yang baru bertunas setinggi satu ruas jari. “Ini padi ladang, kami baru tanam minggu yang lalu,” kata Alif Furu, warga Seraran yang mengolah lahan tersebut, Jumat, 30 September 2022.

Alif, 50 tahun, mengelola lahan tersebut bersama anggota kelompok pertaniannya, termasuk kakaknya, Jamaludin Furu. Padi muda tersebut adalah padi kedua yang mereka tanam tahun ini. Awal tahun 2022 sebenarnya mereka menanam padi di lahan yang sama. Tapi baru berumur 3 bulan, padi yang sudah setinggi betis orang dewasa tersebut habis dimakan sapi dalam satu malam. Padi milik kelompok lainnya yang ditanam di kebun sebelah juga hancur. “Saya kecewa sekali. Padahal niatnya kalau panen, gabahnya saya bagikan ke masyarakat lain untuk bibit,” ujar Alif.   

Baca Juga: Mimpi Mandiri dengan Vanili di Keerom

Meski sempat hilang semangat, Alif dan anggota kelompoknya akhirnya mau menanam kembali setelah staf EcoNusa memberikan motivasi dan bibit baru lagi. Lahannya mereka pasangi pagar dari kayu setinggi dada orang dewasa agar sapi maupun binatang lainnya seperti rusa tidak dapat masuk dan kembali merusak ladang. Sementara kelompok lainnya belum mau menanam lagi karena masih kecewa.

Alif adalah salah satu peserta Sekolah Transformasi Sosial (STS) yang dilaksanakan di Kampung Sisir, Kaimana pada 25 Juni-16 Juli 2021. STS merupakan bagian dari program Sekolah Eco-Involvement yang diinisiasi oleh EcoNusa. Di Kaimana, STS diikuti oleh peserta dari perwakilan 12 kampung, yakni Kampung Guriasa, Yarona, Edor, Kooy, Manggera, Egarwara, Warmenu, Kufuriyai, Seraran, Mai Mai, Sisir II, dan Marsi. Selama tiga minggu, mereka belajar tentang teknologi budidaya pertanian organik dan pembuatan rumah pengering serbaguna.

Alif Furu di ladang yang baru ditanami padi organik di kampungnya. (Yayasan EcoNusa/Nur Alfiyah)

Alif masuk ke kelas budidaya pertanian organik. Ia dan kawan-kawan lainnya yang masuk ke kelas ini belajar mengenali karakter tanah, pengelolaan benih, pembibitan, pengendalian hama dan penyakit tanaman, teknik produksi pupuk cair dan padat organik, serta teknik produksi pestisida hayati.

Baca Juga: Menggali Potensi Kampung Gisim di Sorong

Usai pulang dari STS, Alif menanam sayur organik seperti kangkung, bayam, sawi, dan tomat. Sayuran tersebut laku dibeli oleh para tetangga. Ia kemudian meminta dukungan untuk pertanian padi ladang ke Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Beras adalah makanan pokok mereka, selain uce (sagu), dan sirngef (ubi). Beberapa tahun belakangan, masyarakat Seraran mendapatkan beras dengan membeli. Untuk satu rumah, mereka biasa menghabiskan 10-60 kilogram beras dalam satu bulan. “Kalau tidak membeli, itu bagus sekali,” ujar mama Kalsum Muda.

BUMDes menganggarkan dana Rp 10 juta untuk masing-masing rukun tetangga (RT) untuk membuka lahan. Ada 3 RT di kampung tersebut. “Orang-orang tua dulu menanam padi. Kitong (kita) ada tanah, kenapa tidak kitong seperti orang tua dulu,” kata Mursalim Puarada, Ketua Badan Musyawarah Kampung Seraran.

Masyarakat Seraran sebelumnya sudah pernah menanam padi ladang. Alif pun mengenal bertani padi dari orang tuanya. Ia ingat, sejak masih sekolah dasar, bapak dan ibunya sering membawanya ke ladang untuk merawat padi gogo. “Waktu itu ladang masih berpindah-pindah, saya biasa diajak bermalam di ladang,” tuturnya.

Baca Juga: Sagu, Tanaman Sejuta Manfaat yang Terancam oleh Pembangunan

Saat dewasa, Alif dan Jamaludin membuka ladang seluas 30 hektar untuk ditanam padi bersama. Mereka bisa memanem hingga berton-ton gabah. Hasilnya dikonsumsi oleh keluarga dan dijual kepada para tetangga dan pemerintah kabupaten. Namun sejak awal 2000-an, kegiatan pertanian padi tersebut berhenti. “Bibitnya habis, kami setop,” ujarnya.

Alif Furu dan masyarakat kampungnya baru menanam padi lagi ketika mendapat bantuan bibit dari pemerintah, sekitar 2016. Tapi setelah panen, mereka tidak melanjutkan lagi. “Lahannya jauh-jauh, harus pakai motor (perahu long boat),” kata mama Aminah Muda.

Kini, Alif dan anggota kelompoknya berharap padi yang mereka tanam akan tumbuh dengan subur sampai bisa dipanen nanti. Mereka akan membagikan hasil panen nanti kepada masyarakat sebagai bibit. Sehingga masyarakat Seraran tidak perlu lagi membeli beras. “Harapannya pertanian ini akan berkelanjutan,” ujar Alif.

EcoBlogs Lainnya