Search
Close this search box.
EcoStory

Nasib Lingkungan Hidup dan Masyarakat Adat dalam UU Cipta Kerja

Bagikan Tulisan
Alih fungsi lahan hutan menjadi industri menyebabkan hilangnya tutupan hutan di Papua. (Dok. EcoNusa)

Beberapa hari terakhir, masyarakat bereaksi dan sebagian turun ke jalan melakukan unjuk rasa.  Pasalnya, Omnibus Law RUU Cipta Kerja telah disahkan oleh DPR RI menjadi UU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna 5 Oktober 2020 lalu. Banyak pihak menilai, pengesahan rancangan undang-undang yang menuai kontroversi sepanjang tahun tersebut terkesan terburu-buru dan mengabaikan masukan berbagai pihak.

Undang-undang setebal 905 halaman tersebut kerap disebut sebagai undang-undang sapu jagat karena ada 11 bidang kebijakan dengan 79 undang-undang multisektor yang harus disederhanakan, dipangkas, diubah, dan ditambahkan demi penyediaan lapangan pekerjaan dan investasi di Indonesia. Akan tetapi, RUU ini menjadi sorotan karena dinilai memberikan karpet merah bagi kepentingan investasi semata dan mengabaikan aspek-aspek lain. 

Namun demikian, di sisi lain respon pemerintah berbeda. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangan resminya mengatakan, selama ini peningkatan investasi dan pembukaan lapangan kerja terhambat karena proses perizinan berusaha yang rumit dan lama, beratnya persyaratan investasi, sulitnya pengadaan lahan, hingga pemberdayaan UMKM dan koperasi yang belum optimal. Ditambah, proses administrasi dan birokrasi perizinan yang cenderung lamban.

“RUU Cipta Kerja (yang telah disahkan menjadi UU Cipta Kerja) akan mendorong reformasi regulasi dan debirokratisasi, sehingga pelayanan pemerintahan akan lebih efisien, mudah, dan pasti, dengan adanya penerapan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) dan penggunaan sistem elektronik,” ujar Menko Airlangga dalam keterangan resminya dikutip dari kompas.com.  

Pemerintah bersikukuh UU Cipta Kerja dimaksudkan mempermudah perizinan berusaha sehingga memperluas lapangan pekerjaan, mendorong kesejahteraan, dan pengentasan kemiskinan. Namun, penghapusan dan perubahan pasal-pasal dalam undang-undang itu menyisakan sederet persoalan. 

Baca juga: RUU Cipta Kerja Tak Prioritaskan Keberlanjutan Sektor Perikanan

Lingkungan Hidup dalam UU Cipta Kerja

Selain pasal-pasal ketenagakerjaan yang memicu protes besar-besaran, isu kelestarian lingkungan hidup dan hak masyarakat adat dalam mengelola sumber daya alam di wilayah adatnya juga menjadi perhatian khusus. 

Omnibus Law Cipta Kerja bersinggungan dengan tiga undang-undang mengenai lingkungan hidup, yakni UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 18 tahun 2018 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 

Dalam UU Cipta Kerja yang disahkan, sejumlah pasal krusial dalam UU No. 32 tahun 2009 diubah dan ada pula yang dihapuskan. Di antaranya adalah pasal-pasal yang mengatur tentang AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sebagai dasar pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha yang sesuai dengan kelayakan lingkungan. Selain itu, izin lingkungan hilang dan melebur dalam izin berusaha yang di dalamnya terdapat persetujuan lingkungan atau persetujuan pemerintah. Pasal-pasal terkait penegakan hukum pada Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 yang menuntut pertanggungjawaban mutlak pun diubah. 

Dalam UU Cipta Kerja, Pasal 12 UU No. 18 tahun 2013 tentang larangan bagi masyarakat yang tidak memiliki perizinan berusaha untuk membawa alat-alat menebang, memotong, atau membelah pohon dipertahankan. Namun, ditambahkan pasal baru, 17A, tentang sanksi administratif bagi masyarakat yang menebang pohon, yang bertempat tinggal di sekitar kawasan hutan paling singkat lima tahun.

Menurut Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB dalam tulisannya berjudul “RUU Cipta Kerja yang Tak Adil” , RUU Cipta Kerja (yang kini telah disahkan) malah melemahkan dasar hukum untuk menangkap para pelaku ilegal skala besar dan terorganisasi sebagaimana tertuang dalam UU No. 18 tahun 2013. Sebaliknya, RUU ini tidak peka terhadap persoalan status hak masyarakat adat atas tanah dan hutan. 

Pengesahan UU Cipta Kerja ini juga memancing reaksi dari berbagai kalangan. Tagar #MosiTidakPercaya dan Tolak Omnibus Law meramaikan dunia maya. Pada situs change.org, setidaknya ada 8 petisi penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Di antaranya petisi dari lima tokoh pemuka agama bertajuk ‘Maklumat Pemuka Agama Indonesia: Tolak Omnibus Law dan Buka Ruang Partisipasi Publik’ serta petisi lain diinisiasi oleh aktivis lingkungan, Arifsyah M Nasution, bertajuk ‘Tolak Omnibus Law Cipta Kerja dan Mosi Tidak Percaya kepada Presiden Jokowi dan DPR’

“Perubahan dan penghilangan pasal-pasal kunci terhadap pelestarian lingkungan hidup pada UU Cipta Kerja itu menjadi ancaman bagi keutuhan ekologi di Tanah Papua. Tanah Papua yang masih memiliki tutupan hutan alam terbesar di Indonesia pun menjadi semakin rentan,” kata Bustar Maitar, CEO Yayasan EcoNusa merespon pengesahan UU Cipta Kerja. 

Tanpa adanya Omnibus Law saja, alam di Tanah Papua sudah mulai tergerus. Salah satunya karena alih fungsi hutan menjadi lahan industri. Hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam berdasarkan kearifan lokal di wilayah adat pun mulai terusik. Padahal kearifan lokal menjadi salah satu benteng perlindungan alam. “Saya sangat khawatir kemudahan investasi dalam UU Cipta Kerja ini akan semakin menjadi justifikasi para pemilik modal untuk membuka hutan lebih luas di Tanah Papua sehingga deforestasi makin tak terkendali di negeri ini. Masyarakat adat pun akan makin tersingkir dan tak pernah diakui hak-haknya,” imbuh Bustar. 

Baca juga: Protokol Investasi Mencerminkan Komitmen Pembangunan Berkelanjutan di Tanah Papua?

Respon Pemerintah

Kegaduhan masyarakat tersebut kemudian ditanggapi oleh pemerintah pada Konferensi Pers Virtual tentang Penjelasan UU Cipta Kerja pada 7 Oktober 2020 yang dihadiri 13 menteri dan pejabat terkait. Termasuk Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, yang mengklarifikasi beberapa hal terkait isu lingkungan yang menjadi kritik masyarakat. 

“Tidak benar bahwa ada kemunduran dalam perlindungan lingkungan hidup melalui UU Cipta Kerja itu. Prinsip dan konsep dasar pengaturan AMDAL dalam undang-undang tidak ada perubahan. Yang berubah adalah kebijakan dan prosedurnya agar lebih sederhana dan sesuai dengan tujuan,” tegasnya. 

Terkait izin lingkungan, Siti juga mengatakan tidak benar bahwa undang-undang ini melemahkan aturan perlindungan lingkungan karena izin lingkungan tidak dihapus, melainkan diintegrasikan ke dalam perizinan berusaha. Justru hal ini akan memperkuat perlindungan karena apabila terjadi pelanggaran terhadap izin lingkungan, maka perizinan usaha secara keseluruhan dapat digugat. Sedangkan persyaratan perizinan berusaha akan diatur lebih lanjut dalam NSPK yang selanjutnya akan dimuat dalam Peraturan Pemerintah. 

Berkenaan dengan kehutanan, Siti memaparkan tanggung jawab kebakaran hutan tetap menjadi tanggung jawab pemilik izin usaha. UU Cipta Kerja tidak hanya mempermudah perizinan berusaha bagi pihak swasta tetapi juga untuk Perhutanan Sosial. Sedangkan sanksi bagi perambah hutan, dikatakan bahwa dalam hal pelanggaran oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan atau di sekitar kawasan hutan, dikecualikan dari sanksi administratif dan diselesaikan melalui penataan kawasan hutan.

Editor & peninjau: Leo Wahyudi 

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved