EcoStory

Kopi Paniai jadi Finalis di Jakarta Coffee Week 2022

Bagikan Tulisan
Para mama menyortir biji kopi (green bean) yang telah mereka panen.

Kopi jenis arabika dari Distrik Agadide, Kabupaten Paniai, Provinsi Papua Tengah yang dimiliki oleh Kris Kadepa masuk di antara 20 finalis kopi arabika dan robusta dalam Jakarta Coffee Week (Jacoweek) 2022 yang digelar pada 11-13 November 2022 di Pondok Indah, Jakarta.

Kopi dari Paniai ini bersaing bersama kopi yang berasal dari beberapa provinsi seperti Aceh, Jawa Barat, Jambi, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Lampung. Juara Cup of the  Year 2022 untuk jenis arabika diraih oleh Elmiadi, petani dari Kayuaro, Kabupaten Kerinci di Provinsi Jambi dengan proses anaerob natural. Sementara, untuk jenis robusta dimenangkan oleh Lorens, petani dari Rahong Utara, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan proses wine robusta.

Jacoweek Cup of the Year merupakan kompetisi cita rasa kopi yang memberi panggung khusus bagi petani dengan bantuan para pendamping, roaster, dan cupper. Event yang bertema ‘Brewing for Sustainable Future’ ini berusaha memberikan fasilitasi para pecinta kopi di Indonesia sekaligus untuk mewujudkan industri kopi yang berkelanjutan. 

Baca juga: Kopi Paniai, Emas Merah Penyambung Kehidupan

Petani di seluruh Indonesia menyiapkan green bean pilihan terbaiknya untuk dikurasi dan disajikan. Seluruh pengunjung Jacoweek dapat memberikan penilaian melalui cup test. Cara ini diklaim penyelenggara sebagai cara efektif agar dapat mengidentifikasi kopi yang sesuai selera pasar. 

Gerakan Tanam Kopi

Melihat potensi lokal yang dimiliki, Pemerintah Kabupaten Paniai mencanangkan Gerakan Tanam Kopi pada 2021. EcoNusa melalui Yapkema sudah dua tahun turut mendampingi petani kopi. Kedua lembaga menyambut baik gerakan ini. Ajakan pemerintah daerah ini juga mendorong petani kopi baru semakin banyak.

Hanok Herison Pigai, Direktur Yapkema, mengatakan pengembangan kopi di Paniai sangat positif. “Pengembangan kopi arabika Paniai sebagai antisipasi masyarakat adat terhadap ancaman deforestasi sekaligus menjadi komoditas yang memberikan nilai ekonomis untuk kemandirian dan kesejahteraan masyarakat adat Paniai,” kata Hanok.

Baca juga: Selayang Pandang Kopi Paniai

Derek Kadepa, Sekretaris Distrik Fajar Timur, mengatakan, hingga saat ini banyak masyarakat di kampung yang sudah punya kebun kopi warisan orang tua mereka, namun belum diberdayakan. “Saya apresiasi kegiatan yang sedang kita lakukan ini. Apalagi dengan mengkaderkan dan menggunakan anak asli masyarakat setempat untuk menyukseskan program pengembangan kopi,” kata Derek. 

Derek berharap masyarakat diajarkan bagaimana cara perawatan kopi yang benar, proses pasca panen yang betul, bagaimana cara membuat dan memupuk tanaman kopi secara organik, dan seterusnya.

Menanggapi hal tersebut, Oktopianus Yogi, Kepala Distrik Aradide, juga menekankan bahwa menanam kopi adalah bagian dari memuliakan sekaligus mempertahankan tanah yang diwariskan dari generasi sebelumnya. “Dengan demikian, orang atau perusahaan dari luar tidak mudah mencaplok lahan yang ada,” kata Oktopianus.

Baca juga: Bertani Kopi Menjaga Jati Diri di Tengah Pandemi

Menurut Oktopianus, sekalipun tanpa ada dukungan dari pemerintah daerah ataupun yayasan, sudah seharusnya masyarakat menanam kopi. “Karena yang menikmati hasilnya kan masyarakat sendiri. Apalagi saat ada program seperti ini, masyarakat harus sungguh-sungguh melibatkan diri. Ini kesempatan,” katanya.

Kopi Paniai dan Manfaat Ekologi

Lebih lanjut, Hanok menjelaskan bahwa budidaya kopi memberi manfaat ekonomi maupun ekologi. Pertama, dengan menanam kopi, masyarakat mendapatkan keuntungan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga tercipta kemandirian ekonomi. Kedua, penanaman kopi dan pohon peneduhnya akan menghasilkan oksigen yang berperan untuk menyerap emisi karbon yang mengakibatkan pemanasan global. 

Tanpa disadari, dengan menanam kopi masyarakat dapat mencegah terjadinya erosi. Artinya, masyarakat telah berpartisipasi untuk melestarikan Danau Paniai di Papua Tengah yang berada di ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut. “Selain itu, dengan menanam kopi, masyarakat mempertahankan tanah adat mereka,” imbuh Hanok.

Baca juga: Kopi Robusta di Kampung Ambaidiru

Mayoritas masyarakat adat Mee sebagai suku yang dominan di Paniai bergantung dan hidup di sekitar kawasan Danau Paniai. “Danau Paniai yang telah lama menjadi pusat peradaban bagi orang Mee yang tinggal di sekitarnya kini sudah terancam,” kata Hanok. 

Menurut Hanok, polusi sampah plastik semakin bertumpuk di beberapa hilir sungai. Enceng gondok dan beberapa gulma lain di beberapa titik di tepian danau terus mempersempit permukaan danau. Minimnya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan, belum adanya tindakan penanggulangan yang tepat, serius dan berjangka panjang dari pemerintah daerah, ditambah masalah sedimentasi, semakin memperparah masalah ini.

Menurut hasil penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dirilis beberapa tahun lalu mengungkapkan bahwa danau Paniai sedang mengalami ancaman pendangkalan karena pasir, tanah, sampah plastik, lumpur, dan kayu kering. Mereka terbawa ke danau melalui tujuh sungai besar, yaitu sungai Aga, Eka, Weya, Koto, Muye, Waneuwo, dan Kowabeu. 

Baca juga: Kebun Kopi Ambaidiru sebagai Kawasan Penyangga Cagar Alam Yapen

Pengendapan yang terjadi di dasar permukaan danau Paniai, telah menjadi perkara serius. Hal ini membuat daya tampung air danau semakin berkurang sehingga sering meluap. Hal ini berisiko menenggelamkan permukiman warga sekitar, lahan pertanian, badan jalan, dan beberapa fasilitas publik seperti sekolah dan pasar. 

Hanok meyakini, dengan budidaya kopi, petani dan masyarakat Paniai secara umum telah melestarikan Danau Paniai, karena kopi dan tanaman penaungnya turut mencegah erosi dan banjir.

Editor: Lutfy Putra

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved