Tanah Papua yang subur merupakan berkah bagi masyarakat adat yang tinggal di sana. Beragam jenis tanaman bisa tumbuh dengan lebat dan menjadi sumber penghidupan masyarakat, seperti sagu, kopi, pala, umbi-umbian, dan kakao.
Di Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Keerom, Papua, kakao memiliki andil besar terhadap kehidupan masyarakat adat. Beberapa petani kakao mengaku, buah yang menjadi bahan baku cokelat tersebut pernah membuat mereka mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari hingga membiaya pendidikan anak sampai sarjana.
Kosmos Boryam dari Kampung Wembi, Distrik Mannem, Keerom, salah satu yang merasakannya. Anak pertamanya bisa sekolah hingga menyelesaikan kuliah di Pulau Jawa dari hasil penjualan kakao. “Anak bapak (saya) yang tua itu namanya Simon. Dia bukti dari hasil jual cokelat (kakao). Rumah yang bapak bangun ini juga dari hasil cokelat. Bukan bapak saja, tapi semua petani di kampung ini yang tanam cokelat itu hidup tidak susah,” kata petani berusia 57 tahun tersebut.
Baca Juga: Cerita Sekolah Kampung Vanili: Berawal dari Pesimistis menjadi Keyakinan akan Perubahan
Lewi Irab dari Kampung Sarmai Atas dan Salmon Kwano dari Kampung Klaisu, Jayapura juga bisa membangun rumah, membeli motor, dan menyekolahkan anak-anaknya dari hasil panen kakao.
Ronald Udam dari Kampung Pupehabu Yansu, Jayapura mengatakan bahwa dulu masyarakat biasa memanen kakao hingga berton-ton. Sampai-sampai truk di kampung mereka tak cukup untuk memuat semua hasil panen. “Bahkan ada beberapa karung kakao yang tidak bisa diangkut karena muatan di truk sudah penuh,” ujar Ronald.
Namun, kejayaan ini tak bertahan lama. Sejak 2013, tanaman kakao yang mereka miliki terserang hama penggerek buah. Hasil panen mereka benar-benar turun drastis, pendapatan mereka pun jatuh. Berbagai pelatihan dan upaya sudah dilakukan pemerintah untuk memulihkan perekonomian masyarakat, tapi tak banyak membantu. Masyarakat berkali-kali meminta peremajaan kakao, namun sampai sekarang belum ada tanggapan.
Baca Juga: Marga Blon, Gisim, Koso, Diakui Hak Ulayatnya
“Satu-satunya jalan itu peremajaan. Babat habis semua tanaman kakao yang ada, lalu tanam dengan tanaman kakao yang unggul. Itu yang bapak (saya) minta ke dinas (pemerintah), tapi tidak ada jawaban sampai sekarang,” kata Kosmos Boryam.
Banyak petani yang kemudian berubah haluan. Mereka melirik tanaman vanili. Cerita dari mulut ke mulut, tanaman vanili menjadi trending topik sebagai pengganti kakao karena harganya yang fantastis.
Pohon kakao Lewi Irab dan Salmon Kwano juga terserang hama. Pendapatan mereka berkurang banyak setelah tanaman mereka diserbu hama. Meski demikian, mereka tetap setia membudidayakan kakao. Lewi tidak hanya mengurus 3 hektare lahan kakaonya, tapi juga membuat rumah pembibitan kakao yang bekerja sama dengan Dinas Perkebunan Kabupaten Jayapura.
Lewi yang juga menjadi Ketua Kelompok Kakao di Kampung Sarmai Atas mampu mengumpulkan hingga 30 kilogram biji kakao kering per bulan dari kebunnya dan petani di kelompoknya. Hasil penjualan biji kakao itu kemudian dibagi kepada petani sesuai dengan berat biji kakao yang diberikan.
Baca Juga: Sagu, Tanaman Sejuta Manfaat yang Terancam oleh Pembangunan
Sementara Salmon Kwano yang memiliki 3 hektare lahan kakao menjalin kerja sama dengan PT. Kakao Kita Papua. Hasil pengumpulan biji kakao kering dari kebunnya dan kebun petani lain di Kampung Klaisu langsung dibeli oleh perusahaan tersebut. Februari 2023, Salmon dan kawan-kawannya berhasil menjual 100 kilogram biji kering kakao ke PT. Kakao Kita.
“Walau ada hama, kita tetap jalan. Karena hidup kita dari cokelat ini. Kita harus tetap bersihkan kebun, rawat dia baik, walau hasilnya sedikit. Kalau tidak jalan, kita mau dapat makan dari mana?” tutur Salmon.
Di tengah situasi kakao yang terserang hama, Salmon berpesan kepada petani lainnya agar tetap semangat mengurus kebun kakaonya dengan cara rajin membersihkan, membuat pengasapan di kebun dan terus mencoba metode-metode lain untuk mengusir hama, termasuk dengan mengganti tanaman sebelumnya dengan tanaman kakao unggul yang diberikan pemerintah.
Editor: Nur Alfiyah