Pala sudah dibudidayakan oleh masyarakat Papua secara turun-temurun dan menjadi sumber penghasilan utama, termasuk di Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Harganya yang cukup tinggi membuat masyarakat yang semula tidak menanam pala menjadi petani pala. Salah satunya di Kampung Marsi di Distrik Kaimana. “Ini bagian dari investasi masa depan,” kata Kepala Kampung Marsi, Rony Jaisona, saat ditemui oleh tim EcoNusa, Senin, 3 Oktober 2022.
Masyarakat Marsi menanam pala secara sederhana. Usai ditanam di hutan-hutan di belakang kampung, mereka biasanya tinggal menunggu sampai masa panen tiba, sekitar 5-7 tahun kemudian. Masyarakat belum mengetahui cara perawatan yang memadai untuk menghasilkan buah pala berkualitas. “Tanam itu tidak perhatikan jarak. Setelah panen tidak ada pemberian nutrisi, makanannya tidak ada. Kami butuh pendampingan untuk beri nutrisi ke tanah, cara basmi hama,” ujar Rony.
Baca Juga: Workshop Kepala Kampung Sorong
Rony memiliki dua ladang pala yang luasnya 5 hektare. Usia tanamannya baru 3 tahun. Ia juga merawat kebun pala peninggalan orang tua. Tanaman pala di ketiga kebun tersebut bermasalah. “Tanaman pala yang muda daunnya berlipat-lipat dan ada bintik-bintiknya. Yang tua daunnya bocor (berlubang) semua, ada putih-putih di belakangnya,” katanya. Menurut Rony, kebanyakan tanaman pala di kampung mereka mengalami nasib serupa.
Menanggapi kondisi tersebut, Community Organizer EcoNusa, Yulince Zonggonau, mengatakan daun yang tergulung tersebut disebabkan oleh virus. Belum ada obat yang bisa menyembuhkan virus tersebut. Untuk mencegah penyebaran, bagian yang sudah terkena virus harus dibuang. “Kalau kena daun, kasih putus (potong) daunnya,” ujar Yuli.
Sedangkan daun yang bolong, kata Yuli, disebabkan oleh kutu. Hama ini bisa diatasi dengan menyemprotkan insektisida, salah satu jenis pestisida untuk mengendalikan hama jenis serangga. Rony mengatakan, ia biasanya menggunakan pestisida kimia. Tapi tidak rutin.
Baca Juga: Bupati Kaimana Siap Dorong Perda Sasi Pala jika Didukung Komitmen Warga
Yuli menjelaskan, pemakaian pestisida yang dihentikan itu justru berbahaya bagi tanaman. “Kalau kimia itu pakai terus-terusan tra papa (tidak apa-apa). Tapi kalau pakai 1-2 kali kasih tinggal (tidak dipakai lagi), hama akan kebal,” katanya.
Mendengar hal itu, Rony mengatakan tertarik mencoba membuat pupuk dan pestisida organik. Ia sudah mempelajari caranya dengan meminjam buku pelatihan yang diberikan kepada kader kampungnya yang mengikuti Sekolah Transformasi Sosial (STS) yang diadakan oleh EcoNusa di Kampung Sisir II, Juni-Juli 2021. “Saya baca-baca itu, saya taruh (ketik) itu di komputer,” tuturnya.
Baca Juga: Teluk Arguni, Gudang Pala dan Komoditas Hutan Kaimana
Alosius Numberi, Kepala Kantor EcoNusa Kaimana, menyarankan agar Rony dan masyarakat Kampung Marsi menggunakan pupuk dan pestisida organik yang bisa dibuat sendiri dan aman bagi manusia dan lingkungan. Bahan-bahannya bisa didapatkan dari sekitar rumah, seperti air kelapa, air cucian beras, air gula untuk membuat pupuk, cabai dan tembakau untuk membuat pestisida. “Tinggal beli drum plastik untuk bikin dan alat semprot,” ujar Alo.
Melihat antusiasme masyarakat tersebut, Alo menambahkan, “Kalau dibutuhkan, teman-teman kader STS dan EcoNusa bisa memberikan pelatihan.”
Editor: Leo Wahyudi, Arya Ahsani