Search
Close this search box.
EcoStory

Jahitan Penyambung Asa

Bagikan Tulisan
Juliana Pattikawa menjahit masker untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan biaya pendidikan (Yayasan EcoNusa/Juliana Pattikawa)

Pandemi COVID-19 memberikan dampak yang luar biasa kepada masyarakat Indonesia. Menurunnya aktivitas perekonomian membuat banyak pekerja terpaksa dirumahkan. Dalam keadaan sulit seperti itu, rasa simpati menjadi modal dasar yang harus tetap terjaga. Saling mengeluarkan tangan merupakan “obat” pendorong semangat untuk tetap bertahan dalam menghadapi pandemi.

Juliana Pattikawa (75) juga merasakan dampak pandemi COVID-19 bagi keluarganya. Sebagai penjahit di Kelurahan Karang Panjang, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, Provinsi Maluku, penghasilan Juliana menurun drastis. Sebelum pandemi, Juliana bisa menjahit dua belas potong baju setiap bulan. Sejak pandemi permintaan pasar untuk menggunakan jasanya turun. Paling hanya  dua potong baju dalam sebulan.

“Orang yang menjahit dan permak pakaian berkurang. Biasanya dua belas potong baju dan kalau ada acara di gereja pada bulan April dan Desember itu banyak sekali, bisa lebih dari empat puluh potong baju,” kata Juliana saat dihubungi EcoNusa. 

Baca juga: Dukungan EcoNusa COVID-19 Response di Kepulauan Maluku

Berkurangnya permintaan pasar itu kemudian membawa masalah serius bagi keuangan keluarga. Selama ini, pendapatan dari hasil menjahit digunakan untuk membantu biaya pendidikan tiga orang cucu dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Selain itu, biaya hidup di Kota Ambon terbilang tinggi. Harga bawang merah pernah mencapai Rp80.000 per kilogram. Terlebih, hidup di wilayah kepulauan tak serta merta membuat harga ikan relatif murah.

Di sisi lain, kebutuhan untuk menggunakan masker sebagai langkah untuk mencegah penyebaran COVID-19 mendatangkan permintaan baru bagi Juliana. Pesanan datang dalam jumlah yang bervariatif. Dari tiga puluh masker hingga ratusan masker pernah dibuat oleh Juliana dan dibantu dua anaknya. 

Juliana membuat cetakan pola masker dan menjahit, sementara kedua anaknya mendapat tugas memotong kain. Satu buah masker dihargai Rp10.000-30.000. Jika produksi berlebih, Juliana membagikan masker hasil produksinya kepada tetangga sekitar.

“Saya bersyukur bisa membantu orang lain dengan cara saya sendiri. Sama-sama saling membantu membuat saya senang,” ujar Juliana.

Senada dengan Juliana, Hanna Corputty (52) menyambung asa anak-anak asuhnya agar dapat terus bersekolah dari hasil pendapatan menjahit. Hanna telah menjahit sejak 1990, usai menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pattimura, Pekerjaan utamanya adalah guru.

Baca juga: Kewaspadaan di Kampung Yenbuba

Sebagai guru di SMA Negeri 6 Ambon, Hanna tak sampai hati melihat beberapa anak muridnya putus sekolah akibat kondisi ekonomi keluarga. Ia lalu berbicara dengan orang tua murid tersebut dan meminta izin untuk menanggung biaya pendidikan mereka. Anak-anak itu diajak  tinggal di rumahnya. Niat baik itu terus berlangsung meski Hanna pindah dari SMA Negeri 6 dan mengajar di SMK Negeri 10 Seram Bagian Barat. 

“Setiap anak yang saya lihat ekonomi (keluarganya) kurang, morat-marit, saya ambil. Setelah lulus, mereka saya lepas. Saya ambil yang lain lagi. Totalnya ada sepuluh anak. Semuanya perempuan,” kata Hanna. 

Saat ini Hanna mengasuh dan menanggung biaya pendidikan  dua orang anak. Salah satunya, Belinda Watilete. Setelah lulus SMA, ia memutuskan tetap tinggal di rumah Hanna dan melanjutkan pendidikan di Universitas Pattimura. Belinda menjadi mahasiswi semester tujuh Jurusan Bahasa Indonesia. Kuliah dilaksanakan secara virtual akibat pandemi COVID-19. Sedangkan anak asuh yang satu lagi, Helena Taniwel bersekolah di SMK Negeri 10 Seram Bagian Barat.

Hanna Corputty (Yayasan EcoNusa/
Hanna Corputty)

Meski pendapatannya menurun selama pandemi dan mesti berusaha lebih keras untuk membiayai anak asuhnya, Hanna merasa bersyukur karena mendapat lebih banyak waktu untuk beristirahat. Dulu Hanna mampu menjahit dua pakaian sehari. Namun, kini dia hanya menerima pesanan pembuatan masker.  

Baca juga: Meningkatkan Ketahanan Pangan Melawan Pandemi

“Sekarang tidak kuat lagi (mengerjakan banyak pesanan). Saya juga membatasi diri karena sudah berumur, sudah mau beristirahat. Membuat masker lebih ringan pembuatannya daripada membuat baju,” ujar Hanna.

Kini, ratusan masker dari tangan Hanna dan Juliana telah digunakan masyarakat sekitar di Maluku. Juliana dan Hanna adalah beberapa di antara ibu-ibu penjahit yang berkolaborasi dengan Yayasan EcoNusa untuk memproduksi masker kain.  Bersama ibu-ibu penjahit lain di Ambon dan Seram, Juliana dan Hanna ikut menjahit 2.000 masker yang kemudian didistribusikan secara gratis kepada masyarakat di beberapa kampung di Maluku.

Selain pembuatan masker kain, Yayasan EcoNusa juga menyalurkan dukungan medis kepada rumah sakit dan fasilitas kesehatan di beberapa wilayah di Maluku. Sedangkan, di Maluku Utara, penyaluran dukungan pencegahan COVID-19 bekerjasama dengan Perkumpulan PakaTiva. 

Editor: V. Arnila Wulandani dan Leo Wahyudi 

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved