Pada akhir Agustus 2022, EcoNusa mengadakan kegiatan School of Eco Diplomacy (SED) yang dikhususkan untuk 35 anak muda terpilih dari seluruh Indonesia. Kegiatan ini menjadi upaya EcoNusa untuk mengembangkan kapasitas kaum muda agar dapat menjadi yang terdepan dalam mempromosikan, melestarikan, sekaligus mempertahankan keragaman budaya dan kekayaan sumber daya alam di Indonesia, terutama di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku.
SED ini menjadi model baru untuk merangkul dan mengorganisir kaum muda di kampung maupun di kota agar semua anak muda di seluruh Indonesia terhubung dalam satu semangat, yaitu upaya penyelamatan lingkungan yang sudah terlalu lama diabaikan. Menurut saya, kaum muda di kota maupun di kampung harus mulai peduli dan ikut merasakan kalau hutan rusak, iklim semakin susah ditebak, bencana iklim yang terjadi di mana-mana.
Saya punya keyakinan SED akan menjadi pintu masuk untuk membangun kesadaran kritis kaum muda terhadap krisis ekologi, termasuk iklim. Kesadaran yang terbangun ini lalu akan memicu gagasan rencana tindak lanjut sebagai bagian dari solusi terhadap persoalan yang ada saat ini.
Baca Juga: G20 Kunci Perubahan Paradigma Pembangunan
Kaum muda ini dibekali dengan beragam pengetahuan dan keterampilan dari para narasumber yang berasal dari aktifis lingkungan, praktisi, dan tokoh-tokoh ternama. Salah satunya, Abetnego Tarigan dari Kantor Staf Presiden. Ia mengingatkan agar anak muda punya kemampuan adaptif terhadap perubahan yang terjadi. Dengan demikian, kaum muda memiliki ketangkasan dan keberanian dalam mengambil keputusan termasuk risikonya. Anak muda juga harus mampu dan siap merespon kejutan-kejutan yang datang setiap saat karena pesatnya kemajuan teknologi.
Sayangnya, masih banyak orang yang belum percaya bahwa krisis iklim saat ini sedang terjadi. Banyak pula yang belum sadar bahwa ini merupakan persoalan serius. Dalam situasi semacam ini kaum muda harus mengambil peran untuk memberikan pemahaman sekaligus ajakan untuk melakukan aksi nyata.
Saya perlu mengutip ajakan dari Dino Patti Djalal, mantan wakil Menteri Luar Negeri dan Duta Besar untuk Amerika Serikat, yang memberikan wawasan serta motivasi kepada peserta SED. Para peserta SED ini diharapkan dapat mengubah dunia di sekitar mereka dengan penuh semangat. Dalam konteks mitigasi perubahan iklim, kaum muda harus tahu cara mencapainya agar program SED ini memberi manfaat bagi kaum muda, masyarakat, dan berbagai komunitas di Indonesia. Kaum muda diharapkan mampu melakukan diplomasi lingkungan dengan memanfaatkan teknologi digital agar diplomasi hijau itu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Baca Juga: Pemimpin Muda Masa Depan Bukan Kemustahilan
Kaum muda dilatih menjadi diplomat lingkungan yang mampu menegosiasikan kepentingan semua pihak untuk melindungi dan menyelamatkan ekologi. Upaya ini bisa dilakukan melalui diplomasi publik ketika menyuarakan atau mengkritisi kebijakan publik. Kaum muda dapat juga melakukan diplomasi masyarakat dengan berbagi pengetahuan, keterampilan, dan kegiatan di masyarakat. Yang tak kalah penting, kaum muda Generasi Z dan Millennial juga harus mampu melakukan diplomasi digital dengan kemajuan teknologi untuk mengkampanyekan isu ekologi ke khalayak yang lebih luas lagi.
Saya sangat berharap kaum muda ini dapat memosisikan diri sebagai diplomat lingkungan atau diplomat hijau. Apalagi di tahun pemanasan politik menjelang Pemilu 2024. Ini menjadi momentum strategis untuk membangun diplomasi dengan memilih calon-calon pemimpin yang peduli dan berkomitmen untuk penyelamatan lingkungan. Bukan pemimpin yang sekedar berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dengan eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan keberlanjutan dan kelestarian lingkungan.
SED merupakan awal dari sebuah proses panjang. Kaum muda akan menjadi inisiator, motivator, sekaligus fasilitator gerakan kaum muda yang dapat dimulai dari lingkungan terkecil di manapun mereka berada. Menurut saya, Indonesia ke depan membutuhkan peran para diplomat hijau ini demi masa depan yang lebih baik.