Tanah Papua dan Kepulauan Maluku memiliki sumber daya alam yang berlimpah. Meski demikian, perekonomian masyarakat masih bergantung kepada pihak luar. Kondisi ini rentan membuat masyarakat menjual tanah mereka kepada perusahaan. “Kemandirian masyarakat penting. Sehingga masyarakat tidak terpikir untuk memberikan tanah,” kata CEO EcoNusa, Bustar Maitar, dalam acara Outlook EcoNusa 2022 yang diselenggarakan secara daring dan luring, Kamis, 10 Februari 2022.
Untuk mewujudkan kemandirian masyarakat, EcoNusa berkolaborasi dengan banyak pihak, termasuk Gereja Protestan Indonesia di Muting, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Pendeta Batseba Reyna Tuasela menceritakan pengalamannya berkolaborasi dengan EcoNusa untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.
Merauke, kata Batseba, dikaruniai dengan flora dan fauna yang melimpah. Di sana, ada Sungai Bian yang membelah kabupaten tersebut. “Di sana banyak ikan arwana. Dulu menangkap arwana menjadi pencaharian Suku Marin,” ujarnya.
Baca Juga: Perlindungan Hutan dan Cenderawasih dalam Budaya Adat Papua
Namun, ekosistem ikan arwana terganggu sejak era 90-an akibat perkembangbiakan ikan gabus atau yang lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama gastor (gabus toraja). Sejak saat itu, masyarakat lebih banyak menjual ikan gastor. “Karena kebutuhan mendesak, mereka menjual ikan mentah. Sayangnya satu ikat ikan dijual rendah, bisa Rp10 ribu-50 ribu,” kata Batseba.
Para pengurus gereja yang prihatin mencoba memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk tidak menjual ikan mentah. Sejak 2020, bersama dengan pengurus gereja, EcoNusa ikut mendampingi masyarakat adat di Kampung Waan, Tanas, dan Panchas untuk memberikan pelatihan pembuatan abon ikan, termasuk tentang higienitas produk, pengemasan yang menarik, serta pemasaran produk.
Kini, para mama di tiga kampung tersebut telah berhasil memasarkan abon ikan gastor. Produk mereka juga dijual saat pagelaran Pekan Olahraga Nasional (PON) XX pada 2021 di Merauke. Pengolahan ikan gastor tersebut bisa meningkatkan nilai jual sehingga ekonomi masyarakat lebih baik. Juga membuat populasi ikan gabus berkurang. “Sehingga ikan arwana bisa tumbuh dengan baik lagi,” ujarnya.
Baca Juga: Abon Wambon, Oleh-oleh Baru dari Boven Digoel
Menurut Batseba, kolaborasi semacam ini penting untuk membangun kemandirian masyarakat. “Gereja tidak bisa berdiri sendiri, kami membutuhkan kerja sama lintas stakeholder, di dalamnya ada pemerintah, LSM (lembaga swadaya masyarakat) seperti EcoNusa,” katanya.
Sementara itu, Yulince Zonggonau, pemudi asli Papua, juga menceritakan pengalamannya dalam mendampingi masyarakat di Distrik Arguni Bawah, Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Warga di Kampung Egarwara, Kampung Wermenu, Kampung Kufuryai, dan Kampung Manggera menjadikan pala sebagai sumber pendapatan utama. Hasil penjualan pala digunakan masyarakat untuk menyekolahkan anak sampai biaya acara pernikahan.
Namun, banyaknya kebutuhan ekonomi membuat masyarakat menjual buah pala kapan pun saat tengkulak datang, termasuk ketika buah pala belum matang. Akibatnya, harganya menjadi rendah. EcoNusa memberikan pendampingan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas buah pala dengan memberikan pelatihan budidaya, waktu pemanenan, sampai pemasaran. “Tahun ini masyarakat akan memulai sasi pala,” kata Yulince. Dengan sasi pala, masyarakat hanya akan memanen pala ketika sudah saatnya panen sehingga harganya lebih bagus.
Baca Juga: Mendongkrak Produktivitas Pala di Kaimana
Menanggapi kedua pengalaman tersebut, Bustar menegaskan pentingnya membangun kemandirian masyarakat di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku. Tujuannya agar masyarakat tidak terus-menerus bergantung kepada pihak luar. Dengan kemandirian tersebut, masyarakat juga tidak akan tergoda untuk menjual tanah mereka. Masyarakat tidak boleh terjebak dalam ekonomi tiba dan berangkat. Hari ini tiba uangnya, besoknya uang itu sudah berangkat untuk memenuhi kebutuhan.
“Masyarakat adat harus bisa menikmati sumber daya alam yang mereka miliki. EcoNusa akan terus bersama-sama masyarakat, bagaimana menjaga keberlangsungan benteng terakhir di Indonesia,” ujarnya.
Editor: Leo Wahyudi & Lutfy Mairizal