Perubahan iklim berdampak besar pada kehidupan manusia. Banyak krisis yang ditimbulkan akibat kerusakan alam dan perubahan iklim. Disadari atau tidak, kita turut berkontribusi dan punya andil terhadap kian memanasnya Bumi.
“Perlu ingat kembali, secara global kita menghadapi tiga krisis planet (triple planetary crisis) yaitu perubahan iklim, tingkat polusi yang kian tinggi, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Langkah pembangunan kita ke depan akan menentukan masa depan Tanah Papua dan Bumi secara keseluruhan,” kata Erik Armundito, Direktur Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam pemaparannya pada pertemuan Diseminasi Dokumen Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD) Provinsi Papua, 21 Februari 2022.
Ketiga krisis planet tersebut berdampak pada meningkatnya bencana alam, seperti cuaca ekstrem, gelombang tinggi, banjir, tanah longsor, kekeringan, abrasi, dan angin puting beliung. Dalam paparannya, Erik menyebutkan bahwa berbagai bencana alam yang terjadi telah menimbulkan kerugian yang tak dapat terhindarkan mencapai rata-rata Rp22,8 triliun per tahun. Lebih dari itu, bencana yang terjadi juga telah merenggut banyak nyawa, banyak masyarakat yang kehilangan tempat tinggalnya, juga meninggalkan trauma bagi banyak orang.
“Oleh karena itu, pemerintah melalui Bappenas mendorong dilaksanakannya sejumlah aksi strategis lingkungan untuk mendukung transformasi ekonomi menuju ekonomi hijau,” ucap Erik. Sebagai bentuk tindak lanjut dari komitmen Pemerintah Indonesia dalam mencapai target nol bersih emisi pada 2060, semua daerah mulai didorong untuk mentransformasikan rencana pembangunannya dengan pendekatan rendah karbon, termasuk di Provinsi Papua.
Pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim menjadi “backbone” dalam transformasi ekonomi indonesia menuju ekonomi hijau. Berdasarkan penerjemahan artikel 3.4 United Nations Framework Convention on Climate Change yaitu integrasi pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim sebagai Prioritas Nasional Nomor 6 dan menjadi arah kebijakan Rencana Kerja Pemerintah pada 2023.
Dokumen Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah Papua
Nota kesepahaman antara Pemerintah Provinsi Papua, Pemerintah Provinsi Papua Barat, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional telah ditandatangani pada 19 Agustus 2019. Implementasi dilanjutkan rangkaian kegiatan berupa pembentukan Kelompok Kerja Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PPPRK), pengisian data ke dalam Aplikasi Perencanaan dan Pemantauan Aksi (AKSARA), serta penyusunan dokumen Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD) Provinsi Papua oleh para pemangku kepentingan yang dipandu oleh Universitas Cenderawasih dan Yayasan EcoNusa.
Baca juga: COP27 Mesir: Indonesia Memimpin dengan Contoh
Elisabeth Wambrauw, dosen Universitas Papua sekaligus anggota dari jajaran tim penyusun dokumen RPRKD Papua menjelaskan bahwa penyusunan dokumen ini bertujuan menentukan penurunan emisi gas rumah kaca dengan tiga alternatif skenario kebijakan, yakni skenario baseline, fair, dan ambitious pada 2030 (sesuai target tujuan pembangunan berkelanjutan/SDG’s), 2045 (Visi Indonesia Emas), dan 2060 (berdasarkan target nol bersih emisi). Dokumen RPRKD Papua menjadi langkah penting dan membuat Papua menjadi provinsi percontohan bagi daerah lainnya dalam upaya implementasi Indonesia menuju negara yang berketahanan iklim. Dokumen tersebut ke depannya akan menjadi acuan bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan berbagai kegiatan rendah karbon melalui lima sektor prioritas, yakni sektor energi, industri, persampahan dan ekonomi sirkular, karbon biru, serta penggunaan lahan dan pertanian.
Dalam dokumen ini, tim penyusun menyajikan hasil penghitungan emisi gas rumah kaca dalam periode waktu 2010-2060 menggunakan metode system dynamic analysis. Berdasarkan hasil penghitungan tersebut, subsektor hutan mempunyai peluang dan potensi terbesar untuk menurunkan emisi hingga bisa mencapai nol bersih emisi, lewat kebijakan yang membatasi perizinan pemanfaatan hutan primer. Dari perhitungan yang ada, emisi dapat diturunkan hingga 80 persen dengan skenario fair dan 140 persen bila menggunakan skenario ambitious.
Baca juga: Kabar Baik, Wilayah Adat Gelek Ulim Abgies Pela Mendapat Pengakuan Pemerintah
Pada sektor energi, intervensi kebijakan difokuskan kepada peralihan menuju pemanfaatan energi bersih serta penerapan efisiensi energi. Skenario fair dan skenario ambitious dilakukan dengan kebijakan pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan, serta efisiensi energi. Sedangkan dari sektor pengolahan limbah, hasil analisis menunjukkan pengaruh penurunan emisi tidak terlalu signifikan. Namun begitu, tetap diperlukan pengolahan limbah domestik dengan menerapkan ekonomi sirkular dan mengimplementasikan prinsip 9R (refuse, rethink, reuse, repair, refurbish, remanufacture, repurpose, dan recycle).
Analisa dokumen ini juga menggunakan pendekatan Mauri Decision Making Framework, yang terbagi lagi ke dalam empat dimensi, yakni Mauri of Ecosystem untuk dimensi lingkungan, Mauri of Community sebagai dimensi sosial, Mauri of culture untuk aspek budaya, dan Mauri of Whanau yang melingkupi aspek ekonomi. Elisabeth menjelaskan bahwa pendekatan ini dipilih sebagai kerangka berpikir dalam penyusunan dokumen RPRKD Papua karena mengakomodir keempat aspek yang dibutuhkan dalam merancang arahan kebijakan pembangunan berkelanjutan di Tanah Papua.
Baca juga: Kesepakatan Baru Indonesia-Norwegia Bisa Perkuat Pencapaian Target FOLU Net Sink
Menurut hasil analisa dan perhitungan yang dilakukan oleh tim penyusun, dokumen RPRKD Papua memberikan beberapa rekomendasi kebijakan, yaitu diperlukannya kontribusi sektor swasta dalam implementasi program-program rendah karbon; dibukanya peluang perdagangan karbon melalui mekanisme insentif dan pelibatan sektor swasta sebagai penyedia maupun pembeli karbon; dan perlunya perencanaan pembangunan rendah karbon pada tingkat kabupaten dan kota.
Mewujudkan pembangunan Indonesia khususnya di Tanah Papua yang lebih berkelanjutan dan rendah karbon adalah gotong royong yang memerlukan komitmen bersama. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita kawal dan dukung bersama implementasinya demi meraih kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.
Editor: Nur Alfiyah