Search
Close this search box.
EcoStory

7 SK Pengakuan Wilayah Adat Diserahkan kepada 7 Marga di Klafyo dan Waimon

Bagikan Tulisan
Penyerahan dokumen SK kepada perwakilan masyarakat adat (Yayasan EcoNusa/Roberto Yekwam)

Tahun 2024 disambut manis dengan diserahkannya tujuh dokumen Surat Keputusan (SK) Bupati tentang Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan wilayah adat di Kampung Klafyo, Distrik Konhir dan Kampung Waimon, Distrik Segun, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Ketujuh dokumen yang sebelumnya telah disahkan pada 19 Desember 2023 ini berisi pengakuan pemerintah daerah terhadap tujuh marga di kedua kampung tersebut, yakni adalah marga Blon, Gisim, dan Koso dari Kampung Klafyo, dan marga Igip, Malalu, Aresi, dan Fadan dari Kampung Waimon.

“Ada tujuh marga yang dapat SK, artinya pengakuan pemerintah terhadap batas-batas (wilayah) masyarakat adat itu,” kata Luther Salamala, Staf Ahli Bupati Sorong Bidang Kemasyarakatan saat diwawancara di Gedung Inspektorat Kantor Kabupaten Sorong pada momentum penyerahan dokumen yang dilangsungkan pada Kamis, 18 Januari 2024.

Baca juga: Membangun Kemandirian Masyarakat Adat Melalui Komoditas Keladi

SK diserahkan oleh Luther Salamala mewakili Plh Bupati Sorong, Cliff Agus Japsenang, kepada tujuh orang perwakilan dari masing-masing marga. Hal ini tentu disambut baik dan menjadi hadiah awal tahun yang sungguh manis bagi masyarakat adat dari marga tersebut, mengingat terbit dan diserahkannya dokumen ini merupakan hasil perjalanan panjang dari usaha masyarakat adat memperjuangkan haknya sebagai tuan di tanah ulayatnya sendiri.

“Adanya SK untuk tong pu tanah adat ini menguatkan tong pu adat, tong pu wilayah. Supaya tong pu tanah tra bisa diambil oleh perusahaan. Kalo ada perusahaan datang, tong sebagai masyarakat adat su ada bukti (kepemilikan tanah) SK, dan dong tra bisa menipu tong lagi. Saya berterima kasih kepada pemerintah dan semua pihak, karena sudah memberikan SK tanah adat ini,” kata Yeheskel Malalu, perwakilan marga Malalu.

Yeheskel juga mengatakan bahwa dengan adanya SK ini, berbagai potensi alam yang ada di Kampung Waimon seperti hasil laut dan hasil hutan dapat dikelola dengan baik untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat adat di sana. Dia berharap adanya SK ini dapat membuat masyarakat di Kampung Waimon, khususnya dari marga Malalu dapat hidup sejahtera hingga generasi mendatang.

Sambutan oleh Luther Salamala, Staf Ahli Bupati Sorong Bidang Kemasyarakatan (Yayasan EcoNusa/Roberto Yekwam)

Untuk bisa berhasil diakui haknya oleh pemerintah Kabupaten Sorong, masyarakat hukum adat perlu memenuhi berbagai persyaratan yang telah diatur. Masyarakat adat harus adalah memiliki dokumen peta wilayah adat, dokumen harta kekayaan adat, potensi, sejarah, dan aturan adat yang akan berlaku di dalam wilayah adat yang diusulkan, dan bukti persetujuan dari marga lain yang wilayahnya berbatasan langsung dengan wilayah adatnya. Berbagai dokumen ini pun didapatkan dengan melakukan berbagai proses, mulai dari pemetaan wilayah adat dan diskusi partisipatif. Setelah dokumen tersebut disusun, masyarakat kemudian perlu melaksanakan sidang adat baik secara internal maupun dengan marga-marga lain yang wilayahnya berbatasan. Sidang tersebut diselenggarakan guna mencapai kesepakatan bersama yang dibuktikan dengan tanda tangan para pemangku kepentingan pada peta wilayah adat yang diajukan dan berita acara sidang adat. Seluruh dokumen usulan tersebut juga mesti diverifikasi dan divalidasi oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat.

Baca juga: Bustar Maitar: Masyarakat Adat adalah Garda Terdepan Perlindungan Alam

Menyadari pentingnya kedaulatan masyarakat adat untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan, Yayasan EcoNusa mendukung proses tersebut. EcoNusa ikut mendampingi masyarakat adat memetakan wilayah adat mereka, memfasilitasi proses diskusi partisipatif, dan pengusulan ditetapkannya wilayah adat kepada pemerintah daerah. “Kesejahteraan masyarakat adat harus kita dukung, sehingga mama dan bapa bisa mengelola tanah adatnya, mendapatkan manfaat dan bisa sejahtera dari sana, dan menjaga tanah adatnya dengan kearifan lokal yang mereka punya,” kata Bustar Maitar, CEO Yayasan EcoNusa.

Ketujuh dokumen SK berisi tentang pengakuan masyarakat hukum adat dan wilayah adat dari tujuh marga dengan total wilayah adat yang diakui seluas 12.157,98 hektare. Tiga dokumen SK berisi pengakuan dan perlindungan wilayah adat yang berada di Kampung Klafyo, Distrik Konhir, di antaranya wilayah adat marga Blon seluas 332,70 hektare, marga Gisim seluas 490,70 hektare. Empat SK lainnya berisi pengakuan dan perlindungan wilayah adat untuk empat marga di Kampung Waimon di Distrik Segun, yakni wilayah adat marga Igip seluas 2.353,24 hektare, marga Malalu dengan luas 2.940,39 hektare, marga Aresi seluas 1.806,86 hektare, dan tanah adat marga Fadan dengan luas 2.693,58 hektare.

Kepala Distrik Segun, Yance Nibra, menyampaikan kegembiraannya atas penyerahan SK tersebut, khususnya untuk masyarakat adat di Kampung Waimon. “Kami berharap ini dapat menginspirasi masyarakat di tempat lain untuk memetakan wilayah adatnya. Dengan ini masyarakat adat bisa menjaga potensi sumber daya alam di tanahnya, mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, dan bisa buat masyarakat jadi sejahtera,” ucap Yance.

Perjuangan masyarakat adat untuk bisa menjadi tuan di tanah moyangnya sendiri adalah satu hal yang harus didukung. Tanah Papua dengan kekayaan sumber daya alamnya seharusnya bisa dikelola dengan baik oleh masyarakat adat dengan seperangkat kearifan lokal yang telah lama ada dan dipraktikkan. Bila masyarakat adat diberi dan dilindungi haknya untuk mengelola wilayah adatnya, diharapkan hal ini dapat membawa kesejahteraan dan meningkatkan perekonomian dan taraf hidup mereka baik sekarang hingga masa mendatang.

“Harapan kami, setelah mereka (masyarakat adat) memiliki hak-hak, tinggal kemudian bagaimana mereka mengelola potensi alam mereka itu dengan baik, untuk meningkatkan ekonomi mereka, dan tetap menjaga alamnya,” tutup Luther.

Editor: Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved