Musikus Danilla Riyadi selalu menyempatkan waktu menyampaikan permintaannya kepada teknisi sebelum dirinya ujuk gigi di atas panggung. Ia tak ingin air minum mineral kemasan plastik sekali pakai berada di ruang tunggu musikus di belakang panggung. Danila bersama tiga belas orang timnya memang sedang gencar mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Mereka selalu membawa tumbler dalam setiap pertunjukan musik dan kehidupan pribadinya.
“Kebutuhan di backstage kami bawa sendiri atau tidak mengandung plastik kemasan. Kami juga gak mau backstage kotor dan makanan terbuang sia-sia. Sebisa mungkin tidak. Saat ini aku pakai plastik dari singkong dan selalu bawa tiga tas cadangan. Sesederhana itu, tapi berefek besar (bagi lingkungan),” kata Danilla saat berbincang dengan para peserta School of Eco Diplomacy (SED) Kelas Menengah secara virtual bertajuk “Seni untuk Bumi”, Kamis 5 November 2020.
Solois muda itu juga tak sungkan mengingatkan musikus lain agar tak menggunakan plastik sekali pakai. Tiba di atas panggung, Danilla kerap kali mengajak penggemarnya untuk menjaga lingkungan dengan cara sederhana, seperti membuang sampah pada tempatnya. Bagi Danilla, langkah kecil tersebut akan berdampak besar bagi kelestarian lingkungan.
Kecintaan Danilla terhadap lingkungan rupanya turun dari kedua orang tuanya. Sang ibu mencintai berbagai jenis tanaman. Sementara sang ayah adalah pecinta binatang. Danilla kecil pernah dihukum tak mendapat uang saku lantaran membuang sampah sembarangan. Ia juga pernah dimarahi karena bermain dengan getah tanaman yang ia anggap sebagai susu. Dari kedua orang tuanya, pendidikan lingkungan tumbuh dan meresap hingga di dalam karya Danilla.
Keresahan Danilla terhadap kondisi lingkungan hidup di Indonesia dituangkan dalam lagu Ini dan Itu, sebagai salah satu lagudi dalam album Lintasan Waktu (2017). Lagu tersebut dibalut dengan nada yang lembut dan lirik yang liris menggambarkan kemarahan, harapan, dan keresahan sekaligus. Di sisi lain, Danilla tak berusaha menjadi “hakim” dengan menilai atas setiap sikap manusia yang merusak alam dan binatang.
“Aku buat (Ini dan Itu) karena saat itu sedang banyak informasi perlakuan kejam terhadap binatang, pohon-pohon ditumbangkan tanpa ditanam kembali. Jadi, buat aku, ‘Kok dunia ini lupa dengan penghijauan’ dan aku berpikir tentang keresahan ini. Manusia yang ingin menghancurkan banyak, tapi yang ingin melestarikan juga banyak. Kita tinggal memilih kita mau jadi yang mana,” kata Danilla.
Kepada 30 orang peserta SED Menengah, Danilla mengungkapkan kesedihannya terhadap Undang-Undang Cipta Kerja. Sejak pembuatan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, penolakan masyarakat melalui petisi hingga unjuk rasa, hingga pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, emosi Danilla bergejolak hingga akhirnya ia memutuskan berhenti menonton televisi.
“Gondok sih. Akhirnya aku matiin TV. Ada marah, sedih, semua campur aduk. Omnibus Law gak cuma lingkungan. Ada ekonomi juga. Cuma ekonomi Indonesia seperti sudah terbiasa gak ramah lingkungan. Anak muda dengan dengan ide-ide brilian gak diajak. Gak ajak arsitek, ajak orang-orang yang tahu tentang alam dan isinya,” ujar Danilla.
EDitor: Leo Wahyudi & V. Arnila Wulandani