Search
Close this search box.
EcoStory

Kenari, Pohon Pelindung yang Menjadi Sumber Penghidupan

Bagikan Tulisan
Salah satu mama di Pulau Ay, Kepulauan Banda, Maluku, menunjukkan buah kenari yang baru ia pungut dari tanah. Para warga di Kepulauan Banda menjadikan kenari sebagai sumber penghidupan. (Yayasan EcoNusa)

Kepulauan Maluku sejak lama masyhur sebagai penghasil rempah, seperti cengkih dan pala. Tak heran jika berabad lalu, Bangsa Eropa berlayar hingga Maluku untuk mendapatkan rempah langsung dari sumbernya. Namun kepulauan ini tidak hanya menjadi sumber rempah, Maluku juga dikenal sebagai penghasil kacang kenari. Tanaman tersebut tumbuh subur di Kepulauan Banda dan Pulau Ambon, Provinsi Maluku, serta Pulau Makian di Provinsi Maluku Utara.   

Di Kepulauan Banda, pohon-pohon kenari tumbuh besar melebihi beringin dan menjulang tinggi melebihi kelapa. Tanaman tersebut sudah ada sejak era penjajahan. “Kenari di sini tumbuh liar, umurnya sudah ratusan tahun,” kata Ali Yusuf, pemuda dari Negeri Lonthoir, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Senin, 27 Juni 2022. 

Karakternya yang tinggi besar itu membuat pohon kenari menjadi tanaman pelindung, termasuk bagi pohon pala. Kepulauan Banda dikelilingi oleh lautan luas. Pohon kenari yang tinggi besar itu bisa menangkis uap air laut sehingga tidak sampai mengenai pohon pala. Buah pala akan berguguran sebelum panen jika terkena uap air laut.   

Baca Juga: Cerita Pala Bagian 1: dari Rempah Buruan Bangsa Eropa sampai Tanaman Konservasi

Menurut Ali, masyarakat Banda menjadikan kenari sebagai salah satu sumber penghidupan, selain pala dan ikan, meski harganya tidak setinggi pala. Satu kilogram biji pala biasanya dihargai Rp100-200 ribu, belum lagi harga bunga pala (fuli) yang bisa mencapai dua kali lipat. Sedangkan kenari dihargai Rp50-100 ribu per kilogram.

Namun, masyarakat tidak bisa mendapat pala dan ikan setiap hari. Pala adalah buah musiman yang baru dipanen 3 kali dalam setahun. Masyarakat pun tidak bisa melaut jika musim angin kencang tiba. Sedangkan kenari selalu ada setiap hari. Buah-buah itu biasanya dijatuhkan oleh burung walor dan paniki (kelelawar hitam). “Tanpa kenari, mata pencaharian masyarakat hilang,” kata alumnus kegiatan Kewang Muda 2 yang diselenggarakan oleh EcoNusa dan Moluccas Coastal Care (MCC) tersebut. 

Para mama memecah kulit kenari yang keras menggunakan golok. Selain untuk dijual, kenari juga dijadikan bumbu masakan oleh para mama. (Yayasan EcoNusa)

Yang menarik di Kepulauan Banda, masyarakat mempersilakan siapa pun untuk mengambil buah kenari yang sudah jatuh ke tanah. Mereka boleh mengambil kenari dari lahan yang bukan miliknya. Warga paham bahwa kenari sudah tumbuh sejak mereka belum lahir, bukan mereka yang menanam atau pun merawat.

Baca Juga: Komoditas Unggulan Papua dan Tantangan Pengembangannya

Aturan ini berbeda dengan pala yang hanya boleh diambil oleh pemiliknya. Siapa pun yang mengambil pala yang bukan haknya akan dikenai sanksi. “Pala itu ditanam, kalau mencuri didenda,” tutur Ali yang menjadi guru honorer di salah satu sekolah menengah pertama di Maluku Tengah itu.

Dari hasil menjual kenari itulah, masyarakat Banda bisa memenuhi kebutuhan harian mereka hingga bisa menyekolahkan anak-anak mereka sampai ke perguruan tinggi. Orang tua Ali, misalnya, bisa menguliahkan Ali di Sekolah Tinggi Perikanan Hatta-Sjahrir, Maluku Tengah. Para tetangga pun bisa menguliahkan anak-anak mereka. “Anak-anak mereka bisa sarjana karena orang tuanya mencari kenari,” kata Ali. 

Selain di Banda, di Pulau Makian (baca: Makean), Maluku Utara, juga dikenal sebagai sentra kenari yang diperkirakan sudah ada sejak era kolonial. Banyaknya pohon kenari di pulau ini membuat Pulau Makian dikenal sebagai pulau kenari. Sebagian masyarakat menjadikan kenari sebagai sumber penghidupan karena hasilnya lebih menjanjikan. Dari kenari mereka bisa mencukupi biaya hidup sehari-hari, pendidikan anak, bahkan untuk ongkos naik haji.  

Baca Juga: Membuka Egek, Melihat Deposito Alami Suku Moi

Aturan di Makian pun mirip dengan di Banda. Masyarakat di sana menyepakati siapa pun boleh mengambil buah kenari yang jatuh ke tanah, meski di kebun yang bukan miliknya. Bedanya dengan Banda, masyarakat di Makian bersepakat bahwa buah yang ada di pohon hanya boleh diambil oleh pemiliknya. “Siapa pun boleh mengambil kenari yang ada di tanah supaya janda atau warga kurang mampu bisa merasakan hasil dan berkah dari buah kenari,” kata Usman, salah satu petani kenari di Kampung Suma, Pulau Makian.   

Baik di Kepulauan Banda maupun Makian, kenari dijadikan sebagai bumbu masakan. Warga juga memanfaatkannya sebagai bahan pembuat kue, seperti halua kenari, dan cemilan nougat kenari. Sedangkan kenari yang dijual dikirim ke Surabaya. Dari sana, kenari kemudian dikirim ke daerah lain atau luar negeri.    

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved