Indonesia Timur tidak hanya kaya akan sumber daya alam. Budayanya pun beragam. Banyak kisah dari Tanah Papua, Kepulauan Maluku, dan Sulawesi yang bisa dibagikan kepada masyarakat. Ada beragam cara yang bisa digunakan untuk menebarkan cerita tentang keindahan timur Indonesia.
“Dari Imaji Papua, kami menggunakan film dokumenter. Karena film dokumenter bisa menjadi medium yang efektif, agar penonton bisa menyimak kehidupan sehari-hari orang Papua melalui film,” kata Yulika Anastasia, Founder Komunitas Imaji Papua, di Webinar “Keindahan Rasa untuk Indonesia” kolaborasi antara Teras Mitra dan EcoNusa, Sabtu, 16 April 2022.
Imaji Papua adalah komunitas kreator dan pembuat film independen yang berbasis di Kota Jayapura, Papua. Komunitas tersebut sebenarnya tidak hanya memproduksi film dokumenter, tapi juga membuat iklan, film animasi, dan konten kreatif lain. Namun, nama mereka mulai dikenal setelah film garapan Yulika, “Tonotwiyat (Hutan Perempuan)” masuk ke dalam nominasi Piala Citra 2019 untuk kategori film dokumenter terpanjang terbaik. Film dokumenter Imaji Papua berikutnya, “Noken Rahim Kedua” juga masuk dalam nominasi Piala Citra 2021.
Baca Juga: Kolaborasi EcoNusa dan Pramuka untuk Lingkungan Berkelanjutan
“Kebetulan latar belakang anggota Imaji Papua adalah jurnalis. Selama ini terlalu banyak berita politik atau berita negatif, seolah-olah Papua isinya konflik. Itu menjadi sebuah kerinduan buat kami untuk mengenalkan Papua dari dimensi yang berbeda,” kata Yulika menjelaskan asal mula terbentuknya Imaji Papua yang dimulai pada 2017.
Dalam “Noken Rahim Kedua”, Imaji Papua berkisah tentang kehidupan asli perempuan tinggal di pegunungan di wilayah Wamena, Jayawijaya, yang minim akan fasilitas. Untuk sampai ke sana, tim Imaji Papua harus menumpang truk lantaran tak ada angkutan umum. Kemudian dilanjutkan berjalan kaki melalui urat-urat gunung.
Dalam film tersebut, Imaji mengisahkan para mama di wilayah pegunungan Wamena yang menggunakan noken untuk membawa apa pun, termasuk kayu, sayur-mayur dari pasar, bahkan untuk menggendong bayi mereka. Karena itu, noken digambarkan sebagai rahim kedua. “Di dalam noken terisi sumber kehidupan sehari-hari. Dari sanalah kehidupan dimulai,” ujar Yulika.
Baca Juga: Nasib Demokrasi dan Lingkungan di Tangan Pemuda
Dayu Rifanto punya cara berbeda untuk mengisahkan Papua. Pengajar di Universitas Pelita Bangsa, Jawa Barat, tersebut awalnya ikut membantu membuat sebuah rumah baca di Nabire, atas permintaan kawannya. Dayu yang tumbuh besar di Papua itu lalu membuat gerakan mengumpulkan buku-buku donasi yang kemudian dikirimkan ke rumah-rumah baca di Papua dan Papua Barat sejak 2012.
Namun, dari banyaknya buku-buku tersebut, sangat sedikit buku tentang Papua, terutama buku cerita anak. Ia hanya bisa mengumpulkan beberapa buku yang tidak dijual di toko, seperti buku “Yanes, Penakut yang menjadi Pemberani” dan “Dilawan Naga” karya Celcius Akwan. Temannya yang lain memintanya menuliskan buku tentang anak Papua. “Saya kemudian belajar, lalu belajar menulis, menyunting. Lalu bikin penerbitan independen,” ujarnya.
Dari penerbitan tersebut, Dayu bisa menerbitkan beberapa buku, antara lain kumpulan puisi “Mama Menganyam Noken” karya Godi Usnaat yang masuk dalam lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2020. Kumpulan puisi tersebut kemudian diterbitkan oleh Kompas Gramedia. Juga buku “Cerita Anak Asmat Tosini” yang ditulis oleh pegiat pendidikan di pedalaman Papua, Rosa Dahlia, dan Roy Des. Pada Januari 2021 Dayu membuat taman baca Pinjam Pustaka di Sorong. “Ternyata minat baca anak-anak tinggi,” ujarnya.
Baca Juga: Papua, Maluku, Torang Bisa, Barang Apa Jadi
Seperti halnya Dayu, Titiana Aminullah bersama kawan-kawannya dari komunitas Generasi Lestari di Gorontalo juga menerbitkan buku. Bedanya, buku “Anak Muda dan Makanan Lokal Gorontalo” membahas tentang panganan lokal di daerahnya karena kegelisahan Titania dan kawan-kawannya terhadap anak muda yang tidak lagi mencintai makanan lokal. “Awalnya kami bertukar pikiran, kenapa ya kalau kita dihidangkan makanan lokal, kayak gengsi. Ternyata, setelah banyak berdiskusi, informasi tentang makanan lokal ini sudah terputus,” katanya.
Titania dan teman-temannya membuat buku untuk menyambungkan informasi yang terputus tadi sehingga lebih banyak anak muda yang lebih mengenal panganan khas daerah mereka. Misalnya ilabulo yang terbuat dari sagu yang dicampur jeroan ayam dan ikan, serta bubur sada yang terbuat dari sisa-sisa penggilingan jagung.
Selain melestarikan tradisi, menurut Titania, pelestarian makanan lokal ini penting karena bisa berdampak langsung pada lingkungan dan kesejahteraan masyarakat sekitar. “Kalau kita banyak mengkonsumsi makanan lokal, secara tidak langsung kita men-support petani lokal, usaha bisnis makanan lokal, dan akan memastikan kondisi lingkungan yang sehat dari tempat suplai makanan,” tuturnya.
Baca Juga: Perlindungan Hutan dan Cenderawasih dalam Budaya Adat Papua
Sementara itu, Maynart R.N. Alfons, sebagai komposer dan koreografer, memilih musik untuk mengenalkan Ambon sebagai city of music. Pada September 2005, ia mendirikan sebuah orkes suling bambu Moluccan Bamboowind Orchestra. “Suling bambu itu musik tradisi masyarakat Ambon. Musik tradisi itu mengandung nilai-nilai humanis, religi, edukasi, ekonomi, estetik, dan salah satu identitas masyarakat,” ujar Alfons.
Anggota orkestranya terdiri dari beragam kalangan. Mulai dari murid kelas VI sekolah dasar, murid SMP, murid SMA, mahasiswa, pensiunan ASN dan Polri, guru, sampai tukang ojek dan petani pemeras enau. Moluccan Bamboowind Orchestra sudah sering berkolaborasi dengan musikus terkenal, antara lain penyanyi Glenn Fredly, komponis I Made Subandi, musikus jazz Niels Brouwer, penyanyi Monica Akihary, dan penyanyi opera dari Italia, Fabio Andreotti.
Alfons bahkan diminta oleh Walikota Ambon untuk menyusun kurikulum muatan lokal wajib musik untuk SD dan SMP. “Kami memanfaatkan musik tradisi karena kita harus mengenalkan ke generasi muda tentang kultur lokal. Musik tradisional itu jati diri kita,” ujarnya.
Editor: Leo Wahyudi