Search
Close this search box.
EcoStory

10 Tahun Moratorium Hutan Indonesia

Bagikan Tulisan
Hutan primer di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat. (Yayasan EcoNusa/Moch. Fikri) 

Tepat sepuluh tahun lalu Pemerintah Indonesia mengumumkan komitmen politik penting, moratorium atau penghentian sementara pemberian ijin baru di hutan primer dan lahan gambut yang diikuti dengan langkah-langkah perbaikan tata kelola hutan dan lahan gambut. Komitmen besar pemerintah ini kemudian didukung penuh oleh Pemerintah Norwegia dengan memberikan komitmen pendanaan satu milyar dolar sebagai kompensasi yang akan dibayarkan berdasarkan pencapaian hasil penurunan emisi gas rumah kaca di Indoensia.

Ini adalah langkah politik penting untuk perlindungan hutan Indonesia. Komitmen kedua negara ini kemudian ditandatangani dalam bentuk surat resmi Letter of Intent (LoI) pada tanggal 26 Mei 2010. Komitmen besar Pemerintah Norwegia kepada Indonesia menurut CEO Yayasan EcoNusa, Bustar Maitar, merupakan sebuah “bonus”.

“Saya sebut bonus karena tanpa itupun saya yakin pemerintah akan tetap berkomitmen menjaga hutan Indonesia untuk masa depan Indonesia,” ujarnya.

Kerja keras Pemerintah Indonesia untuk mengendalikan pembukaan hutan dan emisi gas rumah kaca dalam sepuluh tahun terakhir telah disampaikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, bahwa dalam waktu dekat Indonesia akan segera menerima 56 juta dolar USD dari Pemerintah Norwegia sebagai kompensasi pertama hasil penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor lahan dan hutan. Indonesia, berdasarkan data hasil penurunan emisi gas rumah kaca (result based payment) 2016 dan 2017, berhasil menurunkan emisi sebesar 11.2 juta ton CO2e. Menurut Menteri LHK, dana ini selanjutnya akan dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang diluncurkan oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup pada 9 Oktober 2019 untuk upaya-upaya pengelolaan lingkungan dan kehutanan serta kesejahteraan masyarakat. 

Ini adalah prestasi penting Pemerintah Indonesia dan tidak mungkin tercapai tanpa berbagai langkah korektif yang dipimpin oleh Menteri LHK dan jajarannya termasuk masyarakat yang selama ini bergantung dari hutan. “Upaya korektif seperti review perijinan harus terus dilanjutkan termasuk mendorong pengelolaan hutan sosial yang berkelanjutan,” tambah Bustar.

Lebih lanjut CEO Yayasan EcoNusa mengatakan, sebagian besar hutan Indonesia yang tersisa berada di wilayah timur Indonesia, terutama di Provinsi Papua, Papua Barat, dan Kepulauan Maluku. Kawasan ini tidak hanya kaya akan keanekaragaman hayati dan berperan vital untuk kehidupan berkelanjutan masyarakatnya, tetapi juga menyimpan ratusan juta karbon yang sangat penting sebagai penyeimbang iklim dunia.

Di kawasan ini tersimpan gugusan hutan mangrove terluas di Indonesia dan Asia Tenggara yang memiliki peran penting untuk keberlangsungan ekosistem pesisir dan laut. Jika kita ingin menyelamatkan hutan Indonesia, upaya itu harus dimulai dari hutan-hutan di timur Indonesia karena tutupan hutannya masih yang terbesar. Kegagalan menyelamatkan hutan-hutan di kawasan timur Indonesia akan merupakan sebuah kegagalan dalam upaya penyelamatan hutan Indonesia.

Hutan dan gambut Indonesia berperan penting tidak hanya untuk kesejahteraan masyarakat tetapi bagi Iklim lokal dan global. Perubahan iklim terus mengancam kehidupan bumi dari waktu ke waktu. Kegagalan menghentikan laju deforestasi yang berkontribusi 25% terhadap emisi gas rumah kaca secara global merupakan kegagalan dalam upaya pengendalian perubahan iklim. Selain itu dalam masa pandemi Covid-19, hutan di wilayah Papua dan Maluku menjadi sumber pangan terbesar bagi keberlangsungan masyarakat yang hidup di sekitar hutan. 

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved