Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Intermediate SED Inauguration, Awaiting Change for Young People

Share this post

Tiga puluh kaum muda telah menyelesaikan rangkaian kegiatan School of Eco Diplomacy (SED) Menengah yang dihelat secara virtual. Mereka berasal dari dua puluh kabupaten/kota yang tersebar dari Provinsi Aceh hingga Provinsi Papua. Selama 6 minggu, yakni sejak 17 Oktober hingga 27 November, para peserta SED Menengah berdiskusi tentang pelbagai isu lingkungan hidup, seperti perlindungan hutan dan laut, perikanan berkelanjutan, hingga krisis iklim, bersama 47 narasumber dan 5 mentor.

“Saya berharap semangat teman-teman untuk menjaga dan memperbaiki lingkungan di sekitar tidak berhenti sampai di sini. Teman-teman dapat melanjutkan perjuangan dengan ilmu yang didapat dalam program SED. Ini bukan akhir. Komunitas ini akan terus berkembang untuk mendukung masyarakat dan lingkungan, untuk kelestarian sumber daya alam,” kata CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar dalam Inaugurasi Diplomat Muda Lingkungan SED Menengah 2020 pada Minggu (29/11/2020).

Usai inaugurasi, seluruh peserta SED Menengah melanjutkan perjuangan mereka dengan mengaplikasikan berbagai materi yang telah diterima. Mereka membuat rencana aksi perubahan lingkungan hidup, merespons berbagai fenomena yang terjadi di sekitar tempat tinggal.

Maimun, peserta SED Menengah asal Kabupaten Aceh Utara, merencanakan aksi reboisasi hutan mangrove di Desa Sungai Lueng, Kecamatan Langsa Timur, Kota Langsa, Provinsi Aceh. Hutan seluas 6.000 hektare tersebut tengah mengalami kerusakan akibat tambak, penebangan kayu ilegal untuk produksi arang bakau, permukiman, dan pembangunan infrastruktur.

Maimun berencana mereboisasi 1 hektare hutan mangrove dengan menanam tiga ribu benih mangrove. Selain dengan masyarakat Desa Sungai Lueng, Maimun akan menggandeng lembaga swadaya masyarakat Bale Juroeng.

“Dampak yang ingin dicapai adalah pemulihan ekosistem dengan menambah jumlah tutupan hutan mangrove. Pembentukan kelompok pelindung hutan mangrove nantinya diharapkan dapat menjaga kelestarian hutan mangrove,” kata Maimun.

Selain itu, kerusakan ekosistem akibat sampah plastik sekali pakai membuat Eka Meynia Helendri asal Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, resah. Sekitar 87 kota pesisir  di Indonesia merupakan penyumbang sampah ke laut. Menghasilkan 1.200-1.300 ton sampah setiap harinya, Palembang menjadi penyumbang sampah terbesar di Sumatera Selatan.

Dalam menyebarkan informasi bahaya plastik sekali pakai, Eka memanfaatkan media sosial Instagram dengan tagar Vlogreenesia dengan konten terkait plastik sekali pakai. Setelah inaugurasi, Eka berencana membuat Vlogreenesia Summit,berisi pelatihan dan membangun jejaring kampanye untuk menolak plastik sekali pakai.

“Kami memanfaatkan Instagram sebagai media kampanye untuk mengurangi plastik sekali pakai. Kita akan unggah foto plastik sekali pakai, dua kali dalam seminggu. Kami ingin meningkatkan kesadaran orang untuk  membawa tumbler dan kantong ramah lingkungan,” ujar Eka.

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Ketapang, Kalimantan Barat, pada 2019 lalu masih membekas di benah Syafa Fakhira. Karhutla menyebar hingga 100 hektare. Langit tidak lagi berwarna biru, tapi menjadi warna kuning-jingga akibat kebakaran. Tak ingin peristiwa yang sama terulang, Syafa akan mengajak anak muda bergerak bersama di Pongo Ranger Community (PRC). Syaratnya berupa adopsi pohon.

“Ini menjadi cara regenerasi pemuda yang melek dengan isu lingkungan sehingga mereka mampu menjadi pionir dalam perubahan di sekitar mereka. Adopsi pohon akan menjaga pantai terhindar dari abrasi dan (mendukung) potensi wisata. Adopsi pohon juga dilakukan di hutan desa yang berperan penting bagi masyarakat Dayak pedalaman,” ucap Syafa.

Sedangkan Efa Rubawati menggunakan pendekatan pemberdayaan perempuan Kampung Kokoda Maibo, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. Ia ingin membawa wacana kerusakan lingkungan di sana. Eka akan mengajak perempuan Kampung Kokoda bercerita dan menulis lingkungan dan kehidupan mereka. Hasil rencana aksi Eka berupa unggahan di media sosial, buku, buku foto, dan jurnal.

Panji Aziz Pratama, tokoh The 60s Global Young Changemaker dan pendiri Yayasan Isbanban, percaya lingkungan hidup Indonesia akan tetap terjaga dengan banyaknya kaum muda progresif. Menurutnya, setiap anak muda memiliki potensi untuk menjadi lilin di setiap daerah yang akan menerangi Indonesia.

“Dari presentasi rencana aksi kalian, aku percaya Indonesia tidak kekurangan anak muda untuk membangun daerahnya. Jangan pernah takut. Jangan pernah minder karena kalian besar untuk membangun daerah kalian. Jangan pernah berhenti. Semoga kalian besar dengan membawa perubahan,” pungkas Panji.

Editor: V. Arnila Wulandani dan Leo Wahyudi

Other EcoBlogs

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved