EcoStory

Dari Laut Hingga Kebun: Peluang Ekonomi Berkelanjutan di Yenbekaki

Bagikan Tulisan
Kampung Yenbekaki, Raja Ampat. (Yayasan EcoNusa/ Venan Priade Christian)

Di pesisir timur Waigeo, Kabupaten Raja Ampat, terdapat sebuah kampung kecil bernama Yenbekaki, kampung yang selama ini hidup dalam ritme laut, hutan, dan tradisi yang sederhana namun kuat. Di sinilah, pada pertengahan Oktober 2025, pertemuan antara masyarakat dan Yayasan EcoNusa membuka percakapan baru tentang masa depan ekonomi kampung. Melalui Ketua Sanggar Sarak, Zeth Simson Awom, perwakilan masyarakat meminta agar potensi kampung mereka dipetakan dengan lebih serius: apa yang harus dikembangkan, bagaimana mengelolanya, dan siapa yang akan mengawal perjalanan itu.

EcoNusa merespons dengan komitmen untuk menjalankan perannya sebagai mitra yang inklusif, membuka ruang bagi kontribusi yang benar-benar dibutuhkan masyarakat. Dari pertemuan 13 Oktober itulah mulai teridentifikasi sejumlah isu prioritas, mulai dari pengelolaan komoditas lokal hingga ekowisata dan perikanan tangkap. Masyarakat berharap ada dorongan untuk meningkatkan nilai jual hasil pertanian, memperluas akses pasar, dan memperkuat penyerapan produk agar tidak lagi bergantung pada keberuntungan atau kondisi musim.

Di sektor perikanan, Teluk Yenbekaki sebenarnya menyimpan hasil laut yang kaya, terutama ikan kakap batu, kakap merah, bobara, tuna, hingga ikan yang dalam bahasa lokal biasa disebut banci-banci. Potensi ini bahkan membuka peluang bagi mitra seperti PT Kobumi untuk mengembangkan pasokan ikan tangkap langsung dari masyarakat. Begitu pula sektor wisata dan budaya; wilayah Yenbekaki memiliki daya tarik yang tak kalah dibanding kampung-kampung lain di Raja Ampat. Seni tradisi yang dikelola Sanggar Sarak, habitat penyu belimbing, hingga keindahan bawah laut yang masih asri merupakan modal besar yang belum tersentuh secara optimal.

Baca Juga: Memaksimalkan Potensi Kampung Manyaifun, Raja Ampat

Namun kampung ini juga sedang menghadapi tekanan besar. Di tengah upaya masyarakat membangun kehidupan yang lebih stabil, muncul isu penolakan tambang nikel yang letaknya sangat dekat dengan tempat tinggal. Tambang itu berada persis di balik gunung kampung, hanya berjarak beberapa kilometer dari rumah warga. Saat ini tambang tidak beroperasi dengan alasan yang tidak jelas, tetapi sebagian warga justru menaruh harapan terhadap keberadaan tambang karena dianggap dapat membuka lapangan pekerjaan. Di sisi lain, kekhawatiran soal kerusakan ekosistem laut, terutama wilayah peneluran penyu belimbing, menjadi alasan mengapa sebagian masyarakat memilih menolak. Perbedaan pandangan ini memunculkan polemik yang belum menemukan titik temu.

Dalam kondisi penuh keresahan itulah, Tim EcoNusa dan PT Kobumi datang melakukan asesmen: menyusuri kampung, bertemu perwakilan warga, dan memetakan potensi yang bisa dikembangkan secara aman dan berkelanjutan. Kepala Kampung, Rony Frans Bonsapia, bersama aparat kampung menyambut baik kedatangan tim. Mereka membuka pintu untuk diskusi dan memberikan ruang bagi EcoNusa untuk masuk langsung ke kampung, mengamati kegiatan masyarakat, dan berdialog dengan kelompok-kelompok lokal.

Tim memulai survei pada Senin pagi, 3 November 2025. Kampung Yenbekaki terlihat sederhana namun hidup: sebuah SD berdiri berdampingan dengan rumah guru, sanggar budaya Sarak berdiri sebagai pusat aktivitas seni dan budaya, sebuah gereja Kristen, Puskesmas Pembantu, balai kampung, dan menara BTS yang menjadi satu-satunya sumber koneksi. Namun belum ada gudang, pasar, atau tempat usaha bersama. 

Diskusi bersama nelayan Yenbekaki. (Yayasan EcoNusa/ Laurensius Dian Pratama)

Potret Nelayan dan Pertanian di Yenbekaki

Dalam diskusi malam hari bersama para nelayan, terungkap bahwa sekitar 20 kepala keluarga rutin melaut. Namun mereka belum memiliki kelompok nelayan yang tetap sehingga semua kegiatan masih berjalan secara individual, mulai dari penangkapan hingga penjualan. Padahal, hasil tangkapan mereka cukup beragam dan bernilai ekonomi tinggi. Kendala lainnya adalah ketiadaan listrik yang kontinyu membuat warga tidak bisa menyimpan hasil tangkap mereka. Masyarakat bergantung pada pembeli ikan yang datang. 

Di sektor pertanian, kondisi Yenbekaki menunjukkan kenyataan yang lebih kompleks. Beberapa program pemerintah seperti bantuan bibit kopi dan pembagian perahu fiber telah diterima masyarakat. Ada juga aktivitas panen kelapa dan produksi kopra yang dilakukan secara mandiri. Inilah komoditas yang paling stabil dan paling diminati, karena prosesnya sederhana dan pasarnya jelas.

Baca Juga: Pelatihan Bakau dan Homestay untuk Pemberdayaan Masyarakat Raja Ampat

Data survei menunjukkan bahwa 74 persen warga memiliki kebun kelapa dengan usia tanaman 5–7 tahun dan rata-rata kepemilikan 80–100 pohon. Produksi per kebun mencapai 200–400 kilogram kopra, tergantung musim dan kesiapan warga memanen. Harga komoditas berada pada kisaran Rp7.000–10.000 per kilogram. Harga tersebut cenderung rendah tetapi tetap menjanjikan untuk kampung yang jauh dari pusat ekonomi..

Hampir semua petani tidak melakukan pemupukan, jarang membersihkan gulma, dan belum memiliki strategi pemasaran. Namun potensi peningkatan hasil 10–300 persen sangat terbuka jika penataan kebun dan pelatihan pemeliharaan dilakukan dengan baik.

Ekowisata: Potensi Besar yang Perlu Dibangun

Sektor ekowisata Yenbekaki sebenarnya memiliki denyut yang kuat, terutama di bawah bimbingan Sanggar Sarak. Sanggar ini tidak hanya menjadi pusat seni seperti tari, alat musik tradisional, dan pembelajaran bahasa lokal, tetapi juga menjadi benteng konservasi alam, termasuk pelestarian penyu belimbing. Hanya saja, kegiatan wisata ini masih bersifat sporadis, tergantung event, dan belum terlembaga secara profesional. Belum ada homestay lokal yang siap menerima tamu untuk pengalaman budaya dan alam yang autentik.

Padahal, peluangnya sangat besar: pengamatan burung cenderawasih, snorkeling, diving, surfing, wisata budaya, hingga wisata konservasi bisa menjadi motor ekonomi baru jika dikelola dengan baik.

Dalam keseluruhan asesmen ini, Yenbekaki memiliki potensi besar di tiga sektor utama yakni pertanian, perikanan, dan ekowisata. Namun potensi ini masih tersebar, tidak terorganisir, dan belum memiliki kelompok yang mampu mengelola secara terstruktur.

Baca Juga: Lulusan SD Ini jadi Pemilik Homestay di Raja Ampat

Karena itu, EcoNusa memandang program ini sebagai kerangka awal untuk membuka model pengelolaan sumber daya alam yang lebih berkelanjutan. Dengan bekerja sama dengan PT Kobumi dan pemerintah kampung, proses identifikasi potensi dan pembentukan kelompok usaha menjadi langkah awal untuk membangun Yenbekaki yang lebih mandiri.

Upaya lanjutan masih perlu diusahakan. Seperti membuka jalur distribusi rantai pasok perikanan mulai dari nelayan hingga ke pasar, merancang strategi pengelolaan hasil kelompok tani melalui diversifikasi produk kelapa, serta jalur pasar produk kopra, dan strategi pengembangan kapasitas pada kelompok Sanggar Sarak untuk ekowisata berkelanjutan.

Apa yang dimulai dari sebuah pertemuan sederhana di Sanggar Sarak kini menjadi titik awal bagi kampung untuk merumuskan masa depan ekonomi mereka sendiri. Masa depan yang tidak hanya bergantung pada tambang, tetapi bertumpu pada kekayaan alam, budaya, dan kerja bersama masyarakatnya.

Jika dikelola dengan baik, Yenbekaki bukan hanya akan dikenal sebagai kampung konservasi penyu, tetapi sebagai kampung pesisir yang berhasil memadukan tradisi, ekonomi, dan keberlanjutan dalam satu harmoni.

Editor: Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved